UU Pemilu, Partai Kecil, dan MK
Kacung Marijan, Staf Ahli Mendikbud dan Guru Besar FISIP
Unair
SUMBER
: MEDIA INDONESIA, 30 April 2012
SECARA
umum UU Pemilu yang baru saja disahkan tidak berbeda secara berarti dengan UU
Pemilu sebelumnya. Pada pemilu 2014 Indonesia tetap menggunakan sistem pemilu
sebagaimana Pemilu 2009, yaitu sistem proporsional dengan daftar terbuka.
Yang
membedakannya secara berarti ialah kaitan dengan besaran batas ambang untuk
memperoleh kursi di parlemen (parliamentary threshold/ PT), dari 2,5% menjadi
3,5%. Selain itu, kalau pada Pemilu 2009 PT hanya untuk pemilihan anggota DPR,
dalam Pemilu 2014 PT akan berlaku untuk pemilihan anggota DPRD provinsi dan
DPRD kabupaten/kota.
Pemberlakuan
PT dan besarannya memiliki implikasi yang sangat berarti terhadap perolehan
kursi bagi partai peserta pemilu dan keberlanjutan suatu partai. Secara
prinsipiil, pilihan terhadap sistem pemilu proporsional memang telah memberikan
peluang kepada semua partai untuk memperoleh kursi di parlemen, bergantung pada
proporsi perolehan suara dan ketersediaan kursi. Namun ketika di dalam sistem
demikian PT diberlakukan, kesempatan bagi semua partai untuk memperoleh kursi
menjadi berkurang.
Pada
Pemilu 2004, misalnya, PT belum diberlakukan. Dari 24 partai peserta pemilu, 16
di antaranya memperoleh kursi di DPR. Ketika PT diberlakukan pada Pemilu 2009,
keadaan berubah. Dari 38 peserta pemilu, hanya 9 partai yang berhak memperoleh
kursi. Hal itu terjadi karena 29 di antara peserta pemilu tersebut gagal
memperoleh suara minimal 2,5%.
Kini,
besaran PT telah dinaikkan menjadi 3,5%. Itu berarti kesempatan bagi
partai-partai peserta pemilu untuk memperoleh kursi menjadi lebih berkurang.
Memang, sekiranya 9 partai yang saat ini memiliki kursi di DPR mampu
mempertahankan persentase perolehan suara sebagaimana Pemilu 2009, mereka masih
berpeluang tetap bertahan di DPR dan di daerah-daerah. Namun ketika di antara
mereka mengalami kemerosotan suara, kemungkinan terlempar dari parlemen akan
sangat besar. Kemungkinan itu terutama sekali berlaku untuk partai-partai yang
tergolong menengah ke bawah.
Lebih
sulit lagi, partai-partai yang terlempar dari DPR juga bisa terlempar dari DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pada Pemilu 2009, tidak sedikit partai yang
gagal memperoleh kursi di DPR masih memperoleh kursi di DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota. Hal itu terkait dengan adanya basis dukungan yang cukup kuat
dari partai-partai tertentu di daerah tertentu juga. Ibarat orang dagang,
partai-partai itu rugi untuk barang tertentu, tetapi masih untung untuk barang
lain. Dengan kata lain, apa yang terjadi kepada mereka itu merupakan impas.
Adanya
kebuntungan di satu sisi dan keuntungan di sisi lain, seperti yang tergambar
pada Pemilu 2009, yang membuat sejumlah partai-partai kecil bisa bertahan.
Adanya wakil di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/ kota masih memungkinkan
mereka terlibat secara langsung di dalam proses-proses politik secara formal.
Keberadaan semacam itu sekaligus bermakna sebagai sumber yang memungkinkan
terbiayainya kegiatan partai. Bagaimanapun juga, posisi di DPR/D merupakan
sumber penting untuk membiayai kegiatan partai.
Pada
Pemilu 2014, hal demikian tidak terjadi lagi. Partai-partai semacam itu akan
mengalami kerugian secara total. Kesempatan untuk tetap memperoleh kursi di
DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sulit diwujudkan. Memang, secara
teoretis, mereka memiliki kesempatan untuk memperoleh suara lebih dari 3,5%
sekiranya diperbolehkan mengikuti Pemilu 2014. Akan tetapi, fakta lain juga
menunjukkan bahwa kemungkinan semacam itu sangat kecil. Berbagai survei yang
sudah dilakukan menunjukkan perolehan suara partai-partai di atas 3,5% masih
didominasi partai-partai yang sekarang ini memiliki kursi di DPR. Proyeksi
perolehan suara partaipartai nonparlemen masih jeblok.
Partai-Partai Besar
Desain
untuk meningkatkan besaran PT datang dari partai-partai besar dan penganut
gagasan tentang pentingnya efisiensi dan efektivitas di dalam proses pemilu dan
pascapemilu. Jumlah partai yang terlalu banyak dipandang sebagai pemborosan dan
sumber kompleksitas di dalam perumusan dan implementasi kebijakan. Selain itu,
jumlah partai yang terlalu banyak dipandang tidak sesuai dengan sistem
presidensial yang kita anut.
Namun
bagi penganut argumentasi tentang pentingnya pelibatan berbagai pihak (representativeness) di dalam proses
politik, desain semacam itu dipandang sebagai `pembunuh' demokrasi. Desain
semacam itu dipandang secara sengaja hendak mematikan partai-partai kecil.
Pemberlakuan PT sebesar 3,5% secara nasional diberi makna sebagai kesengajaan
untuk membangkrutkan partai-partai kecil. Kondisi impas sebagaimana terjadi
pada masa sebelumnya tidak akan terjadi lagi.
Tidaklah
mengherankan kalau sontak banyak partai-partai secara kolektif melakukan
judicial review terhadap UU Pemilu yang baru ke MK. Mereka menganggap UU itu
tidak adil terhadap mereka dan hanya menguntungkan partai-partai besar.
Pertanyaannya ialah apakah upaya tersebut akan dikabulkan MK?
Dalam
hal gugatan terhadap PT, MK sangat mungkin akan berusaha menyandarkan diri pada
pijakan: apakah praktik PT itu bertentang an dengan demokrasi atau tidak?
Apakah PT itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak?
Kalau
kita merujuk pada praktik demokrasi di negara-negara lain, PT merupakan ins
trumen yang wajar dipakai. Instrumen ini dipakai untuk memperkecil jumlah
partai yang memperoleh kursi di parlemen. Ujung-ujungnya, instrumen ini
dimaksudkan untuk membuat proses pembuatan dan implementasi keputusan-keputusan
bisa secara mudah dilakukan, lebih efektif dan eļ¬sien. Dengan kata lain, PT
tidak bertentangan dengan prinsip dan praktik demokrasi.
Indonesia
juga sudah menggunakannya pada pemilu sebelumnya, meskipun besarannya berbeda.
Karena itu, argumen bahwa PT berlawanan dengan demokrasi sangat mungkin tidak
bisa diterima MK. Gugatan terhadap threshold
sendiri sudah pernah dilakukan dan tidak dikabulkan MK. Contohnya ialah gugatan
terhadap threshold di dalam pemilihan presiden/wakil presiden. Meskipun
threshold merupakan pembatasan terhadap orang-orang yang hendak mencalonkan
diri sebagai presiden/wakil presiden, oleh MK itu dianggap tidak bertentangan
dengan konstitusi.
Satu
poin yang bisa jadi akan lebih serius ialah berkaitan dengan pemberlakuan PT
untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Salah satu argumentasi yang kontra
itu ialah kebijakan demikian bisa membunuh perpolitikan lokal dan tidak sesuai
dengan semangat otonomi daerah. Dalam poin tertentu, argumentasi tersebut
mungkin benar. Namun yang perlu diingat juga ialah sistem kepartaian di
Indonesia selama ini tidak berbanding lurus dengan kebijakan otonomi daerah.
Kecuali di Aceh, kita tidak mengenal partai lokal, misalnya. Karena itu,
gugatan demikian juga memiliki peluang untuk ditolak MK.
Argumentasi
yang cukup kuat dari penggugat ialah keadilan yang berkaitan dengan `hukuman
dua kali' yang diberlakukan UU Pemilu yang baru. Seperti kita ketahui, di dalam
sejarah pemilu pasca-Orde Baru kita mengenal dua konsep threshold. Pertama, electoral threshold (ET) yang
diberlakukan pada Pemilu 1999 dan 2004. Di dalam konsep demikian, peserta
pemilu masih memiliki kesempatan untuk memperoleh kursi di parlemen meskipun
tidak lolos ET. Namun pada pemilu berikutnya, mereka tidak diperkenankan lagi
untuk ikut.
Kedua,
konsep PT. Di dalam konsep itu, partai yang tak lolos tidak memperoleh kursi di
parlemen. Akan tetapi, mereka masih diberi kesempatan untuk mengikuti pemilu
berikutnya. Dengan kata lain, baik ET maupun PT hanya memberlakukan `satu kali
hukuman' terhadap partaipartai yang gagal melampauinya.
Yang
menjadi masalah, dalam UU Pemilu yang baru, partai-partai yang tidak lolos PT
pada Pemilu 2009 tidak otomatis bisa mengikuti pemilu. Yang hendak mengikuti
pemilu berikutnya harus terlebih dahulu diverifikasi. Kalau tidak lolos
verifikasi, mereka tidak berhak mengikuti pemilu. Dengan kata lain, UU Pemilu
yang baru ini memberlakukan `hukuman dua kali' terhadap partai-partai yang
tidak lolos.
Hal
ini berbeda dengan partaipartai yang sudah lolos PT. Mereka justru secara
otomatis memperoleh reward ganda, yaitu memperoleh kursi di DPR dan secara
otomatis bisa mengikuti pemilu berikutnya. Argumentasi dari penggugat itu
sangat kuat ketika dikaitkan de ngan fairness di dalam demokrasi dan UU yang
pernah berlaku. Demi keadilan berdemokrasi, partai partai yang tidak lolos PT
diberi kesempatan untuk mengikuti pemilu berikutnya.
Bila
pada pemilu-pemilu berikutnya partai-partai tersebut tetap tidak lolos PT, itu
masalah lain. Realitas tersebut merupakan hasil yang wajar, ditentukan rakyat
melalui pemilu secara demokratis. Partai partai demikian biasanya menyerah
karena merugi terus-menerus dari pemilu ke pemilu.
Dalam
konteks semacam itu, wajar dan cukup adil ka lau MK, misalnya, membuat
keputusan bahwa partai-partai yang tidak lolos PT pada Pemilu 2009 diberi kesem
patan secara otomatis untuk mengikuti Pemilu 2014.
Terhadap
keputusan semacam itu, partai-partai atau orang-orang yang setuju dengan desain
penyederha naan sistem kepartaian juga tidak perlu kecewa. Desain PT sebesar
3,5% dan diberlakukan secara nasional pada dasarnya merupakan instrumen yang cu
kup efektif untuk menyederhana kan sistem kepartaian di Indoneia, menjadi
kisaran 5-10 partai. sia, menjadi kisaran 5-10 partai.
Partai-partai
yang tidak lolos memang masih berpeluang untuk mengikuti pemilu. Peluang ini
merupakan bagian esensial dari demokrasi. Namun, manakala di setiap pemilu
selalu gagal, partai-partai itu akan bangkrut dan menyerah. Pada akhirnya, `hukum Darwin' yang berlaku. Hanya yang
kuat dan didukung banyak konstituen yang akan survive. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar