Rabu, 25 April 2012

Kekerasan atas Nama Agama dan Ukhuwah


Kekerasan atas Nama Agama dan Ukhuwah
Mundzar Fahman, Wartawan Senior,
Doktor penulis buku Problem Besar NU Pasca-Gus Dur (2011)
SUMBER : JAWA POS, 25 April 2012


LETUPAN kekerasan berbau agama kembali terjadi. Sekelompok orang menyerang dan merusak sebuah masjid milik jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat (Jawa Pos, 21 April 2012). Sehari berikutnya, sekelompok orang merusak Pesantren Terbuka Robbaniy di Jember (Jawa Pos, 22 April 2012).

Umat beragama, khususnya umat Islam, layak bersedih setiap menyaksikan aksi-aksi kekerasan berbau agama seperti itu. Apalagi jika aksi tersebut dilakukan sekelompok orang Islam terhadap pihak lain, baik yang berlainan akidah maupun yang sekadar berlainan aliran. Jika terhadap pihak lain yang berbeda aliran saja tidak bisa rukun, apalagi terhadap pihak lain yang berbeda agama? Jika tidak bisa hidup berdamai dengan mereka yang berbeda agama, jangan mimpi umat Islam bisa menjadi rahmatan lilalamin.

Musa Lembut kepada Firaun

Tokoh-tokoh muslim aliran anti kekerasan sudah sering menyampaikan bahwa Islam itu suka damai. Islam anti kekerasan, anti anarkistis. Tapi, kampanye seperti itu hingga kini kayaknya belum mampu meniadakan sama sekali kekerasan yang berbau agama.

Ada banyak kisah Nabi dan Rasul Allah di dalam Alquran yang sangat penting dijadikan pelajaran bagi umat Islam. Kisah-kisah itu adalah tentang para Nabi dan Rasul Allah tersebut dalam menyikapi kaumnya yang durhaka. Juga, bagaimana Allah SWT memerintah para Rasul-Nya untuk berdakwah, menyampaikan risalah kepada para kaumnya. Intinya, para Nabi dan Rasul Allah memilih jalan damai dan ramah dalam menjalankan dakwah mereka.

Lihatlah yang diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Musa dan Nabi Harun as untuk mendakwahi Firaun, penguasa Mesir yang amat sangat durhaka itu. Ternyata, Allah tidak menyuruh Musa dan Harun memerangi dan membinasakan Firaun serta balatentaranya. Firman Tuhan: ''Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Firaun karena sesungguhnya dia (Firaun) telah melampaui batas. Maka berkatalah kamu berdua kepadanya dengan ucapan yang lembut mudah-mudahan dia (Firaun) sadar atau takut'' (Alquran, Surat Thaha ayat 42-43).

Dalam pandangan Alquran, Firaun adalah orang yang paling durhaka di atas bumi ini. Sejak Nabi Adam as hingga kini, belum ada orang lain yang menandingi kedurhakaan Firaun. Mengapa? Sebab, dia terang-terangan berani menganggap dirinya Tuhan. Orang lain, selain Firaun, paling banter hanya berani mengaku sebagai nabi. Bahkan, Firaun menganggap dirinya Tuhan yang paling tinggi.

Nah, jika terhadap Firaun yang berani menganggap dirinya Tuhan saja Allah menyuruh Nabi Musa dan Harun bersikap lembut, mengapa umat Islam bersikap keras terhadap saudara-saudaranya yang hanya berbeda aliran atau berbeda mazhab? Mengapa ada umat Islam yang bersikap keras (menyerang, menganiaya, dan bahkan membunuh) terhadap orang lain yang berbeda akidah atau berbeda agama?

Bila Kita Paling Benar

Perintah bersikap lembut, tidak anarkistis, tidak hanya berlaku untuk Nabi Musa dan Nabi Harun. Nabi Muhammad SAW pun diperintah bersikap lembut kepada umatnya. Karena itu, Muhammad pun bersikap pemaaf kepada musuh-musuh bebuyutannya.

Dikisahkan, saat pertempuran antara umat Islam dan orang-orang musyrik Makkah dalam Perang Uhud, umat Islam kalah. Ada tiga orang musyrik yang berhasil melukai fisik Rasulullah SAW. Beliau mengalami luka di kepala, kening, pundak, dan lambung. Gigi seri beliau pun pecah.

Dalam riwayat Ath-Thabary dikisahkan, Nabi SAW bersabda, ''Amat besar kemarahan Allah terhadap suatu kaum yang membuat wajah Rasul-Nya berdarah.'' Setelah berkata seperti itu, beliau diam sejenak, kemudian melanjutkan sabdanya lagi, ''Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui'' (Buku Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarokfury, hal 300-301).

Yang perlu disadari umat Islam, Allah SWT menciptakan manusia dengan aneka ragam suku, ras, budaya, dan keyakinan. Umat Islam hanya diwajibkan berdakwah dengan cara yang baik dan bijak. Tidak boleh memaksakan kehendak. Soal dakwah kita digugu dan dianut atau diabaikan saja oleh orang lain, itu sudah bukan urusan kita. Itu menjadi otoritas Tuhan, sedangkan kewajiban kita untuk berdakwah sudah gugur.

Ada fenomena di masyarakat, dakwah giat diadakan, tapi kemaksiatan juga lancar-lancar saja. Jika ada ustad berceramah, banyak warga yang lebih tertarik pada dagelan si ustad. Bukan pada isi ceramahnya yang kemudian diamalkan dalam kehidupan. Tapi, pada lawakan si ustad. Misalnya, ceramah-ceramah yang bisa kita saksikan di layar televisi. Ya itulah realitas dunia kita saat ini.

Rasanya sudah sangat jelas. Bahwa umat Islam seharusnya bersikap lembut, penuh toleran (tasamuh). Jika merasa yang paling benar, tentu sebaiknya kita bersikap baik kepada mereka. Siapa tahu, mereka berakidah dan beraliran berbeda dari kita mungkin karena mereka belum mendapat hidayah seperti yang kita miliki. Juga, siapa tahu, dengan sikap kita yang baik kepada mereka, mereka lambat laun berubah akidah karena terpesona oleh keramahtamahan kita. Tidak kian menjauh karena kengerian terhadap perilaku anarkistis kita. Siapa tahu pula, mereka lebih baik daripada kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar