Kekacauan Visual Ruang Publik
Bambang Setioko, Dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Undip,
Anggota Dewan
Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Semarang
SUMBER
: SUARA MERDEKA, 26 April 2012
SEJARAH perkembangan arsitektur menyajikan
banyak contoh konkret kegagalan dan kesuksesan perancangan sebuah kota.
Berbagai konsep yang pernah diimplementasikan sebagai dasar program perancangan
kota, sangat jelas memperlihatkan arah keberpihakannya, dan mampu menjawab
pertanyaan mendasar soal kelompok masyarakat mana yang lebih diuntungkan.
Konsep perancangan kota abad pertengahan yang
lebih memihak masyarakat kota, sangat berbeda dari konsep saat ini yang berciri
liberal, lebih mendewakan persaingan bebas. Kota abad pertengahan di Eropa
sampai sekarang masih sangat dikagumi oleh wisatawan karena perancangan kotanya
menghasilkan artefak berciri tangible
dan humanis, sekaligus anggun.
Hal itu sangat bertolak belakang dengan kota
modern yang artefaknya berciri intangible dan steril, cenderung membuat
warganya mudah stress dan frustrasi. Bahkan Jane Jacobs, jurnalis Amerika
Serikat dalam bukunya The Death and Life
of Great American Cities mempertanyakan untuk siapa sebenarnya kota ini
dirancang?
Bangunan dengan tampilan wajah beku tanpa
ekspresi berlomba makin besar dan jangkung berpadu dengan media ruang luar;
seperti papan iklan; berdimensi gigantis mendominasi wajah berbagai kota yang
menyebut dirinya modern. Isi papan iklan umumnya menawarkan mimpi dan pameran
kesuksesan segelintir manusia, bertentangan dengan kenyataan di aras empirik.
Media ruang luar lainnya
berupa videotron, signage, billboards,
pada awalnya dimaksudkan sebagai penanda tempat dan penuntun orang untuk
menemukan sebuah jalan, saat ini telah berkembang menjadi alat penyampaian
informasi dan promosi yang sangat efektif (Kotler dalam Taufik 2012).
Gangguan
Visual
Penambahan satu unsur yang menyimpang dalam
kemampanan tatanan visual, berisiko merusak keharmonisan yang sudah terbentuk.
Penambahan unsur baru seharusnya bertujuan memperkuat karakter eksisting visual
yang sudah terbentuk, bukan merusaknya.
Resistensi sejumlah warga Semarang terkait
pembangunan videotron segi tiga di
bundaran air mancur, dapat menjadi pelajaran. Bentuk segi tiga sebagai bingkai
video raksasa, tidak berkorelasi dengan bentuk elemen kota di sekitarnya. Content-nya pun sama sekali tidak
mendukung karakter, personalitas, dan keunikan ruang yang ditempatinya.
Keberhasilan pengelola kota menghilangkan videotron di bundaran air mancur (nama
yang terlanjur melekat), sebagai bagian dari penataan penggal Jalan Pahlawan,
patut diapresiasi dan seharusnya diikuti keberhasilan lanjutan dalam menata
sistem visual kota Semarang.
Morfologi kota Semarang yang terdiri atas
dataran dan perbukitan membentuk lanskap kota yang unik. Dua tipe tersebut
punya karakter dan personalitas ruang yang berbeda, karena itu berbeda pula
penerapan konsep estetika visual media ruang luarnya. Dengan demikian tidak
terjadi gangguan visual pada lanskap kota yang alami.
Skyline
yang
memperlihatkan lekak-lekuk keseksian kawasan perbukitan tidak seharusnya
dihalangi papan iklan sebesar lapangan tenis. Demikian pula pemandangan ke arah
laut dari Gombel, sebaiknya dibebaskan dari berbagai gangguan visual sehingga
keunikan dan kecantikan kota Semarang dapat dinikmati secara utuh. Penurunan
eksploitasi visual di kawasan perbukitan akan tergantikan dengan makin
meningkatnya estetika dan karakter visualnya, yang bermuara pada peningkatan
keindahan alami.
Penambahan media ruang luar di kawasan jasa
dan perdagangan (di luar kawasan jalan protokol) secara terukur dapat lebih
dioptimalisasikan tanpa harus mengorbankan estetika visualnya. Pemberian
kelonggaran pembatasan di kawasan ini tidak terlalu banyak berisiko menimbulkan
gangguan visual karena sejatinya media ruang luar mampu memperkuat
personifikasi kawasan tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar