Senin, 30 April 2012

Ketidakpastian


Ketidakpastian
Muhammad Chatib Basri, Pendiri CReco Research Institute,
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 30 April 2012


“Two roads diverged in a yellow wood/ And sorry I could not travel both”, begitu tulis Robert Frost dalam puisi ”The Road Not Taken”. Frost mengingatkan kita pada konsep paling penting dalam ekonomi: pilihan. Ketika jalan bercabang, kita harus memilih, dan setiap pilihan punya pengorbanan. Saya kira inilah yang terjadi di republik kita pada hari-hari ini.

Kita harus mulai membayar pilihan yang diambil akibat akrobat politik, lemahnya kepemimpinan dalam mengelola koalisi, dan kegemaran untuk tepuk tangan. Sejauh ini makroekonomi memang masih stabil. Namun, lembaga pemeringkat Standard & Poor’s menunda menaikkan Indonesia ke peringkat investasi. Ketidakpastian merebak, harga-harga mulai naik, inflasi antar tahun di bulan Maret meningkat cukup tinggi. Rupiah cenderung tertekan, sedangkan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi terus meningkat.

Sejak awal tahun 2010 saya sudah mengingatkan—ketika itu pemerintah belum diikat oleh Dewan Perwakilan Rakyat—bahwa harga BBM harus dinaikkan. Sekarang pemerintah terlihat gamang. Begitu banyak target yang ingin dicapai: ingin Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara aman, harga dapat dikendalikan dan pembatasan BBM bisa berjalan. Ketidakpastian harus diakhiri.

Selama harga BBM tidak dinaikkan, ekspektasi inflasi akan terus meningkat karena ketidakpastian. Orang akan terus menaikkan harga barang sampai nanti harga BBM benar-benar dinaikkan (terjadi inflation overhang). Penting sekali bagi Bank Indonesia untuk menjaga inflasi. Di sisi lain pemerintah harus menjamin pasokan, termasuk jika perlu buka keran impor untuk menekan harga domestik. Tanpa itu, pasar keuangan gamang dan rupiah akan tertekan.

Pilihan paling baik dan realistis tentunya adalah menaikkan harga premium secara bertahap dan mengalihkan dananya untuk infrastruktur dan program penanggulangan kemiskinan. Kebijakan ini transparan, mudah, dan nondistortif. Pembatasan BBM tak akan efektif karena akan menimbulkan pasar gelap. Pelarangan Premium bagi pelat hitam atau kelas kendaraan tertentu tak akan mengurangi konsumsi Premium karena pasar gelap akan terus memfasilitasinya. Yang lebih repot lagi, Pertamax tidak tersedia di semua tempat di Tanah Air. Padahal, pengalihan dari BBM bersubsidi ke Pertamax mensyaratkan ketersediaan Pertamax. Bayangkan apabila Premium dilarang, tetapi Pertamax tidak tersedia.

Selain itu, ingat, pemilik pompa bensin adalah swasta. Jika pemilik pompa bensin diharapkan untuk meningkatkan penjualan Pertamax, artinya mereka harus melakukan investasi tambahan untuk tangki. Siapa yang mau menanggung biaya investasi ini? Apakah swasta mau? Lebih repot lagi, kebijakan pembatasan membutuhkan administrasi dan pengawasan yang ketat, sesuatu yang pemerintah sangat lemah. Oleh karena itu, menaikkan harga jauh lebih ampuh dari segi efektivitas.

Masalahnya, pemerintah sekarang disandera oleh keputusan parlemen yang ada. Pemerintah tak punya banyak pilihan. Membiarkan subsidi meledak sama artinya dengan memotong dana untuk akses infrastruktur yang amat dibutuhkan orang miskin. Lalu, dalam situasi seperti ini, apa yang masih bisa dilakukan? Atau pembatasan model apa yang memiliki distorsi yang paling minimal?

Saya teringat ide yang disampaikan Martin Feldstein, Chairman of the Council of Economic Advisers zaman Ronald Reagan dan Guru Besar Universitas Harvard. Idenya: Tradeable Gasoline Rights. Namun, dari awal saya ingatkan, opsi ini sulit dan butuh waktu panjang. Meski demikian, idenya menarik dan dampak distorsinya paling kecil.

Mekanismenya: batasi Premium pada jumlah konsumsi, bukan target pemakai. Lalu pengguna Premium diberikan kupon, di mana setiap rumah tangga berhak menikmati subsidi sampai jumlah tertentu, misalnya saja 20 liter satu bulan (kira-kira konsumsi pengguna sepeda motor). Jika mengonsumsi lebih dari 20 liter, mereka harus membeli Pertamax dengan harga pasar. Dengan begini, target konsumsi 40 juta kiloliter dapat dijaga.

Yang paling penting dari skema ini: kupon ini harus dapat diperjualbelikan. Untuk rumah tangga yang mengonsumsi Premium lebih sedikit—seperti penduduk miskin—mereka bisa menjual kuponnya secara langsung kepada pihak lain yang membutuhkan atau menjualnya ke stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) atau PT Pertamina. Di sini dampak pasar gelap akibat pembatasan justru difasilitasi melalui jual beli resmi. Orang akan mendapatkan tambahan pendapatan jika ia bersedia mengurangi konsumsi Premiumnya. Ada insentif untuk mengurangi konsumsi Premium. Dengan cara ini, subsidi mencapai sasaran karena proses jual beli. Tapi ingat: proposal ini sangat rumit. Seluruh rumah tangga harus didaftar, kupon harus terdistribusikan dengan benar melalui pos, dan tak ada kupon palsu. Saya tak yakin kita mampu saat ini. Akan tetapi, untuk jangka panjang, ide ini mungkin lebih efektif ketimbang pelarangan Premium bagi kendaraan pelat hitam atau kelas kendaraan tertentu.

Dalam situasi saat ini, pemerintah memang dihadapkan pada posisi yang sulit. Namun, pemerintah harus berani memilih. Kebijakan ekonomi yang baik kerap kali pahit dan miskin tepuk tangan, dan butuh keberanian untuk tidak populer. Sebuah pemerintahan dikenang karena warisan kebijakannya bermanfaat jauh setelah ia berakhir. Ia tidak dikenang karena popularitas sesaat. Persis seperti bait akhir puisi Frost: ”I took the one less traveled by/And that has made all the difference”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar