Mendengarkan juga Membahagiakan
Gede Prama, Penulis
Buku Simfoni di Dalam Diri , Fasilitator Meditasi di Bali Utara
SUMBER
: KORAN TEMPO, 28 April 2012
Jiwa yang berlubang, itu ciri dominan
kehidupan manusia kekinian. Perhatikan, semua mengaku benar, semua ingin
didengar. Ini yang berada di balik kekisruhan seperti ditolaknya kebijakan
pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak dengan demonstrasi, pemerintah
selalu disalahkan. Hakim berdemonstrasi meminta kenaikan gaji. Sebuah media
lokal di Sulawesi Selatan menuliskan judul beritanya di halaman pertama begini:
"70% APBD untuk Gaji". Bila demikian, untuk memperbaiki jalan,
prasarana pendidikan, merawat rakyat telantar, sisa berapa?
Jika boleh jujur, kecenderungan serupa
terjadi di semua belahan dunia. Wanita yang stres berat (jiwanya berlubang)
kemudian mencoba menutupi lubang jiwanya dengan pergi ke dunia gemerlap.
Hasilnya, lubangnya bukan ditutupi, malah ia diperkosa (dilubangi dengan lubang
jiwa yang lebih besar). Pria tidak puas dengan istri, kemudian mencoba menutupi
lubangnya dengan pergi ke pekerja seks. Hasilnya lebih menakutkan, tidak hanya
muncul lubang jiwa baru yang lebih besar, nyawanya terancam AIDS/HIV.
Pelajarannya, kebanyakan manusia mencari penutup lubang jiwanya di luar dan
akhirnya kecewa.
Masyarakat dan pemerintah sesungguhnya
didesain untuk menutupi lubang jiwa, seperti ketidakpuasan dan kemarahan. Tapi
karena banyak elite yang masuk ke sektor publik diawali dengan niat mau
menutupi lubang jiwanya (baca: mau cepat kaya, cepat berkuasa, dan motif diri
sendiri lainnya), bukan mau menutupi lubang jiwa orang lain melalui pelayanan,
akhirnya yang terjadi pemerintah malah menciptakan lubang baru yang memicu
kemarahan.
Di titik inilah kita memerlukan banyak caregivers
(manusia peduli) demi mengimbangi kecenderungan masyarakat yang ditandai oleh
semakin derasnya energi untuk saling melubangi. Titik berangkatnya bisa dimulai
dengan merenungkan ulang kebiasaan tua bahwa penutup lubangnya ada di luar.
Guru meditasi Pema Chodron adalah sebuah lentera. Tatkala pelayanannya kepada
suami selama 20 tahun harus berujung pada perceraian, ia tidak mencari penutup
lubangnya lewat narkoba, apalagi bunuh diri, melainkan menutupi lubang jiwanya
melalui meditasi. Dan ternyata benar, meditasi, di samping bisa menutupi lubang
jiwanya, bisa membawa Pema Chodron pada kesimpulan terindah tentang kehidupan:
"You are perfect as you are". Inilah tanda jiwa yang sudah
tidak berlubang, semua sempurna apa adanya.
Ia serupa cerita sekolah binatang. Suatu hari
binatang mendirikan sekolah. Pelajaran berenang dibimbing oleh ikan. Mata
kuliah terbang, gurunya burung. Kursus berlari, instrukturnya serigala. Setelah
beberapa lama, sekolahnya dibubarkan. Ternyata burung sempurna menjadi burung,
ikan sempurna menjadi ikan, serigala sempurna menjadi serigala. Lubang jiwa
muncul saat serigala memaksa berenang sebagus ikan, tatkala ikan memperkosa
dirinya agar bisa berlari sekencang serigala. Meminjam rumus sederhana Shinzen
Young dalam The Science of Enlightenment, penderitaan adalah rasa sakit
dikalikan dengan penolakan. Dan meditasi berkonsentrasi pada menolkan
penolakan. Bila penolakannya nol, maka penderitaan juga nol.
Dalam langkah praktis, meditasi serupa
menatap aliran air sungai. Kehidupan keseharian persis sama dengan barang-barang
yang hanyut di sungai. Sampah, dedaunan, semuanya hanya datang dan pergi.
Penderitaan (lubang jiwa) muncul saat manusia dibawa hanyut oleh
"sampah-sampah" kehidupan yang tidak kekal. Berharap agar kebahagiaan
kekal selamanya, berdoa agar kesedihan lenyap selamanya. Padahal semuanya
datang dan pergi. Istirahat dalam meditasi terjadi saat seseorang
berkonsentrasi hanya pada melihat aliran air. Sekaligus memeluk secara
alamiah--tanpa perlu menghentikan, tanpa perlu hanyut--semua mengalir apa
adanya. Inilah istirahat yang sesungguhnya.
Serupa langit yang tidak bisa dipisahkan dari
warna biru, manusia yang sudah istirahat dalam meditasi tidak bisa dipisahkan
dari kerinduan berbagi kasih sayang. Dalam perspektif ini, bisa dimaklumi bila
ada yang menitipkan pesan: "listening is nourishing". Saat
mendengar, sesungguhnya kita sedang menghidupi banyak jiwa yang lapar. Ada yang
berbisik: "listening is fine tuning". Tatkala mendengar
seseorang sedang terhubung dengan diri yang lebih tinggi, kemudian rindu berbagi.
Ada yang menemukan resep "the healing power of being deeply heard".
Mendengarkan secara mendalam membuat seseorang bisa menyembuhkan.
Digabung menjadi satu, bila ada manusia yang
bisa menemukan kedamaian dengan mendengar, maka tatanan kosmik akan lebih
seimbang. Sebagian manusia memang mengaku selalu benar, meminta selalu
didengar, mencari penutup lubang jiwa di luar, tapi mesti ada yang menjaga
keseimbangan kosmik melalui listening in the service of wholeness.
Mendengar sebagai pelayanan pada tatanan kosmik yang holistik. Dengan cara ini,
bukan hanya diri ini sembuh, tatanan kosmik yang lama terluka oleh keterpisahan
juga tersembuhkan.
Dalam tataran kesembuhan seperti ini (the
ultimate healing), kesembuhan adalah terhubung rapinya tubuh ini dengan
tubuh-tubuh yang lain. Lubang jiwa orang adalah lubang jiwa kita juga,
kesembuhan orang adalah kesembuhan kita juga. Dan jembatan yang bisa
menghubungkan keterpisahan ini bernama mendengar. Mungkin itu sebabnya,
mistikus Kabir pernah bergumam: "When I silenced my mouth, sat very
still, and fixed my mind at the doorway of the Lord, I soon was linked to the
music of the word. And all my talking came to an end. " Tatkala mulut
terkunci rapi, duduk bersahabatkan keheningan, memusatkan batin hanya pada sang
Jalan, kehidupan kemudian berubah menjadi nyanyian. Dan semua suara serta doa
tenggelam dalam kesempurnaan keheningan. Di Timur, tatkala kesempurnaan
keheningan dipeluk lembut oleh kesempurnaan kasih sayang, ia disebut praktek
Avalokiteshvara. Sederhananya, bunga spiritual baru belajar mekar saat
seseorang berevolusi dari bahagia karena didengar menuju bahagia karena
mendengar. Kemudian ikut mengurangi penderitaan dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar