Jumat, 27 April 2012

Mengapa RUU KKG Ditolak?


Mengapa RUU KKG Ditolak?
Amirsyah, Wakil Sekjen MUI Pusat dan Dosen UIN Syahid Jakarta dan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 26 April 2012


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengagendakan pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) sebagai hak inisiatif DPR pada 13 April 2012. Berbagai kalangan memberikan tanggapan yang beragam.
Pihak yang mendukung berpendapat bahwa RUU KKG ini ingin membela kaum perempuan. Sedangkan, pihak yang menolak menilai dalam RUU KKG ini terdapat sejumlah pasal yang bertentang an dengan Pancasila bahkan agama.

Namun, terlepas dari sikap pro-kontra tersebut maka yang perlu kita cermati secara mendasar adalah apa argumentasi penolakan terhadap RUU KKG tersebut? Bagaimana solusinya agar semangat pembela kaum perempuan dapat dilakukan. Untuk itu, menurut hemat saya bahwa yang pertama harus dikritisi adalah judul RUU tersebut. Artinya diperlukan redefinisi tentang gender sehingga mempunyai pemahaman yang utuh tentang gender. Misalnya, kata “gender” berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. (John M Echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256).

Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Merujuk pada pengertian tersebut maka ketika kata gender dikaitkan dengan keadilan-kesetaraan, akan muncul sejumlah pertanyaan. Misalnya, apakah dengan konsep gender peran laki-perempuan dapat disetarakan? Dengan perbedaan peran tersebut, apakah keadilan dapat ditegakkan? Dengan kata lain, apakah secara teks dan koteksnya, makna kata gender mempunyai relevansi dengan makna kesetaraan dan keadilan? Jika kita lihat dalam konsep Islam sendiri, sebenarnya tidak mengenal istilah gender karena dalam Islam tidak membedakan kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin dan tidak ada bias gender. Islam mendudukkan lakilaki dan perempuan dalam posisi yang sama dan kemuliaan yang sama.

Oleh karena itu, dalam konteks konstruksi sosial, masyarakat Indonesia tidak dapat memosisikan setara antara laki-laki dan perempuan. Yang jelas, budaya bangsa Indonesia yang tumbuh dari nilai-nilai agama mempunyai kekayaan yang beraneka ragam untuk menempatkan posisi perempuan di tengah kemajemukan budaya bangsa yang dapat dijadikan acuan agar RUU ini kelak mempunyai landasan yang kuat.

Dalam RUU KKG tersebut, ada banyak pasal yang tidak sesuai dengan landasan sosiologis yang tidak jelas. Bahkan, secara konstitusional, RUU KKG tidak jelas secara spesifik mengatur tentang apa? Padahal, di Indonesia ini, sudah banyak UU yang berlaku dan secara substansial tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.

Pertama, mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, pemerintah telah melakukan kebijakan yang bersifat nasional maupun dalam bentuk ratifikasi konvensi inter nasional, seperti ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) (UU Nomor 7 Tahun 1984).

Kedua, perlindungan komitmen bang sa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di tempat kerja, antara lain, diwujudkan dengan meratifikasi konvensi dasar tersebut. Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut maka undang-undang tentang ketenagakerjaan yang ada harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada konvensi dasar tersebut. (Lihat Konvensi ILO Nomor 138 dan No mor 182 tentang Ketenagakerjaan).

Ketiga, dalam Pasal 4 menyebutkan, “Pendidikan terdapat prinsip penyeleng garaan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”

Keempat, perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelan taran rumah tangga pada kenyataannya sering kali terjadi sehingga secara sosio logis mengapa undang-undang ini dilahirkan adalah karena diperlukannya pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi khususnya perempuan.

Hal tersebut sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Secara substanasi RUU KKG telah diatur dalam UU KDRT, dengan demikian tidak diperlukan lagi pengaturan dalam RUU KKG tersebut.

Kelima, dalam hal perdagangan orang, khususnya kaum perempuan dan anak-anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Ini juga sudah diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Keenam, dalam hal perkawinan (UU No 1/1974 Tentang Perkawinan) ditegaskan pada Pasal 2 ayat (1), perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Sementara dalam RUU KKG (Pasal 12 dan 31), terdapat pertentangan dengan UU Perkawinan tersebut.

Berdasarkan alasan tersebut di atas maka menurut hemat saya bahwa diperlukan perubahan secara total terhadap RUU KKG tersebut, dengan alasan pertama, secara substansi RUU KKG tersebut telah diatur dalam sejumlah UU.

Kedua, sejumlah pasal-pasal dalam RUU tersebut tidak sejalan dengan agama bahkan bertentangan dengan agama dan Pancasila. Ketiga, diperlukan perubahan secara substansi yang mengatur secara spesifik perjuangan kaum perem puan yang pada dasarnya sejajar dengan kaum laki dalam beramal soleh guna mewujudkan kemaslahatan umat dan bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar