Ambang Batas Asal Jadi
FS Swantoro, Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUMBER : SUARA MERDEKA, 28 April 2012
SUMBER : SUARA MERDEKA, 28 April 2012
DENGAN ambang batas 3,5 persen, jumlah partai
di parlemen akan sedikit berkurang. Pengurangan partai di parlemen akan
mengawali proses alami penyederhanaan parpol, sekaligus mendorong penguatan
sistem presidensial. Lantas, apa makna angka 3,5 persen itu bagi sistem
kepartaian Indonesia ke depan?
Pengesahan UU Pemilu sebetulnya masih
menyisakan beberapa catatan. Pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional
mendapat kritikan tajam dari partai nonparlemen dan aktivis pemilu karena akan
menghambat konsolidasi demokrasi, yang mendasarkan kedaulatan di tangan rakyat.
Seharusnya, ambang batas parlemen memperhatikan prinsip keterwakilan,
kesetaraan, dan nondiskriminasi.
Realitasnya prinsip kesetaraan itu tak akan
terwujud manakala ada provinsi dengan keterwakilan berlebih, sementara ada
provinsi yang minim keterwakilannya sehingga muncul istilah kursi murah atau
mahal. Kemudian jika menerapkan prinsip kesetaraan, realitasnya susah
mengurangi alokasi kursi DPR bagi sejumlah provinsi.
Akibatnya, dengan ambang batas parlemen 3,5
persen kedaulatan tidak lagi di tangan rakyat, tapi di tangan partai-partai.
Selain itu, penerapan ambang batas parlemen secara nasional justru
menguntungkan parpol besar. Pasalnya, mereka punya SDM dan sumber dukungan kuat
serta merata di seluruh daerah.
Dengan demikian, pemberlakuan ambang batas
parlemen secara nasional bukan solusi tepat saat ini. Pasalnya, wilayah dan
dinamika politik secara nasional berbeda-beda lanskap politik di 33 provinsi
dan 547 kabupaten/kota. Parpol yang sukses di DPR belum tentu memperoleh kursi
di DPRD. Sebaliknya, parpol yang gagal memenuhi ambang batas nasional di DPR,
tidak sedikit meraih suara signifikan di daerah seperti PDS, PBR, PNBK, dan PBB
pada Pemilu 2009.
Kedua; dapat dipastikan akan banyak suara
hilang dan tidak terakomodasi dalam DPRD sehingga prinsip proporsionalitas
sistem pemilu bisa lenyap. Pemilu yang dimaksudkan memilih wakil rakyat akan
berubah menjadi pemilu untuk parpol karena kehadiran, kapasitas, dan
kualifikasi calon anggota legislasi direduksi. Pemberlakuan mekanisme ambang
batas secara nasional memang diperlukan untuk menyederhanakan partai secara
alamiah tapi jangan asal jadi.
Kegaduhan Politik
Ketiga; berdasarkan Pemilu 2009 yang
mengindikasikan tingginya fragmentasi pilihan terhadap parpol, sebagian DPRD
kabupaten dan kota dalam Pemilu 2014 mungkin hanya berisi 4-6 partai.
Mungkinkah DPRD hanya berisi 4 partai jika sebagian besar perolehan partai
lainnya di bawah 3,5 persen ambang batas nasional. Bagaimana dengan 4 partai
bisa menyelesaikan persoalan berat di daerah seperti kehancuran tambang,
kerusakan lingkungan, penjarahan hutan, korupsi dan sebagainya.
Keempat; banyak parpol kecil merasa keberatan
dengan pemberlakuan ambang batas nasional ini. Di mata partai kecil, aturan itu
diskriminatif, sehingga kini ada upaya mengajukan uji materi (yudicial review)
UU itu ke Mahkamah Konstitusi.
Aktivis pemilu pun menilai penerapan ambang
batas secara nasional berseberangan dengan konstitusi karena bertentangan
dengan semangat otonomi daerah sebagai buah reformasi. Termasuk berisiko
konflik politik di beberapa daerah karena suara yang mereka berikan tak terakomodasi
menjadi kursi DPRD.
Bagaimana kecenderungan Pemilu 2014?
Diperkirakan ada 7-8 partai lolos ke Senayan, dan penyederhanaan alami partai
belum terwujud sehingga kegaduhan politik masih akan terjadi. Untuk itu,
partai-partai politik harus lebih fokus dan gigih memperjuangkan aspirasi dan
kesejahteraan rakyat, sekaligus mendorong pembangunan politik demokrasi yang
lebih adil dan beradab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar