Penjara Sementara Perpustakaan
Agus M Irkham, Alumnus Undip, Kepala Departemen Penelitian
dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat
SUMBER : SUARA MERDEKA, 28 April 2012
SUMBER : SUARA MERDEKA, 28 April 2012
PEMUKULAN oleh guru kepada siswanya di SMPN
26 Purworejo sudah seharusnya kita sesalkan. Guru, yang mestinya memiliki hati
sabar dan jiwa mengayomi justru melakukan kekerasan fisik terhadap anak
didiknya. Beruntung, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten itu cepat
mengambil langkah. Guru pengampu mata pelajaran Bahasa Jawa itu dibebastugaskan
dari kegiatan mengajar.
‘’Yang
bersangkutan kami bebastugaskan mengajar dulu, sementara menjadi petugas
perpustakaan agar bisa introspeksi diri,’’ kata Kepala Dinas P dan K Drs
Bambang Aryawan MM, sambil berharap kasus serupa tidak terjadi lagi di wilayah
kerjanya (SM, 18/03/12).
Langkah cepat Kepala Dinas P dan K patut kita
dukung. Hanya yang disesalkan adalah menjadikan perpustakaan sebagai
‘’penjara’’ sementara bagi oknum guru itu. Keputusan ini seolah-olah makin
mengukuhkan persepsi bahwa perpustakaan adalah tempat pembuangan orang
bermasalah.
Belum lagi, stereotipe sebelumnya yang
berkembang bahwa perpustakaan sekolah sejak kelahirannya membawa cacat bawaan.
Cacat lahir itu misalnya gedung yang digunakan tidak sejak awal dibangun untuk
perpustakaan. Letaknya pun tidak di pusat atau lokasi penting sekolah tapi
biasanya di pojok atau dekat toilet.
Petugasnya bukan pustakawan atau staf yang
memiliki keahlian dan sikap baik, bahkan adakalanya staf yang dulunya dikenal
pembuat masalah (troublemaker). Keberadaannya pun dipandang bukan sesuatu yang
penting bagi kemajuan kualitas dan prestasi siswa. Kehadirannya sebatas
memenuhi syarat formal institusi pendidikan.
Maka, isinya pun dapat ditebak. Hanya terdiri
atas himpunan bertumpuk buku usang dan berdebu. Tentu ini kabar buruk buat masa
depan gerakan pembudidayaan kegemaran membaca buku pada siswa. Pemahaman salah
kaprah atas perpustakaan sekolah.
Keputusan menempatkan guru bermasalah di
perpustakaan dapat melahirkan kesimpulan bahwa buku dan perpustakaan sangat
lekat, minimal identik dengan pribadi kurang beradab. Bisa dipastikan hukuman
dan simpulan itu menjadi kampanye efektif menjauhkan siswa dari perpustakaan,
dan kegiatan membaca buku.
Paradigma
Baru
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Perpustakaan mengamanatkan tiap sekolah harus memiliki perpustakaan.
Payung hukum ini makin menegaskan arti penting perpustakaan sebagai jantung
pendidikan. Namun regulasi itu tidak berarti jika tidak disertai perubahan
paradigma berpikir penyelenggara pendidikan.
Perubahan paradigma atau cara berpikir itu
salah satunya berupa pemahaman dari pemilik kuasa birokrasi pendidikan di
tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan kecamatan agar perpustakaan sekolah
berfungsi optimal serta memberi manfaat nyata bagi siswa, guru, dan sekolah.
Perpustakaan harus dikelola oleh staf atau
pustakawan yang gaul. Bukan sebaliknya, perpustakaan menjadi tempat pembuangan,
dipenuhi wajah-wajah tak ramah, dan orang bermasalah. Gaul memiliki arti
pustakawan harus pandai berinteraksi, berkomunikasi, dan menjalin relasi dengan
pemustaka (siswa, dan guru).
Artinya yang dibutuhkan bukan hanya
keterampilan keras tapi juga keterampilan lunak. Dia harus bisa membuat
nyaman pengunjung, tidak merasa tertekan, apalagi terancam. Muaranya, saat para
siswa masuk ke perpustakaan sekolah, seolah-olah mereka tengah main ke rumah
teman atau sahabat.
Gaul juga bisa bermakna memahami
lingkungannya. Pemahaman ini nantinya bisa memicu terobosan baru, misalnya dari
sisi jam buka layanan. Selama ini jam buka perpustakaan sekolah mengikuti jam
belajar mengajar. Kesempatan siswa berkunjung adalah saat jam istirahat, 15
menit kali dua, atau hanya 15 menit pada hari Jumat. Praktis dalam sehari hanya
buka 30 menit. Itu pun biasanya siswa saat jam istirahat lebih memilih untuk
jajan, makan, dan ngobrol di kantin, ketimbang ke perpustakaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar