Protokol Hantu Kasus Nazaruddin
Febri Diansyah, Peneliti
Hukum Indonesia Corruption Watch
SUMBER : KOMPAS, 27 April 2012
SUMBER : KOMPAS, 27 April 2012
Muhammad Nazaruddin, bekas Bendahara Umum
Partai Demokrat, divonis bersalah. Hukumannya 4 tahun 10 bulan penjara dan
denda Rp 200 juta. Jika hanya melihat dari sisi ini, rasanya kita kecewa.
Keadilan seperti runtuh.
Namun, sejumlah butir
mendasar dalam pertimbangan hakim menarik didalami. Paling tidak agar kita bisa
mengawal dan dapat membuka tabir gelap kasus ini. Saya teringat istilah ghost protocol , protokol hantu. Sebuah
frase yang membawa ingatan kita pada film Mission
Impossible 4. Bahwa akhirnya Pemerintah AS menyangkal segala sesuatu yang
dilakukan oleh tim Impossible Mission
Force. Apakah ini seperti partai yang melakukan penyangkalan terhadap ”pengumpulan
dana politik” oleh Nazaruddin sebagai bendaraha umum? Sejauh ini, belum
terbukti.
Menjerat Korporasi
Kembali pada putusan pengadilan, di bagian
pertimbangan, hakim menegaskan posisi Grup Permai sebagai sarana pengumpulan dana
proyek, khususnya dari PT Duta Graha Indah (DGI). Hal ini sangat penting
dicermati, apalagi hakim berani menggunakan istilah directing mind atau pengendali perusahaan.
Dikatakan, meski nama Nazaruddin tak
tercantum lagi dalam struktur Grup Permai dan perusahaan-perusahaan lain, de facto Nazaruddin-lah pengendali
sesungguhnya perusahaan tersebut. Hal ini sungguh menarik dan jarang kita
dengar dalam putusan hakim di Indonesia.
Jika ditelusuri lebih jauh, evolusi awal
analisis teori directing mind dapat
ditemukan pada putusan Viscount Haldane dalam kasus: Lennard’s Carrying Co Ltd
vs Asiatic Petroleum Co Ltd (1915). Disebutkan bahwa korporasi adalah sebuah
abstraksi. Ia tak memiliki pikiran. Tindakan- tindakan untuk mencapai tujuan
hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang disebut agen. Namun, siapakah
sebenarnya yang mengendalikan pikiran (directing
mind) dan kehendak korporasi (will of
the corporation) sebagai sesuatu yang bersifat sentral dalam korporasi?
Di kemudian hari, Lord Denning (1956) sering
dirujuk ketika bicara tentang directing
mind. Ia mengumpamakan perusahaan sebagai sebuah tubuh; sebuah perspektif
yang melihat korporasi dari kacamata teori alter-ego.
Di sinilah ditegaskan bahwa pengendali perusahaan adalah otak dan saraf sentral
yang melakukan kontrol, yang merepresentasikan sebuah korporasi (Todarello, New
York Law School Law Review, Vol 46).
Inilah yang kemudian berkembang dan diadopsi
oleh aturan hukum di sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk
menjawab pertanyaan: siapa yang bertanggung jawab dalam sebuah tindak pidana
korporasi.
Apa arti semua ini? Secara sederhana saya
ingin katakan, teori yang dikutip majelis hakim adalah sesuatu yang punya dasar
kuat. Jangan sampai, karena kekhilafan, hal ini dianulir di pengadilan tingkat
berikutnya atau bahkan di kasus yang lain terkait Nazaruddin.
Sebab, jika kita mencermati fakta
persidangan, diduga masih terdapat sederet proyek yang juga kait-mengait dengan
Grup Permai dan PT DGI. Bahkan, Grup Permai itu sendiri terafiliasi dengan
sejumlah perusahaan lain yang bergerak di berbagai bidang.
Dengan kata lain, teori dasar yang diletakkan
dengan cukup baik oleh hakim kali ini seharusnya dikuatkan dan menjadi
perhatian bagi proses hukum berikutnya. Tentu dengan catatan, KPK juga
memprioritaskan penerapan delik korporasi. Sebuah strategi yang tidak semata
bertujuan menangkap orang, tetapi juga memaksimalkan pengembalian aset hasil
korupsi dan melindungi kepentingan publik dari ancaman korupsi yang sama oleh
perusahaan.
Dalam tataran lebih teknis, konsep di atas
sebenarnya juga diadopsi di UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang. Meski
tak disebut secara eksplisit istilah directing mind, Pasal 6 Ayat (2) huruf (a)
UU ini menyebutkan bahwa pidana dijatuhkan kepada korporasi apabila dilakukan
atau diperintahkan oleh ”personel
pengendali” korporasi. Korporasi didefinisikan sebagai kumpulan orang atau
kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun tidak. Definisi
ini sama antara UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Pencucian Uang. Tentu bukan
seperti definisi yang dikemukakan oleh kuasa hukum Nazaruddin.
Kasus yang ditangani Kejaksaan Tinggi
Kalimantan Selatan dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana (GJW) bisa dipelajari
untuk menjerat korporasi dengan delik korupsi. Dalam putusan Pengadilan Tipikor
Banjarmasin hingga tingkat banding, 10 Agustus 2011, perusahaan dinyatakan
bersalah melakukan korupsi secara berlanjut dari tahun 1998 hingga 2008. PT GJW
akhirnya dihukum denda Rp 1,3 miliar dan penutupan selama enam bulan.
Sebelumnya, direktur utama perusahaan ini telah dijatuhi putusan berkekuatan
hukum tetap di Mahkamah Agung: 6 tahun penjara dan mengganti kerugian negara Rp
6,34 miliar.
Sanksi dengan efek jera yang lebih kuat bisa
didapatkan jika KPK menggabungkan pendekatan UU Tipikor dengan UU Pencucian
Uang. Jika di Pasal 18 UU Tipikor penutupan perusahaan hanya bisa dilakukan
maksimal satu tahun, di Pasal 7 UU Pencucian Uang terbuka kemungkinan
pencabutan izin usaha, pembubaran, perampasan aset, dan pengambilalihan
korporasi oleh negara. Tampaknya Pasal 7 ini disusun sedemikian rupa untuk
melindungi potensi terganggunya kepentingan publik karena operasional korporasi
yang sering kali belum tentu akan berhenti meskipun direksi atau pengendalinya
dibui. Tidak tertutup kemungkinan, seorang pemimpin perusahaan mengatur usaha
dari balik terali. Lebih dari itu, klausul sanksi perampasan dan
pengambilalihan aset korporasi bisa menjadi jawaban kurang maksimalnya asset recovery dalam pemberantasan
korupsi selama ini.
Penerapan strategi ini juga bersifat lintas
negara. United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) yang sudah kita ratifikasi tahun 2007 juga memberikan
dasar rekomendasi agar setiap negara mengatur perihal tanggung jawab pidana legal person (Pasal 26) dan mekanisme mutual legal assistance ( Pasa l 46). Dengan demikian, penegak
hukum seharusnya punya bekal tambahan jika ternyata ada aset korupsi perusahaan
yang disembunyikan di luar negeri.
Penikmat Korupsi?
Tantangan lain untuk menyingkap protokol
tersembunyi dalam struktur kasus ini dan relasinya dengan dana politik adalah
bagaimana penegak hukum bisa menelusuri penikmat korupsi secara signifikan.
Apakah penikmat dalam artian menerima dana yang ”dikelola” korporasi dan
memperkaya diri dengan dana tersebut ataupun dalam artian menggunakan dana
untuk perebutan posisi dan kekuatan politik. Nazaruddin sering menyebutnya
dengan dana pemenangan Anas di kongres partai yang tentu masih perlu
dibuktikan.
Akhirnya, memang, makna ”protokol hantu” ini bisa jadi berlapis, yang satu per satu harus
dibongkar. Mulai dari posisi Nazaruddin sebagai directing mind, tetapi dengan
nama yang hampir tak tertulis dalam dokumen perusahaan; ”kebiasaan” memberikan fee 18-20 persen dari nilai proyek yang
membuat APBN bocor parah; atau mekanisme pemutusan ”tali tanggung jawab” dan penyangkalan ketika satu aktor ditangkap. ●
Luar biasa bung Febri. Tulisannya : Tangkas, Tajam dan Lugas. Bravo
BalasHapusSalam
Natsir Kongah