Rabu, 25 April 2012

KPI Tak Kenal Karakter Dewan Pers

KPI Tak Kenal Karakter Dewan Pers
Atmakusumah, Pengamat Pers; Ketua Dewan Pers Periode 2000-2003
SUMBER : KOMPAS, 25 April 2012


Surat Ketua Komisi Penyiaran Indonesia ke Dewan Pers yang menganggap Dewan Pers menyalahgunakan kekuasaan amat mengherankan.

Anggapan ini karena Dewan Pers sedang memfasilitasi organisasi-organisasi pers untuk menyusun panduan Kode Etik Jurnalistik yang lebih rinci bagi media siaran alias media elektronik. Sama halnya seperti yang sudah selesai dilakukan oleh Dewan Pers untuk menyusun Pedoman Pemberitaan Media Siber bagi para pengelola media online atau internet, yang pemberlakuannya diresmikan 3 Februari 2012.

Panduan etika pers yang lebih rinci, baik untuk media siaran maupun media siber, merupakan penjabaran lebih lanjut dari Kode Etik Jurnalistik yang disepakati 29 organisasi wartawan serta perusahaan pers dan dikukuhkan Dewan Pers, 14 Maret 2006.
Dewan Pers melakukan kegiatan ini hanya untuk menjalankan fatwa UU No 40/1999 tentang Pers. Menurut Pasal 15 Ayat (2)c, salah satu fungsi Dewan Pers adalah ”menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik” bagi semua jenis media pers. Apa yang disebut ”pers”, menurut Pasal 1 Ayat 1 UU ini, adalah ”lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik... menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”

Salah pengertian KPI?

Surat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) itu mungkin hanya salah pengertian terhadap apa yang sedang diselenggarakan oleh Dewan Pers. Boleh jadi KPI mengira Dewan Pers sedang merancang semua Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, yang memang merupakan tugas KPI.

Padahal, Dewan Pers hanya mungkin berkutat di bidang yang jadi tanggung jawabnya seperti diamanatkan oleh UU Pers, yaitu khusus menjabarkan Kode Etik Jurnalistik dalam praktik pengelolaan karya jurnalistik di media siaran. Di luar bidang itu, sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Pasal 4 Ayat 2 UU ini, ”Siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan UU yang berlaku.” Hasil kerja Dewan Pers ini pada akhirnya mungkin hanya melengkapi ”Prinsip-prinsip Jurnalistik” dan ”Program Siaran Jurnalistik” yang sudah disusun oleh KPI.

Bagaimanapun, tak mungkin terjadi perbedaan prinsip dalam etika jurnalistik yang disusun KPI dan Dewan Pers. Seperti dijelaskan Sasa Djuarsa Sendjaja, mantan Ketua KPI, Pedoman Perilaku Penyiaran dalam Program Siaran Jurnalistik (P3-PSJ) ”pada dasarnya serupa dengan Kode Etik Jurnalistik yang telah menjadi putusan Dewan Pers. Sebelas pasal kode etik beserta penafsirannya otomatis dapat menjadi 11 pasal isi P3-PSJ.”

Karena itu, baik dalam Pedoman Perilaku Penyiaran maupun dalam Standar Program Siaran yang diberlakukan oleh KPI pada masa lalu disebutkan, kegiatan jurnalistik di media siaran mengacu antara lain kepada Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Bab Prinsip-prinsip Jurnalistik pada pedoman dan standar KPI itu menyatakan: ”Lembaga penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik wajib tunduk kepada peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers.”

Penegasan seperti itu tak lagi tercantum dalam Pedoman Perilaku Penyiaran serta Standar Program Siaran yang baru. Namun, kedua peraturan KPI itu tetap mencantumkan UU Pers sebagai salah satu tumpuan pegangan. Dengan demikian, ikatannya tetap erat dengan Dewan Pers sebagai lembaga yang menetapkan Kode Etik Jurnalistik.

UU Pers yang berlaku sekarang tidak memberi wewenang kepada Dewan Pers untuk mengontrol atau mengendalikan pers. Dewan Pers menjalankan tradisi lembaga serupa di negara- negara demokrasi lain, yakni ikut menjaga kebebasan pers. Putusan-putusan atau pendapatnya bersifat nonlegalistik (tidak menghukum): berupa saran, anjuran, atau imbauan.

Karakter Dewan Pers seperti itu seolah tidak dikenal oleh KPI. Dalam suratnya, KPI menganggap Dewan Pers ”melakukan abuse of power” alias menyalahgunakan kekuasaan. Anggapan demikian juga tak masuk akal karena—sejak awal pembahasan etika jurnalistik yang lebih rinci bagi media siaran—Dewan Pers mengundang wakil-wakil KPI. Malah pertemuan selanjutnya diusulkan di kantor KPI, dan gagasan ini disambut oleh seorang wakil KPI yang hadir pada pertemuan di kantor Dewan Pers.

Surat KPI itu memberikan gambaran seolah-olah sejak KPI didirikan tak pernah ada saling pengertian dan kerja sama dengan Dewan Pers. Seolah-olah kedua lembaga independen ini tak memiliki ikatan dalam UU Pers untuk menegakkan kebebasan pers dan Kode Etik Jurnalistik.

UU Pers kita yang berlaku sekarang sangat unik karena tak hanya melindungi kebebasan media cetak, tapi juga kebebasan karya jurnalistik pada media siaran radio dan televisi serta ”segala jenis saluran yang tersedia”. Dengan kata lain, pemberitaan dan pembicaraan yang berkaitan dengan berita dalam siaran radio dan televisi disamakan kedudukannya dengan karya jurnalistik yang dimuat dalam media pers cetak. Ini ketentuan hukum yang tak lazim karena di negara-negara lain UU Pers biasanya hanya mengatur masalah kebebasan bagi media pers cetak.

Dirancang Terpisah

Para perancang dan penyusun UU Pers pada awalnya merencanakan ketentuan hukum yang komprehensif, mencakup empat jenis media massa sekaligus dalam hanya satu UU, yaitu pers cetak, radio, televisi, dan film.

Namun, dalam upaya menyusun perundang-undangan yang mencakup permasalahan demikian luas hanya dalam waktu beberapa bulan, para perancang di Departemen Penerangan menghadapi kesulitan. Akhirnya para penyusun memutuskan untuk lebih dahulu hanya memusatkan perhatian pada pengaturan kehidupan media pers cetak.
Akan tetapi, ketika RUU Pers dibahas di Komisi I DPR, persoalan lain muncul. Para wartawan televisi mengeluhkan berkembangnya indikasi di kalangan para penegak hukum yang tidak memberikan kebebasan kepada penyiaran karya jurnalistik oleh media siaran televisi.

Mengingat timbulnya indikasi sikap diskriminatif di kalangan penegak hukum terhadap kebebasan pers, para narasumber pemerintah yang diminta hadir di Komisi I DPR mengusulkan agar pengertian tentang ”pers” diperluas. Tidak hanya terkait media cetak, tetapi juga mencakup karya jurnalistik yang disiarkan oleh radio dan televisi.

Para perumus UU Pers akhirnya sepakat memperluas makna ”pers” dari media pers cetak sampai ke karya jurnalistik media siaran radio dan televisi. Dengan demikian, perlindungan UU Pers terhadap kebebasan pers di negeri ini tidak berakhir pada media pers cetak semata-mata, melainkan meluas ke media elektronik, bahkan ke ”segala jenis saluran yang tersedia”.

Jika sekarang ada keinginan untuk memisahkan kembali posisi media siaran dari media pers cetak, hal itu hanya dapat dilakukan dengan merevisi UU Pers dan UU Penyiaran secara bersamaan. Dalam revisi kedua UU ini, pengamatan terhadap penaatan Kode Etik Jurnalistik dijalankan oleh kedua lembaga independen secara sendiri-sendiri. Dewan Pers tidak lagi bertanggung jawab mengamati kegiatan jurnalistik di media siaran.
Walaupun demikian, amatlah penting bahwa kedua UU ini mempertahankan upaya menegakkan kebebasan pers agar tetap dapat ikut merawat demokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar