Jumat, 27 April 2012

Ancaman Korupsi Pemilu


Ancaman Korupsi Pemilu
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
SUMBER : REPUBLIKA, 27 April 2012


Debat panas Rancangan UU Pemilu di DPR yang telah usai tidak lebih sekadar perebutan ke kuasaan antara partai kecil dan partai besar. Oleh karena itu, isu sentral yang dibahas hanya seputar besaran persentase Parliamentary Threshold (PT), sistem pemilu, metode perhitungan suara, serta pembagian kursi per daerah pemilihan (dapil).

Bisa dikatakan, hanya untuk memutuskan empat isu panas di atas, anggota DPR harus berbulan-bulan membahasnya, yang diselingi oleh interupsi, kadang bernada marah, emosi, dan kengototan yang mencerminkan level keseriusan mereka. Semua itu dilewati oleh anggota parlemen dengan dukungan dana APBN yang berasal dari pajak masyarakat.

Sebaliknya, UU Pemilu yang telah disepakati secara voting dalam rapat paripurna telah meninggalkan isu strategis kepemiluan, yakni upaya regulasi memastikan terlaksananya pemilu yang jujur, adil, akuntabel, dan transparan.

Begitu pentingnya UU memastikan prinsip pemilu bisa diimplementasikan karena hanya dengan mekanisme ini, kita dapat menghasilkan pemilu yang berintegritas, sekaligus melahirkan pemimpin bangsa yang berintegritas. Tidak disinggungnya isu mengenai pengaturan dana kampanye merupakan cermin dari tidak seriusnya parlemen dalam mendorong integritas pemilu.

Tampaknya, tidak banyak--untuk mengatakan tidak ada--partai politik yang memiliki agenda besar untuk mendorong perbaikan aturan dana kampanye korupsi pemilu di masa mendatang dapat dicegah. Satu isu yang sempat dibicarakan anggota dewan terkait dana kampanye hanyalah batasan sumbangan, baik untuk pribadi maupun badan usaha. Gagasan ini pun sebenarnya tidak progresif karena batasan sumbangan dana kampanye yang diusulkan, justru besarannya bertambah daripada yang ada dalam aturan sebelumnya.

Pengalaman yang Dilupakan

Adanya hubungan yang kuat antara praktik pemilu dan tingkat korupsi yang dilakukan pejabat publik bermuara dari buruknya pemilu dikelola. Pemilu yang selama ini kita lewati banyak melahirkan bandit, para maling yang gemar menya lahgunakan kekuasaan dan keuangan negara. Oleh karena itu, tak heran jika In donesia sulit keluar dari deretan negara yang dianggap paling korup.

Praktik pemilu masa lalu yang buruk dapat dilihat, antara lain, dari hasil monitoring Indonesia Corruption Watch (ICW), baik di pemilu 1999, 2004, maupun 2009 yang pada aspek integritas peserta pemilu, banyak ketidakjujuran yang ditemukan dalam laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye peserta pemilu. Di antara partai politik yang sekarang memperoleh kursi di DPR, laporan dana kampanye mereka terindikasi manipulatif.

Manipulasi laporan dana kampanye ditemukan dalam beberapa bentuk, di antaranya daftar penyumbang kampanye yang tidak semuanya dilaporkan, adanya daftar penyumbang fiktif, daftar penyumbang yang dari sisi kemampuan ekonomi sangat diragukan dapat menyumbang, jumlah sumbangan dari donatur yang tidak dilaporkan dengan benar, ataupun identitas penyumbang yang tidak detail sebagaimana idealnya.

Pada sisi belanja dana kampanye, ditemukan indikasi serupa. Total laporan pengeluaran dana kampanye yang disampaikan mayoritas partai politik yang memperoleh kursi di parlemen tidak mencerminkan jumlah belanja sesungguhnya. Hal ini berarti bahwa dalam praktik kampanye pemilu, banyak sumbangan yang disampaikan secara langsung tanpa melalui mekanisme administrasi keuangan di internal partai politik ataupun peserta pemilu individu.

Catatan lain yang berkaitan dengan integritas pemilu adalah digunakannya fasilitas negara, baik dalam bentuk anggaran, gedung, kendaraan, maupun program oleh peserta pemilu untuk kepentingan kampanye. Biasanya yang melakukan adalah peserta yang berposisi sebagai pejabat publik (incumbent).

Terakhir, begitu masifnya praktik politik uang, terutama pada level pemilih yang menciptakan ketergantungan besar pada cara menyuap untuk memenangkan kursi. Demikian pula, pemilih mengalami degradasi kesadaran politik karena hanya akan memilih calon yang menggelontorkan uang daripada calon yang memiliki program konkret. Padahal, dalam konteks akuntabilitas politik, pemilih yang telah menerima suap tidak memiliki `hak' untuk menagih janji-janji kampanye ataupun menagih akuntabilitas pejabat publik terpilih.

Potensi Korupsi Pemilu

Dengan tiadanya perhatian yang ekstra dari DPR untuk mengantisipasi praktik korupsi pemilu dalam UU Pemilu yang baru, bisa dipastikan praktik korupsi pemilu akan berulang secara lebih besar, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Apalagi, beredar rumor bahwa salah satu partai politik besar hari ini sudah menyiapkan anggaran triliunan rupiah untuk memenangkan pemilu, baik pemilu DPR/DPD dan DPRD maupun pemilu Presiden.

Sumber dana kampanye yang tidak pernah diketahui publik luas, penggunaan anggaran yang tak terbatas untuk melakukan `operasi' pemenangan pemilu, banyaknya bandar politik yang membiayai calon tertentu, serta digunakannya uang panas yang bersumber dari kegiatan ilegal untuk mendanai calon ataupun untuk kegiatan kampanye merupakan realitas korupsi pemilu yang sulit dihindari karena regulasi pemilu yang lemah.

Berhadapan dengan soal-soal di atas, penegakan hukum pemilu seperti Bawaslu ataupun aparat penegak hukum hanya akan sanggup menerima laporan atau pengaduan dari berbagai pihak, tanpa memiliki kekuatan untuk menanganinya.

Desain penegakan hukum pemilu yang sengaja dilemahkan oleh DPR merupakan kewajaran politik, mengingat mereka juga yang kelak memiliki potensi untuk melanggarnya. Adanya konflik kepentingan yang besar dari anggota dewan yang membahas UU Pemilu, membuat substansi UU Pemilu tidak pernah menyentuh aspek penting dalam menciptakan integritas pemilu. Sepertinya, semua partai politik sepakat bahwa pada pemilu mendatang, cara-cara curang bukan sesuatu yang dilarang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar