Bismar Siregar dan Hukum Islam
M Bambang Pranowo, Guru Besar UIN Ciputat;
Direktur Lembaga
Kajian Islam dan Perdamaian
SUMBER : SINDO, 27 April 2012
SUMBER : SINDO, 27 April 2012
Bismar
Siregar, pendekar hukum Indonesia, telah meninggalkan kita, bangsa Indonesia,
untuk selama- lamanya, Kamis (19/4) pekan lalu di Jakarta.
Bagi
masyarakat hukum di Indonesia, sosok pria kelahiran Sipirok, Sumatera Utara, 15
September 1928, ini menarik karena selama menjadi hakim, beliau telah memutuskan
perkara dengan pertimbangan-pertimbangan yang “tidak biasa” dilakukan oleh penegak hukum saat itu. Bagi Bismar,
keputusan hakim harus ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan keadilan
yang komprehensif: tidak hanya mempertimbangkan fakta hukum yang terjadi, tapi
juga pertimbangan hati nurani.
Setiap memutuskan perkara, Bismar selalu bertanya kepada hati nuraninya, apakah orang yang akan divonisnya jahat atau tidak. Setelah itu Bismar akan mencari pijakan hukum untuk melatarbelakangi keputusannya. Lebih jauh lagi, tidak hanya nurani dan UU, Bismar juga akan mencari rujukan Alquran untuk memperkuat keputusan hukumnya. Bagi Bismar, hati nurani, Islam dengan Alquran, merupakan rujukan hukum yang final dalam mempertimbangkan keputusan hukumnya.
Meski demikian, sebagai seorang hakim yang berkedudukan di Indonesia, Bismar pun tetap berpegangan pada UU yang berlaku di negaranya. Bismar mencoba menafsirkan dan mengakomodasi pijakan-pijakan hukum tersebut untuk kemudian “menyintesiskannya” dalam bentuk ketetapan hukum yang diputuskan hakim. Dalam berbagai tulisan dan ceramahnya, Bismar selalu menyatakan bahwa hukum yang tertinggi adalah hukum Allah. Keadilan yang tertinggi juga keadilan Allah.
Kendati demikian, karena kita hidup dalam dunia yang menggunakan hukum positif yang dibuat oleh manusia,tugas hakim adalah bagaimana mengimplementasikan hukum-hukum tersebut agar mendapatkan keadilan secara maksimal dan tidak bertentangan dengan esensi keadilan yang ingin ditegakkan Allah. Barangkali, dalam konteks inilah, ketika menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Medan (1983), Bismar pernah menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada pria yang menghamili seorang perempuan yang kemudian tidak jadi dinikahinya. Keputusan Bismar tersebut dianggap kontroversial karena alasan penghukuman itu adalah si pria melakukan penipuan.
Bismar menafsirkan bahwa “kemaluan perempuan sebagai barang yang berharga” dan pria yang tidak bertanggung jawab tersebut telah “mengambil” barang tersebut dengan janji-janji yang kemudian tidak ditepatinya. Meski keputusan Bismar ini akhirnya dibatalkan Mahkamah Agung karena alasannya dianggap aneh dan tidak tepat, Bismar telah menunjukkan komitmennya untuk selalu mengikuti tuntunan hati nurani dan agamanya untuk menghukum si pria yang tidak bertanggung jawab itu.
Apa yang diputuskan Bismar merupakan hasil ijtihad hukum yang luar biasa di tengah sistem hukum Indonesia yang masih mengikuti paradigma Barat (yang menganggap “hubungan badan yang dilakukan suka sama suka” tanpa menikah tidak bisa dianggap melanggar hukum). Putusan hakim Bismar itu memang akhirnya dianulir. Tapi, cobalah tanyakan kepada setiap orang, khususnya perempuan di mana pun di seluruh dunia, esensi hukum yang menjatuhkan vonis tiga tahun penjara kepada pria ingkar janji tersebut sebenarnya lebih mendekati keadilan.
Sayangnya, dalam konteks hukum positif, nurani dan keadilan itu bisa dianulir dengan alasan—yang ironisnya—konon karena pertimbangan hukum itu pula! Dalam kasus lain hakim Bismar juga pernah menjatuhkan hukuman mati kepada Albert Togas (1976). Albert, karyawan PT Bogasari, terbukti bersalah karena membunuh Nurdin Kotto, staf ahli PT Bogasari, dengan cara mutilasi. Padahal Nurdin telah banyak membantu Albert sebelumnya ketika dia masih jadi pengangguran.
Dalam perenungan Bismar, orang seperti Albert adalah manusia yang sangat jahat, yang tidak punya rasa perikemanusiaan dan tidak tahu membalas budi seseorang. Karena itu, manusia jahat seperti Albert hanya pantas untuk dihukum mati karena bisa merusak struktur bangunan moral dan kemanusiaan di masyarakat. Dalam Alquran disebutkan bahwa orang yang membunuh orang yang tidak bersalah sama artinya dengan membunuh seluruh umat manusia (QS 5:32).
Dalam ajaran moral Kong Hu Cu juga disebutkan bahwa orang yang tidak tahu membalas budi, apalagi membalas pemberian susu dengan air tuba (racun), moralnya jauh lebih hina dari anjing. Orang seperti itu, kata Kong Hu Cu, pantas untuk disingkirkan. Keputusan Bismar memang tampak kejam. Tapi, lebih kejam lagi jika orang jahat dan tidak punya rasa kemanusiaan seperti Albert dibiarkan atau dihukum ringan karena hal itu bisa merusak bangunan moral dan kemanusiaan. Hal yang sama terlihat ketika Bismar menghukum 10 kali lipat dari tuntutan jaksa terhadap pengedar narkoba.
Dua terdakwa pengedar narkoba yang dituntut masing-masing 10 dan 15 bulan penjara oleh jaksa dijatuhkan vonis 10 dan 15 tahun oleh Bismar. Saat itu keputusan Bismar dianggap kontroversial karena menghukum puluhan kali lipat dibanding tuntutan jaksa.Tapi, coba bayangkan sekarang, seandainya hakim memutuskan hukuman seperti apa yang dilakukan Bismar terhadap pengedar narkoba, niscaya kondisi peredaran narkoba di Indonesia tidak seperti sekarang. Indonesia sekarang ini telah menjadi surga pengedar narkoba karena hukumnya terlalu lemah dan tidak menimbulkan efek jera terhadap mafia obat terlarang yang telah merusak moral bangsa.
Dengan demikian, hakim Bismar dengan hati nuraninya yang dilandasi ajaran Islam telah memberikan warning kepada bangsa Indonesia akan bahaya narkoba di masa depan jika penegak hukum tidak bersikap tegas dan menghukum seberat-beratnya terhadap pengedar narkoba!
Setiap memutuskan perkara, Bismar selalu bertanya kepada hati nuraninya, apakah orang yang akan divonisnya jahat atau tidak. Setelah itu Bismar akan mencari pijakan hukum untuk melatarbelakangi keputusannya. Lebih jauh lagi, tidak hanya nurani dan UU, Bismar juga akan mencari rujukan Alquran untuk memperkuat keputusan hukumnya. Bagi Bismar, hati nurani, Islam dengan Alquran, merupakan rujukan hukum yang final dalam mempertimbangkan keputusan hukumnya.
Meski demikian, sebagai seorang hakim yang berkedudukan di Indonesia, Bismar pun tetap berpegangan pada UU yang berlaku di negaranya. Bismar mencoba menafsirkan dan mengakomodasi pijakan-pijakan hukum tersebut untuk kemudian “menyintesiskannya” dalam bentuk ketetapan hukum yang diputuskan hakim. Dalam berbagai tulisan dan ceramahnya, Bismar selalu menyatakan bahwa hukum yang tertinggi adalah hukum Allah. Keadilan yang tertinggi juga keadilan Allah.
Kendati demikian, karena kita hidup dalam dunia yang menggunakan hukum positif yang dibuat oleh manusia,tugas hakim adalah bagaimana mengimplementasikan hukum-hukum tersebut agar mendapatkan keadilan secara maksimal dan tidak bertentangan dengan esensi keadilan yang ingin ditegakkan Allah. Barangkali, dalam konteks inilah, ketika menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Medan (1983), Bismar pernah menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada pria yang menghamili seorang perempuan yang kemudian tidak jadi dinikahinya. Keputusan Bismar tersebut dianggap kontroversial karena alasan penghukuman itu adalah si pria melakukan penipuan.
Bismar menafsirkan bahwa “kemaluan perempuan sebagai barang yang berharga” dan pria yang tidak bertanggung jawab tersebut telah “mengambil” barang tersebut dengan janji-janji yang kemudian tidak ditepatinya. Meski keputusan Bismar ini akhirnya dibatalkan Mahkamah Agung karena alasannya dianggap aneh dan tidak tepat, Bismar telah menunjukkan komitmennya untuk selalu mengikuti tuntunan hati nurani dan agamanya untuk menghukum si pria yang tidak bertanggung jawab itu.
Apa yang diputuskan Bismar merupakan hasil ijtihad hukum yang luar biasa di tengah sistem hukum Indonesia yang masih mengikuti paradigma Barat (yang menganggap “hubungan badan yang dilakukan suka sama suka” tanpa menikah tidak bisa dianggap melanggar hukum). Putusan hakim Bismar itu memang akhirnya dianulir. Tapi, cobalah tanyakan kepada setiap orang, khususnya perempuan di mana pun di seluruh dunia, esensi hukum yang menjatuhkan vonis tiga tahun penjara kepada pria ingkar janji tersebut sebenarnya lebih mendekati keadilan.
Sayangnya, dalam konteks hukum positif, nurani dan keadilan itu bisa dianulir dengan alasan—yang ironisnya—konon karena pertimbangan hukum itu pula! Dalam kasus lain hakim Bismar juga pernah menjatuhkan hukuman mati kepada Albert Togas (1976). Albert, karyawan PT Bogasari, terbukti bersalah karena membunuh Nurdin Kotto, staf ahli PT Bogasari, dengan cara mutilasi. Padahal Nurdin telah banyak membantu Albert sebelumnya ketika dia masih jadi pengangguran.
Dalam perenungan Bismar, orang seperti Albert adalah manusia yang sangat jahat, yang tidak punya rasa perikemanusiaan dan tidak tahu membalas budi seseorang. Karena itu, manusia jahat seperti Albert hanya pantas untuk dihukum mati karena bisa merusak struktur bangunan moral dan kemanusiaan di masyarakat. Dalam Alquran disebutkan bahwa orang yang membunuh orang yang tidak bersalah sama artinya dengan membunuh seluruh umat manusia (QS 5:32).
Dalam ajaran moral Kong Hu Cu juga disebutkan bahwa orang yang tidak tahu membalas budi, apalagi membalas pemberian susu dengan air tuba (racun), moralnya jauh lebih hina dari anjing. Orang seperti itu, kata Kong Hu Cu, pantas untuk disingkirkan. Keputusan Bismar memang tampak kejam. Tapi, lebih kejam lagi jika orang jahat dan tidak punya rasa kemanusiaan seperti Albert dibiarkan atau dihukum ringan karena hal itu bisa merusak bangunan moral dan kemanusiaan. Hal yang sama terlihat ketika Bismar menghukum 10 kali lipat dari tuntutan jaksa terhadap pengedar narkoba.
Dua terdakwa pengedar narkoba yang dituntut masing-masing 10 dan 15 bulan penjara oleh jaksa dijatuhkan vonis 10 dan 15 tahun oleh Bismar. Saat itu keputusan Bismar dianggap kontroversial karena menghukum puluhan kali lipat dibanding tuntutan jaksa.Tapi, coba bayangkan sekarang, seandainya hakim memutuskan hukuman seperti apa yang dilakukan Bismar terhadap pengedar narkoba, niscaya kondisi peredaran narkoba di Indonesia tidak seperti sekarang. Indonesia sekarang ini telah menjadi surga pengedar narkoba karena hukumnya terlalu lemah dan tidak menimbulkan efek jera terhadap mafia obat terlarang yang telah merusak moral bangsa.
Dengan demikian, hakim Bismar dengan hati nuraninya yang dilandasi ajaran Islam telah memberikan warning kepada bangsa Indonesia akan bahaya narkoba di masa depan jika penegak hukum tidak bersikap tegas dan menghukum seberat-beratnya terhadap pengedar narkoba!
Saat
ini peringatan Bismar yang diabaikan tersebut telah menjadi kenyataan. Bismar
kini telah tiada. Sebagai hakim yang lurus dan tidak bisa dibeli, Bismar tetap
tegak dengan pendiriannya dalam memutuskan hukuman. Bagi Bismar, hakim adalah
perpanjangan tangan Tuhan di muka bumi.
Dengan demikian, kata Bismar, kerusakan sebuah negara bergantung hakimnya. Jika hakimnya mau disuap dan bisa dibeli, niscaya Allah akan menghancurkan bangsa tersebut. Sebaliknya jika hakimnya lurus dan adil, rezeki dan kemakmuran akan menyertai bangsa tadi. Di mana posisi bangsa Indonesia saat ini? Anda pasti tahu jawabannya! ●
Dengan demikian, kata Bismar, kerusakan sebuah negara bergantung hakimnya. Jika hakimnya mau disuap dan bisa dibeli, niscaya Allah akan menghancurkan bangsa tersebut. Sebaliknya jika hakimnya lurus dan adil, rezeki dan kemakmuran akan menyertai bangsa tadi. Di mana posisi bangsa Indonesia saat ini? Anda pasti tahu jawabannya! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar