Pembangkangan atas Putusan MK
Yura Pratama, Anggota
Komite Nasional Pendidikan
SUMBER : KOMPAS, 28 April 2012
SUMBER : KOMPAS, 28 April 2012
DPR menunda pengesahan RUU Pendidikan Tinggi
yang semula akan dilakukan pada Rapat Paripurna 11 April lalu. Salah satu
alasan Komite Nasional Pendidikan menolak adalah RUU Pendidikan Tinggi
dipandang membangkitkan kembali roh UU Badan Hukum Pendidikan yang telah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Dengan demikian, bisa
dikatakan, jika DPR dan pemerintah bersikeras mengesahkan, mereka telah
melanggar putusan MK.
Hal ini bisa dilihat dari putusan MK Nomor
11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. Bagian penting dari putusan ini terletak
pada Pendapat Mahkamah, di mana Mahkamah Konstitusi (MK) mengemukakan
pendapatnya terhadap materi UU dalam uji materiil.
Pendapat Mahkamah ini terbagi menjadi menjadi
dua bagian: (1) Pendapat MK terhadap UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional; (2) Pendapat MK terhadap UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Badan Hukum Pendidikan (BHP). Penjelasan terhadap struktur putusan MK menjadi
penting untuk menghindari kesalahan dalam membaca putusan ini.
Putusan
MK
Ada dua poin dalam putusan MK yang tidak
diindahkan oleh DPR dan pemerintah.
Pertama tentang otonomi pengelolaan
pendidikan. MK dalam putusannya menyatakan, ”... oleh karena itu apakah betul bahwa ada hubungan kausal fungsional
antara otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan mewujudkan fungsi dan
tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila. Artinya, apakah untuk
mencapai tujuan pendidikan tersebut secara mutlak harus diperlukan otonomi
pengelolaan pendidikan formal atau dengan kata lain otonomi pengelolaan
pendidikan formal merupakan conditio sine qua non bagi pencapaian tujuan
pendidikan. Hal yang dapat dipertanyakan juga apakah otonomi pengelolaan
pendidikan formal merupakan sebuah keharusan yang diamanatkan oleh UUD 1945.”
Dari petikan putusan di atas dapat ditarik
beberapa kesimpulan: (1) MK sebenarnya tidak yakin apakah otonomi pengelolaan
pendidikan mutlak diperlukan untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia; (2)
MK juga mempertanyakan apakah ada hubungan kausal antara otonomi pengelolaan
pendidikan dan tujuan pendidikan nasional; (3) MK mempertanyakan apakah otonomi
pengelolaan pendidikan merupakan amanat UUD 1945 atau hanya sebatas spekulasi.
Kesimpulannya, putusan MK jelas mematahkan
argumentasi pembuat kebijakan bahwa otonomi pengelolaan pendidikan adalah
segala-segalanya.
Namun, pembuat kebijakan masih mencantumkan
prinsip otonomi pengelolaan pendidikan dalam RUU Pendidikan Tinggi (versi 3
April 2012). Pada Pasal 1 angka 23 dinyatakan bahwa otonomi pengelolaan adalah
keleluasaan dalam mengelola perguruan tinggi secara akuntabel. Kemudian otonomi
pengelolaan secara lebih lanjut diatur dalam Pasal 63-Pasal 67 RUU Pendidikan
Tinggi.
Pasal 63 Ayat (1) menyatakan, perguruan
tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan pendidikan, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat.
Pasal 63 Ayat (1) semakin jelas jika membaca
Pasal 65 yang berbunyi: (1) Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik, (2)
Otonomi pengelolaan di bidang akademik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma,
(3) Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: a.
organisasi; b. keuangan; c. kemahasiswaan; d. ketenagaan; dan e. sarana
prasarana.
Pada poin otonomi menjadi jelas bahwa
perdebatan tentang otonom atau tidaknya sebuah institusi pendidikan—termasuk
institusi pendidikan tinggi—sudah muncul sejak proses uji materiil UU BHP. MK
pun sudah mengambil putusan atas perdebatan tersebut sebagaimana disebutkan di
atas.
Dana
Pendidikan
Perdebatan lain yang muncul adalah pencarian
dana secara mandiri yang dilakukan oleh institusi pendidikan tinggi. Terkait
hal ini, MK dalam putusannya poin 3.38 menyatakan bahwa ”Pengelolaan dana secara mandiri dan prinsip nirlaba—vide Pasal 4 Ayat
(1) UU BHP—tidak secara otomatis menjadikan pendidikan murah bagi peserta
didik, padahal biaya yang terjangkau adalah salah satu masalah pendidikan di
Indonesia.”
Apakah prinsip nirlaba akan menyebabkan biaya
pendidikan murah, masih tergantung kepada beberapa hal, yaitu (a) besarnya
biaya untuk penyelenggaraan pendidikan, termasuk gaji pengajar dan staf
administrasi; (b) perawatan fasilitas pendidikan; dan (c) kemampuan BHP untuk
mendapatkan dana pendidikan dari usaha non-pendidikan.
Kenyataannya, tidak banyak kesempatan usaha
yang terbuka bagi BHP untuk mendapatkan dana di luar pemasukan jasa pendidikan
yang diterima langsung dari peserta didik.
Hanya usaha dalam skala kecil yang dapat
dimasuki oleh BHP karena usaha skala besar yang padat modal dan teknologi sudah
dikuasai oleh perusahaan besar.
Maka, sasaran yang paling rentan adalah
peserta didik, yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar
biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung
membebani peserta didik.
Dapat dikatakan, MK tidak melihat peluang
bagi institusi pendidikan untuk mencari dana secara mandiri. Kalaupun ada,
peluang itu sangat kecil dan pada akhirnya peserta didik yang akan dikorbankan.
Namun, sayangnya, pemerintah dan DPR memasukkan kembali pasal yang memberikan
institusi pendidikan tinggi wewenang untuk ”berusaha”.
Pasal 66 Ayat (3) huruf e menyatakan bahwa
PTN berbadan hukum memiliki wewenang yang salah satunya mendirikan badan usaha
dan mengembangkan dana abadi.
RUU Pendidikan Tinggi yang sekarang akan
disahkan oleh DPR dan pemerintah jelas mengulang kesalahan yang sama yang
terjadi pada pengesahan UU BHP yang lalu.
DPR dan pemerintah juga harus menghormati MK
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam
usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum. Maka, prinsip-prinsip
yang sudah dibatalkan oleh MK tidak boleh dimasukkan lagi ke dalam UU baru.
Jika pemerintah dan DPR memaksa, RUU
Pendidikan Tinggi ini jelas akan berpotensi untuk dibatalkan oleh MK. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar