Jumat, 27 April 2012

Kekacauan Visual Ruang Publik


Kekacauan Visual Ruang Publik
Bambang Setioko, Dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Undip,
Anggota Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Semarang
SUMBER : SUARA MERDEKA, 26 April 2012


SEJARAH perkembangan arsitektur menyajikan banyak contoh konkret kegagalan dan kesuksesan perancangan sebuah kota. Berbagai konsep yang pernah diimplementasikan sebagai dasar program perancangan kota, sangat jelas memperlihatkan arah keberpihakannya, dan mampu menjawab pertanyaan mendasar soal kelompok masyarakat mana yang lebih diuntungkan.

Konsep perancangan kota abad pertengahan yang lebih memihak masyarakat kota, sangat berbeda dari konsep saat ini yang berciri liberal, lebih mendewakan persaingan bebas. Kota abad pertengahan di Eropa sampai sekarang masih sangat dikagumi oleh wisatawan karena perancangan kotanya menghasilkan artefak berciri tangible dan humanis, sekaligus anggun.

Hal itu sangat bertolak belakang dengan kota modern yang artefaknya berciri intangible dan steril, cenderung membuat warganya mudah stress dan frustrasi. Bahkan Jane Jacobs, jurnalis Amerika Serikat dalam bukunya The Death and Life of Great American Cities mempertanyakan untuk siapa sebenarnya kota ini dirancang?

Bangunan dengan tampilan wajah beku tanpa ekspresi berlomba makin besar dan jangkung berpadu dengan media ruang luar; seperti papan iklan; berdimensi gigantis mendominasi wajah berbagai kota yang menyebut dirinya modern.  Isi papan iklan umumnya menawarkan mimpi dan pameran kesuksesan segelintir manusia, bertentangan dengan kenyataan di aras empirik.

Media ruang luar lainnya berupa videotron, signage, billboards, pada awalnya dimaksudkan sebagai penanda tempat dan penuntun orang untuk menemukan sebuah jalan, saat ini telah berkembang menjadi alat penyampaian informasi dan promosi yang sangat efektif (Kotler dalam Taufik 2012).

Gangguan Visual

Penambahan satu unsur yang menyimpang dalam kemampanan tatanan visual, berisiko merusak keharmonisan yang sudah terbentuk. Penambahan unsur baru seharusnya bertujuan memperkuat karakter eksisting visual yang sudah terbentuk, bukan merusaknya.

Resistensi sejumlah warga Semarang terkait pembangunan videotron segi tiga di bundaran air mancur, dapat menjadi pelajaran. Bentuk segi tiga sebagai bingkai video raksasa, tidak berkorelasi dengan bentuk elemen kota di sekitarnya. Content-nya pun sama sekali tidak mendukung karakter, personalitas, dan keunikan ruang yang ditempatinya.

Keberhasilan pengelola kota menghilangkan videotron di bundaran air mancur (nama yang terlanjur melekat), sebagai bagian dari penataan penggal Jalan Pahlawan, patut diapresiasi dan seharusnya diikuti keberhasilan lanjutan dalam menata sistem visual kota Semarang.

Morfologi kota Semarang yang terdiri atas dataran dan perbukitan membentuk lanskap kota yang unik. Dua tipe tersebut punya karakter dan personalitas ruang yang berbeda, karena itu berbeda pula penerapan konsep estetika visual media ruang luarnya. Dengan demikian tidak terjadi gangguan visual pada lanskap kota yang alami.

Skyline yang memperlihatkan lekak-lekuk keseksian kawasan perbukitan tidak seharusnya dihalangi papan iklan sebesar lapangan tenis. Demikian pula pemandangan ke arah laut dari Gombel, sebaiknya dibebaskan dari berbagai gangguan visual sehingga keunikan dan kecantikan kota Semarang dapat dinikmati secara utuh. Penurunan eksploitasi visual di kawasan perbukitan akan tergantikan dengan makin meningkatnya estetika dan karakter visualnya, yang bermuara pada peningkatan keindahan alami.

Penambahan media ruang luar di kawasan jasa dan perdagangan (di luar kawasan jalan protokol) secara terukur dapat lebih dioptimalisasikan tanpa harus mengorbankan estetika visualnya. Pemberian kelonggaran pembatasan di kawasan ini tidak terlalu banyak berisiko menimbulkan gangguan visual karena sejatinya media ruang luar mampu memperkuat personifikasi kawasan tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar