Jumat, 27 April 2012

Politik Hubal Abad Ke-21


Politik Hubal Abad Ke-21
Willy Aditya, Direktur Populis Institute
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 26 April 2012


KOTA Mekah, 400 tahun sebelum kehadiran Muhammad, merupakan kota yang terjerembab dalam abad kegelapan (jahiliah). Adalah seorang `Amr bin Luhay yang membawa buah tangan HubalHubal tersebut dari negeri Syam. Dia menjadikan Hubal sebagai sesembahan baru menggantikan ajaran tauhid.

Sejak saat itu, Hubal banyak dijumpai tidak hanya di Kabah, tapi juga di setiap sudut-sudut Kota Mekah. Pemandangan serupa tapi tak sama kita jumpai ketika `Hubal-Hubal abad ke-21' banyak berjejer di setiap sudutsudut kota dalam bentuk baliho serta billboard yang bergambar tokoh-tokoh politik dan keagamaan. Lantas mengapa fenomena Hubal di Mekah serupa tapi tak sama dengan kondisi kekinian?

Politik Fetisisme

Tujuan politik seperti yang digariskan Aristoteles sebagai jalan pendorong terciptanya karakter kebajikan pada setiap individu dalam negara tak terasa praksisnya jika melihat kondisi politik terkini. Lalu apa yang kita lihat sekarang?
 
Apakah kita melihat kekuatan seorang pemimpin dari substansi kepemimpinan yang dibawanya dan tidak terikat pada bentuk-bentuk ragawi ataukah mengesampingkan rasionalitas dengan penonjolan simbol yang malah mendekati pemujaan dan pengultusan?

Politik bertujuan menanamkan nilai dan mencerahkan agar tujuan-tujuan negara dapat tercapai. Namun sebelum itu, politik terlebih dahulu menuntut pengorbanan pelaku politik itu sendiri demi kepentingan publik, yang dalam hal ini adalah pemimpin. Tidak ada kepemimpinan yang begitu mudah mengubah kondisi masyarakat hanya dengan pengacungan simbol-simbol ragawi tanpa esensi. Karena perubahan yang terbentuk dengan cara instan tidak akan pernah bermuara pada nilainilai yang langgeng.

Kehadiran spanduk, baliho, dan potret-potret fisik para pemimpin negara saat ini tidak menjelaskan apa-apa, apalagi mengajak dan mengubah sesuatu. Masyarakat kehilangan panduan dan gagal memahami fungsi guna dari tampilan-tampilan menyesakkan di ruang publik tersebut. Masyarakat seakan tidak menganggap pesan politik itu ada, apalagi mengindahkan pesan politik yang disampaikan, karena kekeringan substansi pesan yang ada. Yang disajikan saat ini oleh para pemimpin hanyalah sebuah rutinitas perawatan citra, tanpa pernah membawa satu poin jawaban atas polemik bangsa yang sebenarnya sangat dibutuhkan masyarakat.

Itulah kemunduran demokrasi dan degradasi kualitas kepemimpinan, yaitu dengan mengusung praktik politik yang mengagungkan simbol-simbol wujud sehingga mengerucut pada penihilan substansi pesan politik. Itu ibarat berhala Hubal yang hanya berdiri dalam bangunan Kak bah, disembah tetapi tak memberikan apa-apa selain hal-hal berbau klenik. Fetisisme (pemberhalaan) pemimpin dengan maraknya baliho bergambar senyum minus substansi itu telah melempar paksa pemimpin itu sendiri keluar dari ranah keberfungsian pemimpin.

Komunikasi Tanpa Isi

Hannah Arendt merumuskan politik sebagai komunikasi yang terjadi di antara masyarakat hakikatnya ialah politik yang tidak berhenti sebatas pada pembentukan instansiinstansi politis, tokoh-tokoh politis yang bersifat formal.
 
Padahal, politik seharusnya lebih jauh dari sekadar itu. Ia tumbuh dan berkembang dari sebuah komunikasi di antara setiap instrumennya. Gambar an tentang politik oleh Arendt itu telah mengerucut pada sebuah kesimpulan, yakni politik yang berfungsi untuk menciptakan sebuah common good yang dibangun dengan sebuah komunikasi, yakni komunikasi antara pemimpin dan masyarakat terjadi secara setara dan tidak saling mendominasi. Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan masyarakat seharusnya terjawab oleh kehadiran pemimpin dengan solusi konkret.

Dengan maraknya kehadiran pemimpin dalam sebentuk gambar di pinggir jalan, komunikasi antara pemimpin dan yang dipimpin terhenti pada level kognisi semata, pun tak sampai pada tahap pemahaman tujuan. Maka tak terelakkan lagi, masyarakat semakin sulit menjangkau pemimpin mereka, apalagi memberikan masukan dan kritikan. Tak keliru kiranya jika masyarakat tidak lagi mengerti apa tujuan negara ini dipimpin dan mau ke mana negeri ini dialamatkan. Para pemimpin dapat dilihat, tapi tak terasa kehadiran dalam keseharian masyarakat, jurang yang selama ini telah ada pun semakin tak terjembatani. Pemimpin dapat dengan mudah absen dalam memberikan percontohan, acuan moral, teladan intelektualitas, dan panutan budi. Oleh karena itulah saat ini masyarakat semakin sulit mengidentifikasi kapasitas asli dari wajah-wajah yang terpampang itu.

Kita yang mengaku menerapkan demokrasi modern telah mundur sangat jauh dari praktik yang ditunjukkan seorang tokoh yang lahir jauh sebelum masa renaisans. Virtue point sebagai keadaban publiklah yang terlupakan dalam panggung politik nasional saat ini sehingga tidak satu pun peragaan simbol-simbol tersebut memberikan pendidikan politik dan pencerahan berbangsa. Ruang politik menjadi sesak oleh ajang pamer diri, kenarsisan akut, dan dipaksakan berjalan dengan mencatut nama demokrasi modern.

Virtue Dalam Berpolitik

Seperti diuraikan Iseult Honohan (2002) dalam Civic Republicanism ketika menyarikan prinsip-prinsip keutamaan (virtue) menekankan pentingnya lima prinsip. Pertama, prudentia (bijak), yaitu nalar praktis yang membawa pemimpin dan warga negara meletakkan kebaikan bersama di atas kepentingan personal.
Kedua, fortitudo (berani), yaitu keberanian pemimpin mengambil kebijakan berdasarkan kepentingan nasional di atas kepentingan lainnya. Ketiga, decorum (moderasi), yaitu kemampuan bersikap seimbang berdasarkan situasi yang berubah. Keempat, justisia (adil) kemampuan bertindak imparsial, jujur, dan menekankan prinsip kesetaraan sebagai nakhoda bagi setiap kebijakan politik. Kelima, conscienza (peduli), yaitu kebaikan setiap orang akan terangkai menjadi kebaikan bersama dalam semangat kepedulian.

Politik Hubal telah mengingkari tujuan dasar politik dan mencecerkan virtue-nya di persimpangan jalan. Fenomena tersebut sesungguhnya telah dihancurkan Muhammad dan diuji oleh zaman melalui pembuktian eksistensinya sebagai pemimpin besar tanpa wujud fisik apa pun sebagai metode mempertahankan kebesaran namanya. Kita membutuhkan kesadaran seperti mafhumnya Muhammad yang meruntuhkan kekuatan simbol dan ikon yang mengutamakan visual fisik untuk mengukuhkan kekuatan. Hal terpenting dari seorang pemimpin ialah keteladanan yang mewariskan nilai dan etika, yang tidak terhenti ketika ia telah tiada atau malah terhenti ketika potret wajahnya tidak lagi menghiasi baliho kota. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar