Politik Hubal Abad Ke-21
Willy Aditya, Direktur Populis Institute
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 26 April 2012
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 26 April 2012
KOTA
Mekah, 400 tahun sebelum kehadiran Muhammad, merupakan kota yang terjerembab
dalam abad kegelapan (jahiliah). Adalah seorang `Amr bin Luhay yang membawa
buah tangan HubalHubal tersebut dari negeri Syam. Dia menjadikan Hubal sebagai
sesembahan baru menggantikan ajaran tauhid.
Sejak saat itu, Hubal banyak dijumpai tidak hanya di Kabah, tapi juga di setiap sudut-sudut Kota Mekah. Pemandangan serupa tapi tak sama kita jumpai ketika `Hubal-Hubal abad ke-21' banyak berjejer di setiap sudutsudut kota dalam bentuk baliho serta billboard yang bergambar tokoh-tokoh politik dan keagamaan. Lantas mengapa fenomena Hubal di Mekah serupa tapi tak sama dengan kondisi kekinian?
Politik Fetisisme
Tujuan
politik seperti yang digariskan Aristoteles sebagai jalan pendorong terciptanya
karakter kebajikan pada setiap individu dalam negara tak terasa praksisnya jika
melihat kondisi politik terkini. Lalu apa yang kita lihat sekarang?
Apakah kita melihat kekuatan seorang pemimpin dari substansi kepemimpinan yang
dibawanya dan tidak terikat pada bentuk-bentuk ragawi ataukah mengesampingkan
rasionalitas dengan penonjolan simbol yang malah mendekati pemujaan dan
pengultusan?
Politik
bertujuan menanamkan nilai dan mencerahkan agar tujuan-tujuan negara dapat
tercapai. Namun sebelum itu, politik terlebih dahulu menuntut pengorbanan
pelaku politik itu sendiri demi kepentingan publik, yang dalam hal ini adalah
pemimpin. Tidak ada kepemimpinan yang begitu mudah mengubah kondisi masyarakat
hanya dengan pengacungan simbol-simbol ragawi tanpa esensi. Karena perubahan
yang terbentuk dengan cara instan tidak akan pernah bermuara pada nilainilai
yang langgeng.
Kehadiran
spanduk, baliho, dan potret-potret fisik para pemimpin negara saat ini tidak
menjelaskan apa-apa, apalagi mengajak dan mengubah sesuatu. Masyarakat
kehilangan panduan dan gagal memahami fungsi guna dari tampilan-tampilan
menyesakkan di ruang publik tersebut. Masyarakat seakan tidak menganggap pesan
politik itu ada, apalagi mengindahkan pesan politik yang disampaikan, karena
kekeringan substansi pesan yang ada. Yang disajikan saat ini oleh para pemimpin
hanyalah sebuah rutinitas perawatan citra, tanpa pernah membawa satu poin jawaban
atas polemik bangsa yang sebenarnya sangat dibutuhkan masyarakat.
Itulah
kemunduran demokrasi dan degradasi kualitas kepemimpinan, yaitu dengan
mengusung praktik politik yang mengagungkan simbol-simbol wujud sehingga
mengerucut pada penihilan substansi pesan politik. Itu ibarat berhala Hubal
yang hanya berdiri dalam bangunan Kak bah, disembah tetapi tak memberikan
apa-apa selain hal-hal berbau klenik. Fetisisme (pemberhalaan) pemimpin dengan
maraknya baliho bergambar senyum minus substansi itu telah melempar paksa
pemimpin itu sendiri keluar dari ranah keberfungsian pemimpin.
Komunikasi Tanpa Isi
Hannah
Arendt merumuskan politik sebagai komunikasi yang terjadi di antara masyarakat
hakikatnya ialah politik yang tidak berhenti sebatas pada pembentukan instansiinstansi
politis, tokoh-tokoh politis yang bersifat formal.
Padahal, politik seharusnya lebih jauh dari sekadar itu. Ia tumbuh dan
berkembang dari sebuah komunikasi di antara setiap instrumennya. Gambar an
tentang politik oleh Arendt itu telah mengerucut pada sebuah kesimpulan, yakni
politik yang berfungsi untuk menciptakan sebuah common good yang dibangun
dengan sebuah komunikasi, yakni komunikasi antara pemimpin dan masyarakat
terjadi secara setara dan tidak saling mendominasi. Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan
masyarakat seharusnya terjawab oleh kehadiran pemimpin dengan solusi konkret.
Dengan
maraknya kehadiran pemimpin dalam sebentuk gambar di pinggir jalan, komunikasi
antara pemimpin dan yang dipimpin terhenti pada level kognisi semata, pun tak
sampai pada tahap pemahaman tujuan. Maka tak terelakkan lagi, masyarakat
semakin sulit menjangkau pemimpin mereka, apalagi memberikan masukan dan
kritikan. Tak keliru kiranya jika masyarakat tidak lagi mengerti apa tujuan
negara ini dipimpin dan mau ke mana negeri ini dialamatkan. Para pemimpin dapat
dilihat, tapi tak terasa kehadiran dalam keseharian masyarakat, jurang yang
selama ini telah ada pun semakin tak terjembatani. Pemimpin dapat dengan mudah
absen dalam memberikan percontohan, acuan moral, teladan intelektualitas, dan
panutan budi. Oleh karena itulah saat ini masyarakat semakin sulit
mengidentifikasi kapasitas asli dari wajah-wajah yang terpampang itu.
Kita
yang mengaku menerapkan demokrasi modern telah mundur sangat jauh dari praktik
yang ditunjukkan seorang tokoh yang lahir jauh sebelum masa renaisans. Virtue point sebagai keadaban publiklah
yang terlupakan dalam panggung politik nasional saat ini sehingga tidak satu
pun peragaan simbol-simbol tersebut memberikan pendidikan politik dan pencerahan
berbangsa. Ruang politik menjadi sesak oleh ajang pamer diri, kenarsisan akut,
dan dipaksakan berjalan dengan mencatut nama demokrasi modern.
Virtue Dalam Berpolitik
Seperti
diuraikan Iseult Honohan (2002) dalam Civic
Republicanism ketika menyarikan prinsip-prinsip keutamaan (virtue)
menekankan pentingnya lima prinsip. Pertama, prudentia (bijak), yaitu nalar praktis yang membawa pemimpin dan
warga negara meletakkan kebaikan bersama di atas kepentingan personal.
Kedua, fortitudo (berani), yaitu keberanian pemimpin mengambil kebijakan berdasarkan kepentingan nasional di atas kepentingan lainnya. Ketiga, decorum (moderasi), yaitu kemampuan bersikap seimbang berdasarkan situasi yang berubah. Keempat, justisia (adil) kemampuan bertindak imparsial, jujur, dan menekankan prinsip kesetaraan sebagai nakhoda bagi setiap kebijakan politik. Kelima, conscienza (peduli), yaitu kebaikan setiap orang akan terangkai menjadi kebaikan bersama dalam semangat kepedulian.
Kedua, fortitudo (berani), yaitu keberanian pemimpin mengambil kebijakan berdasarkan kepentingan nasional di atas kepentingan lainnya. Ketiga, decorum (moderasi), yaitu kemampuan bersikap seimbang berdasarkan situasi yang berubah. Keempat, justisia (adil) kemampuan bertindak imparsial, jujur, dan menekankan prinsip kesetaraan sebagai nakhoda bagi setiap kebijakan politik. Kelima, conscienza (peduli), yaitu kebaikan setiap orang akan terangkai menjadi kebaikan bersama dalam semangat kepedulian.
Politik Hubal telah mengingkari tujuan dasar
politik dan mencecerkan virtue-nya di
persimpangan jalan. Fenomena tersebut sesungguhnya telah dihancurkan Muhammad
dan diuji oleh zaman melalui pembuktian eksistensinya sebagai pemimpin besar
tanpa wujud fisik apa pun sebagai metode mempertahankan kebesaran namanya. Kita
membutuhkan kesadaran seperti mafhumnya Muhammad yang meruntuhkan kekuatan
simbol dan ikon yang mengutamakan visual fisik untuk mengukuhkan kekuatan. Hal
terpenting dari seorang pemimpin ialah keteladanan yang mewariskan nilai dan
etika, yang tidak terhenti ketika ia telah tiada atau malah terhenti ketika
potret wajahnya tidak lagi menghiasi baliho kota. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar