Politik Perbincangan dan Matinya Bahasa
Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan,
Fakultas Seni
Rupa Dan Desain, ITB Bandung
SUMBER : KOMPAS, 28 April 2012
SUMBER : KOMPAS, 28 April 2012
Mencoba memahami lebih dalam tata laku
penguasa dan politisi dalam perspektif kebudayaan hari ini kian mendekatkan
saya pada kesimpulan bahwa tabiat politisi kita telah kian dekat ke arah
katastrofe kemanusiaan: nilai-nilai manusia yang melekat pada dirinya sebagai
makhluk beradab runtuh.
Kiamat kemanusiaan sedemikian mula-mula
diniscayakan oleh matinya politik dan hukum. Matinya politik dan hukum terjadi
ketika keduanya tak mampu mencapai tugas yang diembankan kepadanya: menata
negara-bangsa dengan baik (politik) yang berfondasi pada keadilan hakiki atas
nama kemanusiaan yang adil dan beradab (hukum).
Ilmu politik modern, sebagaimana jauh-jauh
hari dikatakan Vaclav Havel (1992), kiranya telah melucuti subyek politisi
sebagai manusia berhati nurani di satu sisi dan menjadikannya robot yang piawai
mengelola kepentingan dengan menggunakan hukum sebagai alibi obyektivitas.
Lihatlah, politisi yang diindikasikan korupsi atau melakukan kejahatan lain
selalu mudah mengatakan, ”saya serahkan
perkara kepada penegak hukum”, ”jangan
intervensi hukum”, ”kita lihat saja
faktanya di pengadilan”.
Alibi atas nama obyektivitas itu akhirnya
bisa dilihat sebagai modus operandi yang mudah dibaca. Pernyataan seorang
politikus teridentifikasi korupsi di ujung kamera televisi hanyalah sebuah
rangkaian dalam narasi politik tanpa nurani yang akan bersambung pada narasi
hukum yang buta terhadap keadilan. Bukankah kita terbiasa menyaksikan bahwa ”perkara yang telah diserahkan kepada penegak
hukum” itu luar biasa membias.
Kini kita tak lagi melihat apa wujud ”fakta dalam persidangan”. Yang ada ”fakta yang telah disubyektivikasi oleh hukum
kepentingan”, baik di dalam maupun di luar ruang sidang. Jadi, ruang sidang
hanya tempat pembuangan akhir bagi sampah busuk politik yang telah mengendap di
berbagai tempat kejadian perkara: di lembaga eksekutif dan legislatif, dan jangan-jangan
KPK, juga hanya jadi tempat pembuangan sementara.
Politik
Omong Kosong
Ketika situasi politik dan hukum telah
sekarat, pada titik itulah bahasa mengalami kematian. Artinya, bahasa tak lagi
memiliki kekuatan mengusung nilai keadaban manusia. Bahasa sudah sangat
dikotori sehingga sebagai alat ia sudah macet, sementara sebagai entitas budaya
yang semestinya dihormati telah menjadi sampah (disampahkan).
Bahasa yang mati tidak lagi mengonstruksi pengetahuan, tetapi hanya menimbulkan
kegaduhan.
Terjadi paradoks di sini: kematian bahasa
terjadi bukan karena sudah tak ada lagi penuturnya, melainkan justru karena ia
telah kelebihan tuturan. Jika bahasa ilmiah mengandaikan satu kalimat satu
informasi (efektif), dalam bahasa yang mati, 1.000 kalimat hanyalah omong
kosong.
Di dalam kematian bahasa sedemikian,
aktivitas manusia terhenti pada perbincangan tak bermakna. Aktivitas politik
dan hukum, sebagaimana dapat kita saksikan bersama, hanya sebuah dagelan.
Bahasa menjadi steril dari realitas dan karena itu hanya menjadi ”sengkarut linguistik” yang saling
bertegangan, tetapi tak merujuk pada substansi.
Menarik jika situasi ini dianalogikan pada
linguistik struktural Saussurian yang melihat makna bahasa hanya dibangun oleh
relasi di dalam bahasa itu sendiri, bukan dengan sesuatu di luar dirinya. Kata
kasar, misalnya, bermakna semata-mata terdapat kata lain yang berbunyi kasur
dan kasir, demikian selanjutnya. Ini tampak berbanding lurus dengan situasi
semacam ”perbincangan tentang Anas
Urbaningrum diangkat hanya karena diinterpelasi Nazaruddin, Anggie menjadi
tersangka semata-mata karena disebut Rosalina, Miranda Goeltom karena Nunun
Nurbaeti”.
Semua relasi itu, sebagaimana kita saksikan,
sejauh ini tak berpengaruh apa pun pada upaya penegakan hukum di satu sisi dan
penyelesaian kasus korupsi itu sendiri di sisi lain. Semua berhenti sebagai
ujaran, sebagai bahasa tak bermakna. Di luar itu, kematian bahasa tampak tengah
terjadi pula di televisi. Berbagai perbincangan memperlihatkan bagaimana gosip
politik diumbar nyaris ”tanpa batas”.
Dalam acara ini kesantunan berbicara sering diabaikan. Seolah-olah ada kode
etik jurnalistik bahwa seorang presenter bisa seenaknya memotong pembicaraan
narasumber.
Pada kasus lain, perbincangan yang
menghadirkan dua pihak berseberangan sering dibiarkan pula ”adu jotos bahasa”
lengkap dengan segala unsur suprasegmentalnya. Alih-alih informasi utuh dan
seimbang sebagai syarat pemberitaan tersampaikan, yang terjadi malah bias
informasi, bahkan mempertontonkan ketidakadaban berbahasa.
Bagaimanakah agar bahasa kembali dihidupkan?
Dalam konteks matinya politik, kiranya pernyataan John F Kennedy layak diingat
kembali: ”Ketika kekuasaan menyimpang,
puisi membersihkan.” Bagi saya, pesan ini mula-mula bisa dibaca bahwa
kebusukan politik dan kekuasaan meniscayakan kebusukan bahasa atau kebusukan
politik tampak dari bagaimana bahasa digunakan (dimatikan). Puisi itu sendiri
per definisi adalah penggunaan bahasa (Wellek dan Warren, 1949)—tentu saja yang
estetik dan karenanya bertenaga.
Dalam puisi, kata Chairil Anwar, makna harus
digali hingga ke akar kata. Sebab itulah, Kennedy berpendapat bahwa kebusukan
politik (kematian bahasa) hanya bisa disembuhkan dengan kembali memberi roh
pada bahasa. Namun, apakah kita bisa berharap pada ”politik perpuisian” hari ini? Dengan agak berat saya harus
mengatakan, harapan itu sangat tipis. Dalam amatan saya, puisi (umumnya
kesenian) kita hari ini terlalu asyik dengan diri sendiri. Sejumlah penyair dan
seniman memang melakukan eksplorasi bahasa, tetapi lebih pada fungsi bahasa
untuk bahasa (bandingkan dengan ”seni untuk seni” dalam modernisme).
Barangkali jalan puisi yang ditempuh Rendra
atau Taufik Ismail (pada masa mudanya) tak pas untuk hari ini. Perlu dipikirkan
dan ditempuh strategi bahasa puisi dan kesenian secara berbeda, yang mampu
menggetarkan nurani publik dan kebebalan politikus busuk. Bersama kita harus
selalu ingat: jika salah satu ciri yang membedakan manusia dengan binatang
adalah bahasa, kematian bahasa meniscayakan kematian subyek manusia. Alih-alih
berharap muncul negarawan sebagai manusia setengah dewa, yang lahir justru
penguasa dan politisi setengah binatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar