Sabtu, 28 April 2012

Pemerintah Alihkan Tugas ke SPBU

Pemerintah Alihkan Tugas ke SPBU
James Luhulima, Wartawan KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 28 April 2012


Setelah tidak berani menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi untuk menurunkan dana subsidi yang dikeluarkan, kini pemerintah berniat mengalihkan tugas ke personel stasiun pengisian bahan bakar untuk umum.

Seperti diketahui, penolakan masyarakat terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi membuat pemerintah mencoba mencari dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, DPR tampaknya tidak mendukung keinginan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Dengan berbagai cara, partai politik yang berada di DPR menolak keinginan pemerintah tersebut.

Partai politik yang sejak awal tegas-tegas menolak adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati Nurani Rakyat.
Sementara partai politik yang mendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan, kecuali Partai Keadilan Sejahtera, menolak secara tidak langsung.

Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan menyatakan, pemerintah dapat menaikkan harga BBM bersubsidi jika fluktuasi harga minyak mentah dunia sebesar 15 persen selama enam bulan ke depan.

Dan, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengatakan, kewenangan menaikkan harga BBM bersubsidi ada di tangan pemerintah, bukan di DPR. Dengan kata lain, keputusan untuk menaikkan atau tidak menaikkan harga BBM bersubsidi sepenuhnya di tangan pemerintah.

Akan tetapi, pemerintah kemudian memilih untuk tidak menaikkan harga BBM bersubsidi. Sebagai gantinya, pemerintah kembali mengajukan rencana membatasi penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan pribadi.

Sah-sah Saja

Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan rencana pemerintah membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Rencana itu sah-sah saja. Yang menjadi persoalan adalah ketika pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi sebelum rencana itu benar-benar siap untuk dijalankan.

Pemaksaan pemberlakuan kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi sebelum program itu matang hanya akan menimbulkan persoalan baru yang harus ditanggung oleh SPBU.

Apalagi jika pembatasan pembelian BBM bersubsidi ditetapkan sesuai dengan kapasitas mesin, misalnya 1.500 cc ke atas diharuskan membeli BBM nonsubsidi yang harganya lebih mahal, lebih dari dua kali lipat.

Tentunya pembatasan berdasarkan kapasitas mesin juga harus diikuti oleh tahun produksi. Sebab, tidak sedikit mobil keluaran lama yang kapasitas mesinnya di atas 1.500 cc, antara lain Toyota Kijang kapsul dan Suzuki Carry 1.5.

Soal lain adalah jika tujuannya membatasi penggunaan BBM bersubsidi (karena volumenya sangat terbatas), mengapa mobil-mobil yang kapasitas mesinnya di bawah 1.500 cc diizinkan menggunakan BBM bersubsidi?

Dari segi jumlah, mobil-mobil yang kapasitas mesinnya di bawah 1.500 cc adalah yang paling banyak. Jika melihat data penjualan mobil secara nasional tahun 2011, mobil di bawah 1.500 cc terjual sebanyak 466.905 unit, mobil di atas 1.500 cc terjual sebanyak 124.256 unit, dan mobil di atas 3.000 cc terjual kurang dari 5.000 unit.

Itu baru membicarakan untuk mobil-mobil yang berbahan bakar bensin. Bagaimana dengan mobil-mobil diesel yang menggunakan bahan bakar solar?

Kebijakan yang mengatur bahwa mobil-mobil dinas dan mobil berpelat merah harus menggunakan BBM nonsubsidi pasti tidak akan menimbulkan persoalan. Pengguna mobil-mobil itu pasti tidak akan keberatan dengan pembatasan tersebut mengingat uang yang dikeluarkan untuk membeli BBM nonsubsidi mobil-mobil itu akan dikembalikan oleh negara.

Namun, apabila diberlakukan kepada pemilik mobil pribadi, persoalannya menjadi lain. Potensi terjadinya keributan sangat besar, terutama apabila ada pemilik mobil yang memaksa membeli BBM bersubsidi.

Membatasi penggunaan BBM bersubsidi sepenuhnya merupakan tugas pemerintah. Bagaimana mungkin kemudian pemerintah memindahkan sesuatu hal yang menjadi tugasnya kepada petugas pengisi BBM di SPBU yang notabene merupakan orang kecil!

Untuk mengantisipasinya, SPBU harus melakukan persiapan tersendiri, misalnya dengan meminta bantuan aparat kepolisian atau menambah petugas keamanan yang tentu berarti tambahan biaya. Berapa banyak petugas kepolisian atau petugas keamanan yang akan dilibatkan dan juga berapa lama penjagaan SPBU harus dilakukan? Bagaimana dengan SPBU yang buka 24 jam? Pada SPBU yang buka 24 jam, bukan tidak mungkin seorang petugas pengisi bahan bakar minyak akan berhadapan sendirian dengan pemilik atau pengendara mobil.

Melihat kompleksitas persoalan yang akan muncul (dari kebijakan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi), seharusnya pemerintah lebih kreatif dalam memilih alternatif untuk mengganti kebijakan menaikkan harga BBM. Kalaupun pembatasan penggunaan BBM bersubsidi itu dianggap sebagai alternatif satu-satunya, matangkanlah rencana itu dengan baik sehingga pemerintah tidak dianggap hanya mengalihkan tugas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar