Mengapa RUU KKG Ditolak?
Amirsyah, Wakil Sekjen MUI Pusat dan Dosen UIN Syahid
Jakarta dan
Universitas
Muhammadiyah Jakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 26 April 2012
SUMBER : REPUBLIKA, 26 April 2012
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengagendakan pengesahan Rancangan Undang Undang
(RUU) Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) sebagai hak inisiatif DPR pada 13
April 2012. Berbagai kalangan memberikan tanggapan yang beragam.
Pihak
yang mendukung berpendapat bahwa RUU KKG ini ingin membela kaum perempuan.
Sedangkan, pihak yang menolak menilai dalam RUU KKG ini terdapat sejumlah pasal
yang bertentang an dengan Pancasila bahkan agama.
Namun,
terlepas dari sikap pro-kontra tersebut maka yang perlu kita cermati secara
mendasar adalah apa argumentasi penolakan terhadap RUU KKG tersebut? Bagaimana
solusinya agar semangat pembela kaum perempuan dapat dilakukan. Untuk itu,
menurut hemat saya bahwa yang pertama harus dikritisi adalah judul RUU
tersebut. Artinya diperlukan redefinisi tentang gender sehingga mempunyai
pemahaman yang utuh tentang gender. Misalnya, kata “gender” berasal dari bahasa
Inggris yang berarti jenis kelamin. (John M Echols dan Hassan Sadhily, 1983:
256).
Secara
umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies
Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya
membuat perbedaan (distinction) dalam
hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Merujuk
pada pengertian tersebut maka ketika kata gender dikaitkan dengan
keadilan-kesetaraan, akan muncul sejumlah pertanyaan. Misalnya, apakah dengan
konsep gender peran laki-perempuan dapat disetarakan? Dengan perbedaan peran
tersebut, apakah keadilan dapat ditegakkan? Dengan kata lain, apakah secara
teks dan koteksnya, makna kata gender mempunyai relevansi dengan makna
kesetaraan dan keadilan? Jika kita lihat dalam konsep Islam sendiri, sebenarnya
tidak mengenal istilah gender karena dalam Islam tidak membedakan kedudukan
seseorang berdasarkan jenis kelamin dan tidak ada bias gender. Islam
mendudukkan lakilaki dan perempuan dalam posisi yang sama dan kemuliaan yang
sama.
Oleh
karena itu, dalam konteks konstruksi sosial, masyarakat Indonesia tidak dapat
memosisikan setara antara laki-laki dan perempuan. Yang jelas, budaya bangsa
Indonesia yang tumbuh dari nilai-nilai agama mempunyai kekayaan yang beraneka
ragam untuk menempatkan posisi perempuan di tengah kemajemukan budaya bangsa
yang dapat dijadikan acuan agar RUU ini kelak mempunyai landasan yang kuat.
Dalam
RUU KKG tersebut, ada banyak pasal yang tidak sesuai dengan landasan sosiologis
yang tidak jelas. Bahkan, secara konstitusional, RUU KKG tidak jelas secara
spesifik mengatur tentang apa? Padahal, di Indonesia ini, sudah banyak UU yang
berlaku dan secara substansial tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan.
Pertama,
mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, pemerintah
telah melakukan kebijakan yang bersifat nasional maupun dalam bentuk ratifikasi
konvensi inter nasional, seperti ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan atau The
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
(CEDAW) (UU Nomor 7 Tahun 1984).
Kedua,
perlindungan komitmen bang sa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi
manusia di tempat kerja, antara lain, diwujudkan dengan meratifikasi konvensi
dasar tersebut. Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut
maka undang-undang tentang ketenagakerjaan yang ada harus pula mencerminkan
ketaatan dan penghargaan pada konvensi dasar tersebut. (Lihat Konvensi ILO
Nomor 138 dan No mor 182 tentang Ketenagakerjaan).
Ketiga,
dalam Pasal 4 menyebutkan, “Pendidikan terdapat prinsip penyeleng garaan
pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”
Keempat,
perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik,
psikis, seksual, dan penelan taran rumah tangga pada kenyataannya sering kali
terjadi sehingga secara sosio logis mengapa undang-undang ini dilahirkan adalah
karena diperlukannya pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi khususnya perempuan.
Hal
tersebut sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan,
terutama kekerasan dalam rumah tangga. Secara substanasi RUU KKG telah diatur
dalam UU KDRT, dengan demikian tidak diperlukan lagi pengaturan dalam RUU KKG
tersebut.
Kelima,
dalam hal perdagangan orang, khususnya kaum perempuan dan anak-anak merupakan
salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Ini juga sudah diatur
dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
Keenam,
dalam hal perkawinan (UU No 1/1974 Tentang Perkawinan) ditegaskan pada Pasal 2
ayat (1), perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu. Sementara dalam RUU KKG (Pasal 12 dan 31), terdapat
pertentangan dengan UU Perkawinan tersebut.
Berdasarkan
alasan tersebut di atas maka menurut hemat saya bahwa diperlukan perubahan
secara total terhadap RUU KKG tersebut, dengan alasan pertama, secara substansi
RUU KKG tersebut telah diatur dalam sejumlah UU.
Kedua, sejumlah pasal-pasal dalam RUU
tersebut tidak sejalan dengan agama bahkan bertentangan dengan agama dan
Pancasila. Ketiga, diperlukan perubahan secara substansi yang mengatur secara
spesifik perjuangan kaum perem puan yang pada dasarnya sejajar dengan kaum laki
dalam beramal soleh guna mewujudkan kemaslahatan umat dan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar