KPI Tak Kenal Karakter Dewan Pers
Atmakusumah, Pengamat
Pers; Ketua Dewan Pers Periode 2000-2003
SUMBER
: KOMPAS, 25 April 2012
Surat Ketua Komisi Penyiaran Indonesia ke
Dewan Pers yang menganggap Dewan Pers menyalahgunakan kekuasaan amat
mengherankan.
Anggapan ini karena Dewan Pers sedang
memfasilitasi organisasi-organisasi pers untuk menyusun panduan Kode Etik
Jurnalistik yang lebih rinci bagi media siaran alias media elektronik. Sama
halnya seperti yang sudah selesai dilakukan oleh Dewan Pers untuk menyusun
Pedoman Pemberitaan Media Siber bagi para pengelola media online atau internet,
yang pemberlakuannya diresmikan 3 Februari 2012.
Panduan etika pers yang lebih rinci, baik
untuk media siaran maupun media siber, merupakan penjabaran lebih lanjut dari
Kode Etik Jurnalistik yang disepakati 29 organisasi wartawan serta perusahaan
pers dan dikukuhkan Dewan Pers, 14 Maret 2006.
Dewan Pers melakukan kegiatan ini hanya untuk
menjalankan fatwa UU No 40/1999 tentang Pers. Menurut Pasal 15 Ayat (2)c, salah
satu fungsi Dewan Pers adalah ”menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik
Jurnalistik” bagi semua jenis media pers. Apa yang disebut ”pers”, menurut
Pasal 1 Ayat 1 UU ini, adalah ”lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik... menggunakan media cetak, media elektronik,
dan segala jenis saluran yang tersedia.”
Salah pengertian KPI?
Surat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) itu
mungkin hanya salah pengertian terhadap apa yang sedang diselenggarakan oleh
Dewan Pers. Boleh jadi KPI mengira Dewan Pers sedang merancang semua Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, yang memang merupakan tugas KPI.
Padahal, Dewan Pers hanya mungkin berkutat di
bidang yang jadi tanggung jawabnya seperti diamanatkan oleh UU Pers, yaitu
khusus menjabarkan Kode Etik Jurnalistik dalam praktik pengelolaan karya
jurnalistik di media siaran. Di luar bidang itu, sebagaimana dikemukakan dalam
Penjelasan Pasal 4 Ayat 2 UU ini, ”Siaran yang bukan merupakan bagian dari
pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan UU yang berlaku.” Hasil
kerja Dewan Pers ini pada akhirnya mungkin hanya melengkapi ”Prinsip-prinsip
Jurnalistik” dan ”Program Siaran Jurnalistik” yang sudah disusun oleh KPI.
Bagaimanapun, tak mungkin terjadi perbedaan
prinsip dalam etika jurnalistik yang disusun KPI dan Dewan Pers. Seperti
dijelaskan Sasa Djuarsa Sendjaja, mantan Ketua KPI, Pedoman Perilaku Penyiaran
dalam Program Siaran Jurnalistik (P3-PSJ) ”pada dasarnya serupa dengan Kode
Etik Jurnalistik yang telah menjadi putusan Dewan Pers. Sebelas pasal kode etik
beserta penafsirannya otomatis dapat menjadi 11 pasal isi P3-PSJ.”
Karena itu, baik dalam Pedoman Perilaku
Penyiaran maupun dalam Standar Program Siaran yang diberlakukan oleh KPI pada
masa lalu disebutkan, kegiatan jurnalistik di media siaran mengacu antara lain
kepada Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Bab
Prinsip-prinsip Jurnalistik pada pedoman dan standar KPI itu menyatakan:
”Lembaga penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik wajib tunduk kepada
peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh
Dewan Pers.”
Penegasan seperti itu tak lagi tercantum
dalam Pedoman Perilaku Penyiaran serta Standar Program Siaran yang baru. Namun,
kedua peraturan KPI itu tetap mencantumkan UU Pers sebagai salah satu tumpuan
pegangan. Dengan demikian, ikatannya tetap erat dengan Dewan Pers sebagai
lembaga yang menetapkan Kode Etik Jurnalistik.
UU Pers yang berlaku sekarang tidak memberi
wewenang kepada Dewan Pers untuk mengontrol atau mengendalikan pers. Dewan Pers
menjalankan tradisi lembaga serupa di negara- negara demokrasi lain, yakni ikut
menjaga kebebasan pers. Putusan-putusan atau pendapatnya bersifat nonlegalistik
(tidak menghukum): berupa saran, anjuran, atau imbauan.
Karakter Dewan Pers seperti itu seolah tidak
dikenal oleh KPI. Dalam suratnya, KPI menganggap Dewan Pers ”melakukan abuse of power” alias menyalahgunakan
kekuasaan. Anggapan demikian juga tak masuk akal karena—sejak awal pembahasan
etika jurnalistik yang lebih rinci bagi media siaran—Dewan Pers mengundang
wakil-wakil KPI. Malah pertemuan selanjutnya diusulkan di kantor KPI, dan
gagasan ini disambut oleh seorang wakil KPI yang hadir pada pertemuan di kantor
Dewan Pers.
Surat KPI itu memberikan gambaran seolah-olah
sejak KPI didirikan tak pernah ada saling pengertian dan kerja sama dengan
Dewan Pers. Seolah-olah kedua lembaga independen ini tak memiliki ikatan dalam
UU Pers untuk menegakkan kebebasan pers dan Kode Etik Jurnalistik.
UU Pers kita yang berlaku sekarang sangat
unik karena tak hanya melindungi kebebasan media cetak, tapi juga kebebasan
karya jurnalistik pada media siaran radio dan televisi serta ”segala jenis
saluran yang tersedia”. Dengan kata lain, pemberitaan dan pembicaraan yang
berkaitan dengan berita dalam siaran radio dan televisi disamakan kedudukannya
dengan karya jurnalistik yang dimuat dalam media pers cetak. Ini ketentuan
hukum yang tak lazim karena di negara-negara lain UU Pers biasanya hanya
mengatur masalah kebebasan bagi media pers cetak.
Dirancang Terpisah
Para perancang dan penyusun UU Pers pada
awalnya merencanakan ketentuan hukum yang komprehensif, mencakup empat jenis
media massa sekaligus dalam hanya satu UU, yaitu pers cetak, radio, televisi,
dan film.
Namun, dalam upaya menyusun perundang-undangan
yang mencakup permasalahan demikian luas hanya dalam waktu beberapa bulan, para
perancang di Departemen Penerangan menghadapi kesulitan. Akhirnya para penyusun
memutuskan untuk lebih dahulu hanya memusatkan perhatian pada pengaturan kehidupan
media pers cetak.
Akan tetapi, ketika RUU Pers dibahas di
Komisi I DPR, persoalan lain muncul. Para wartawan televisi mengeluhkan
berkembangnya indikasi di kalangan para penegak hukum yang tidak memberikan
kebebasan kepada penyiaran karya jurnalistik oleh media siaran televisi.
Mengingat timbulnya indikasi sikap
diskriminatif di kalangan penegak hukum terhadap kebebasan pers, para
narasumber pemerintah yang diminta hadir di Komisi I DPR mengusulkan agar
pengertian tentang ”pers” diperluas. Tidak hanya terkait media cetak, tetapi
juga mencakup karya jurnalistik yang disiarkan oleh radio dan televisi.
Para perumus UU Pers akhirnya sepakat
memperluas makna ”pers” dari media pers cetak sampai ke karya jurnalistik media
siaran radio dan televisi. Dengan demikian, perlindungan UU Pers terhadap
kebebasan pers di negeri ini tidak berakhir pada media pers cetak semata-mata,
melainkan meluas ke media elektronik, bahkan ke ”segala jenis saluran yang
tersedia”.
Jika sekarang ada keinginan untuk memisahkan
kembali posisi media siaran dari media pers cetak, hal itu hanya dapat
dilakukan dengan merevisi UU Pers dan UU Penyiaran secara bersamaan. Dalam
revisi kedua UU ini, pengamatan terhadap penaatan Kode Etik Jurnalistik
dijalankan oleh kedua lembaga independen secara sendiri-sendiri. Dewan Pers
tidak lagi bertanggung jawab mengamati kegiatan jurnalistik di media siaran.
Walaupun demikian, amatlah penting bahwa
kedua UU ini mempertahankan upaya menegakkan kebebasan pers agar tetap dapat
ikut merawat demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar