Jumat, 27 April 2012

Titik Api Penyucian Perempuan


Titik Api Penyucian Perempuan
Umbu TW Pariangu, Dosen FISIPOL Undana, Kupang
SUMBER : SINAR HARAPAN, 27 April 2012


Gelombang demokrasi di belahan dunia pascaberakhirnya perang dingin  (pengujung 1980-an) menumbuhkan harapan berseminya peradaban bangsa yang menggairahkan. Konsep demokrasi menjadi tidak sekadar pemerintahan berasal dari, oleh, dan untuk rakyat, tetapi juga dimaknai sebagai demokrasi elektoral, proto demokrasi, neopatrimonial demokrasi, demokrasi militer, dan sebagainya. Bahkan Collier and Levitsky (1997) mencatat ada 500 sub-jenis arti demokrasi yang merupakan pecahan dari konsep demokrasi liberal sebagai basis pelaksanaan demokrasi dunia.

Namun, praktik demokrasi tidak lepas dari kontradiksi seputar kesetaraan terutama bagi kaum perempuan. Demokrasi yang menekankan pemenuhan elektoral menimbulkan pemahaman bahwa demokrasi selesai ketika rakyat telah berpartisipasi memilih dalam pemilu. Sementara persamaan hak warga negara untuk bersaing dalam proses politik demi menjamin sirkulasi kepemimpinan yang adil, proporsional, menjadi terabaikan (Dahl, 1971).

Hak-hak politik perempuan dibatasi, dianggap kelas nomor dua dalam struktur sosial. Sebaliknya, laki-laki dianggap sosok maskulin, penanggung jawab keluarga sekaligus pemimpin dalam masyarakat. Di Swiss misalnya, 50 persen penduduk perempuannya dilarang memilih dalam pemilu (Huntington, 1991: 7), antara lain karena pandangan yang mewarisi filsafat maskulinitas Platonian, Aristotelian, Hegelian, ataupun Kantian terkait kodratisme perempuan.

Hegel dan Kant mengatakan dalam diri perempuan tidak ada rasionalitas, selain tenaga dan jerih payah yang dieksploitasi. Filsuf hebat Aristoteles memosisikan perempuan sebagai kasta sekunder kaum pendatang dan budak. John Locke meyakini kelompok masyarakat yang memiliki hak politik kewarganegaraan hanyalah kelas bangsawan dan pria dewasa, sedangkan perempuan tempatnya di ranah privat/domestik. Kaum perempuan pun terjebak dalam “tidur dogmatis” (dogmatic slumbers)-nya sebagai kaum lemah, subordinat yang diilindungi, dibayang-bayangi kebesaran pria hingga tiba di pertengahan abad 18 dan 19 saat gerakan feminisme mulai terlibat dalam demokrasi dunia.

Di Indonesia?
 
Kita memiliki UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No 2/2008 tentang Parpol yang muncul dari semangat mengakomodasi keterwakilan perempuan di lembaga kekuasaan lewat kebijakan afirmatif kuota 30 persen. Ini didasari pemahaman kepesertaan perempuan dalam kancah politik akan menentukan sejauh mana demokrasi menjamin penegakan hak-hak perempuan dalam mengecap kesetaraan dan perlakuan sederajat dengan kaum pria lewat penentuan kebijakan-kebijakan pro perempuan.

Namun dari total populasi Indonesia sebanyak 237 juta penduduk, jumlah keterwakilan perempuan di pemerintahan terbilang masih minim. Anggota DPR perempuan periode 2009-2014 hanya 101 orang (18,03 persen) dari 560 anggota. Jumlah ini meningkat dibanding 2004-2009 yang mencapai 11,6 persen, namun secara kualitas proporsionalitas tetaplah terbilang rendah. Hal itu karena perilaku partai belum serius menerapkan kuota 30 persen, termasuk sistem zipper dalam pencalonan anggota DPR, ditambah lagi ketiadaan sanksi yang diberikan pada partai yang melanggarnya.

Dalam hal sebaran legislator perempuan pada posisi alat kelengkapan DPR (tujuh badan dan 11 komisi), mereka hanya menempati delapan kursi dari 69 kursi pemimpin. Partai Golkar dan PDIP yang memiliki anggota DPR perempuan terbanyak justru memberikan kursi pemimpin yang sedikit bagi perempuan. Golkar dari 13 kursi pemimpin hanya memberi satu kursi perempuan sebagai wakil ketua, PDIP dengan 12 jatah kursi pemimpin hanya memberi satu kursi kepada perempuan untuk kursi ketua.

Dengan komposisi ”miring” tersebut, ditambah minimnya kapabilitas, sulit bagi legislator perempuan membangun posisi tawarnya dalam mendiskusikan isu-isu urgen yang mewakili kepentingan kaumnya dan kaum minoritas. Secara struktur, “ide kritis” argumentatif politikus perempuan akan sulit menembus dominasi arus kepentingan yang digagas politikus laki-laki yang lebih mencerminkan kehendak partai.

Maka banyak produk legislasi di DPR yang gagal melindungi kepentingan perempuan, seperti Undang-Undang Pornografi yang isinya cenderung mendiskreditkan perempuan, Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memihak terhadap upaya perlindungan buruh migran atau pun Undang-Undang Perkawinan No 1/1974 yang membelenggu potensi perempuan maupun kontroversi soal poligami yang makin menyudutkan posisi perempuan.

Alih-alih mampu memengaruhi cara pandang dalam pengambilan keputusan di parlemen, politikus perempuan terjebak dalam perilaku korupsi seperti dialami Wa Ode Nurhayati (Fraksi PAN) terkait kasus pembangunan infrastruktur daerah dan Angelina Sondakh (Fraksi Demokrat) terkait kasus Wisma Atlet. Tentu saja tidak terlepas bahwa politikus perempuan masih sangat minim jam terbangnya mengarungi wilayah politik yang “terjal”, penuh risiko, dan cenderung korup. Kaum perempuan pun baru 10 tahun terakhir merambahi dunia politik yang tentu saja membutuhkan “napas panjang” keberanian menyuarakan kebenaran dan keadilan lewat pikiran-pikiran kritisnya.

“Purgatorio”
 
Politikus perempuan kita perlu belajar pada figur Aung San Suu Kyi, pejuang demokrasi Myanmar atau seorang Dilma Rousseff, presiden perempuan Brasil yang berani mengkritik pemerintahan Barack Obama di Gedung Putih  terkait sanksi AS terhadap Iran dan kebijakan ekonomi global yang dianggap merugikan negara-negara lain. Keberanian dan komitmen dua perempuan ini memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan keadaban berlandaskan kesetaraan dan keadilan merupakan repartisi dan koreksi atas pelaksanaan demokrasi prosedural selama ini yang mengabaikan keadilan dan HAM terhadap kaum marginal.

Dalam filsafat Jawa, kata “kerja”, “berusaha sungguh-sungguh” disinonimkan dengan terminologi “memayu” yang berasal dari kata “ayu” yang bermakna cantik. Ini mencerminkan dalam diri perempuan sesungguhnya terkandung spirit moralitas selaku sosok perkasa, tangguh, dan pantang menyerah. Ini terkonfirmasi pula dari hasil riset Profesor Roger Steare melalui moral tes DNA-nya melibatkan 60.000 partisipan dari 200 negara yang menyimpulkan wanita dianggap lebih bermoral dan jujur daripada pria (Huffington Post edisi 16 April 2012).

Kesimpulan di atas bukanlah ilusi belaka. Ini karena pengalaman sudah membuktikan perempuan dapat menjadi solusi mujarab terhadap berbagai bayangan kekerasan dan kebuntuan di masyarakat dengan prominensi kearifan dan kelembutannya. Ketika terminal di Kota Solo identik dengan kesemrawutan, premanisme, dan sarang kejahatan lainnya, Wali Kota Solo Jokowi mengambil sikap dengan mengangkat perempuan menjadi ketua terminalnya, dan hasilnya, wajah terminal pun berubah menjadi tertib, nyaman, dan steril dari kekerasan. Selain itu, 17 pasar tradisional di Kota Solo berhasil dibangun di bawah Ketua Satpol Pamong Praja (seorang perempuan) selaku pengaman Perda-nya.

Spirit “pemberontakan” Suu Kyi atau Dilma di atas, maupun tantangan yang menjebak kaum perempuan Indonesia (dalam hal korupsi, stigmasisasi bahwa perempuan berjiwa lemah, dalang pornografi, hedonism provider, dll) sudah saatnya dijadikan “titik api penyucian” (purgatorio) bagi kaum perempuan Indonesia, bangkit bersatu dengan kekuatan alamiah dan kecerdasan (politik) (political savvy)-nya untuk berkompetisi melawan berbagai diskriminasi, ketidakadilan, dan yang terutama untuk memperjuangkan tatanan demokrasi yang berkeadilan gender. Dengan begitu akhirnya terbit kesadaran universal bahwa perempuan dan laki-laki itu beda, tetapi tidak untuk dibedakan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar