Pluralisme Dawam Rahardjo
Moh Shofan, Peneliti
Yayasan Paramadina, Mahasiswa Program Doktoral pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta
SUMBER
: KORAN TEMPO, 28 April 2012
M. Dawam Rahardjo (sebut saja Mas Dawam)
adalah tokoh multidimensi (cendekiawan, budayawan, pemikir Islam, serta pegiat
LSM) dan salah satu ikon intelektual Islam gelombang pertama di Indonesia.
Ide-idenya yang segar dan kontroversial bukan hanya pada pemikiran-pemikirannya,
tetapi juga tecermin dalam cerpen-cerpennya (menyebut salah satunya, Anjing
yang Masuk Surga) kerap membuat geram banyak orang. Rekam jejak
pemikirannya seakan tak mengenal lelah menyuarakan kebebasan dan pembelaan
terhadap kaum yang tertindas. Tetapi di situlah kekuatan dan kehebatan Mas
Dawam, yakni pada ide-idenya yang cemerlang. Berbagai hinaan, cercaan, sampai
pada batas-batas yang paling jauh, yakni pengkafiran, pemurtadan, semuanya
dihadapinya dengan tenang dan sama sekali tak membuatnya surut, apalagi takut.
Mas Dawam tetap mempertahankan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, terutama
berkaitan dengan isu-isu pluralisme, liberalisme, dan sekularisme, yang
diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kritik Mas Dawam terhadap golongan Islam
konservatif bisa dibilang terlalu pedas. Keberaniannya membela hak-hak semacam
penganut Ahmadiyah dan Komunitas Eden membuatnya dimusuhi oleh kalangan
konservatisme Islam, tetapi di sisi lain juga menempatkannya sebagai pemikir
terdepan yang menentang fatwa MUI atas kedua kelompok tersebut. Mas Dawam,
melalui pemikiran-pemikirannya yang progresif-liberal, selalu menganjurkan
kebebasan berpikir dan menjalankan pemikiran pluralisme.
Tentang masalah pluralisme, ia berpendapat,
jika pluralism dipahami sebagai semua agama itu benar, menurut dia, hal itu
tidak menjadi masalah, tetapi juga tidak terlalu benar. Dikatakan tidak menjadi
masalah karena semua agama itu baik dan benar. Itulah, menurut dia, prinsip
pluralisme. Keterangannya bagaimana? Kita sebagai orang Islam tentu saja
mempunyai keyakinan bahwa “sesungguhnya agama yang paling benar adalah Islam”.
Hak kita untuk mengatakan itu, dan kita pun termasuk menganut kepercayaan itu.
Namun, menurut Mas Dawam, hal ini hanya berlaku bagi kita sebagai muslim.
Tetapi itu tidak berlaku bagi orang Kristen. Orang Kristen tidak bisa menerima
pandangan semacam itu. Umat Islam tidak akan percaya bahwa Yesus Kristus atau
Isa al-Masih itu disalib. Doktrin itu hanya berlaku bagi dan merupakan
kepercayaan orang Kristen. Orang Buddha punya kepercayaan lain. Orang Hindu
juga demikian.
Setiap orang mengakui kebenaran agama menurut
kepercayaan masing-masing. Apa yang menjadi keyakinan Mas Dawam di atas,
menurut saya, perlu ditindaklanjuti. Artinya, memahami pluralisme tidak sekadar
memberikan tafsir secara kontekstual-historikal terhadap teks-teks Al-Quran
yang sejak awal turunnya sudah membawa gagasan-gagasan liberal. Menafsirkan
Al-Quran secara kontekstual-liberal tidaklah cukup manakala belum membawa
implikasi pembebasan bagi kaum minoritas beragama.
Mengharapkan wahyu Al-Quran sebagai solusi
dari semua persoalan kehidupan adalah mustahil jika mekanisme pencarian makna
teks terampas dan ditundukkan ke dalam pembacaan yang subyektif. Subyektivitas
dipaksakan dengan mengabaikan maksud tekstual yang menjadikan teks
diombang-ambingkan sesuai dengan selera pembaca. Tentu saja teks tetap
otoritatif dan pembaca menjadi otoriter, karena kebenaran hanya disajikan
melalui satu pembacaan dengan mengabaikan pembacaan lainnya. Model pembacaan
seperti ini bisa dikatakan kecerobohan karena telah melakukan “pemerkosaan
terhadap teks”. Sebuah pemahaman yang meyakini Al-Quran sebagai solusi atas
semua persoalan kehidupan seraya mengabaikan pendekatan dari berbagai lintas
disiplin ilmu yang berkembang merupakan sebuah mitos yang harus dibongkar.
Dalam pandangan Mas Dawam, jika agama tidak
ditafsir secara terus menerus, akan timbul akibat berupa kematian pemikiran.
Jika ahli pikirnya tidak sanggup melahirkan kontekstualisasi gagasannya, serta
ulama tidak sanggup bertanggung jawab atas agamanya, di situlah awal lonceng
kematian agama dimulai. Kita harus berani mempertahankan kebebasan pada saat
kebebasan sungguh-sungguh terancam. Sapere aude! “Beranilah berpikir
sendiri!” Teks pendek itu terbukti menjadi soko guru dunia modern. Pencerahan
mengikuti Immanuel Kant terjadi ketika manusia membebaskan diri dari selbst
verschuldeten ummundigkeit, ketidakdewasaan atau ketergantungan yang justru
kita tumbuhkan sendiri dalam diri kita.
Mas Dawam memang sosok yang unik, selalu
bangga jika disebut sebagai “intelektual liberal”, tapi ia mengamalkannya
secara konsisten lewat praktek berpikir bebas. Ia tidak mau menjadi orang
munafik, sok suci, dan semacamnya. Ia benci pada kemunafikan, pikiran
plin-plan. Dawam selalu menekankan bahwa “pencerahan pemikiran” hanya bisa
dicapai dengan keberanian berpikir bebas.
Karena itu, fatwa MUI yang mengharamkan
pluralisme dalam pandangan Mas Dawam bisa diartikan sebagai pelarangan
kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan berkeyakinan, yang merupakan bagian dari
hak asasi manusia. Umat Islam perlu menganut paham pluralisme, yaitu paham yang
didasarkan pada kenyataan tentang pluralitas yang sudah menjadi kenyataan di
dunia modern. Pluralisme menghormati perbedaan dan karena itu harus ada saling
menghormati. Jika tidak, yang lahir adalah konflik yang mendorong ke tindakan
kekerasan. Tanpa filsafat pluralisme, kebebasan beragama akan terancam.
Pada 20 April yang lalu, Mas Dawam genap
telah berusia 70 Tahun. Namun, di usianya yang sudah semakin tua, ia tetap
produktif menulis. Nalar intelektualnya tak pernah lelah menyuarakan apa yang
diyakininya sebagai kebenaran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar