Sabtu, 28 April 2012

Urgensi Warisan Budaya


Urgensi Warisan Budaya
Edy Suhartono, Anggota Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI);
Alumnus Antropologi FISIP USU, Tinggal di Medan
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 28 April 2012


KONVENSI PBB terkait dengan masalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya telah dengan tegas menyatakan bahwa negara harus melestarikan, mengembangkan, serta menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 ayat 2. Sebagai negara yang ikut meratifikasi konvensi itu, Indonesia harus melaksanakan perintah yang tertuang di dalam pasal dan ayat tersebut.

Hak masyarakat atas warisan budaya merupakan suatu hal yang penting. Konvensi PBB itu dapat dijadikan landasan bagi pemerintah untuk membuat peraturan perundang-undangan terkait dengan masalah warisan budaya (cultural heritage) yang tidak hanya melindungi dan melestarikan, tapi juga mengakui, menghargai, dan mematenkan kepemilikan masyarakat atas warisan budaya.

Pusaka atau Cagar Budaya

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan warisan budaya (cultural heritage) dan warisan alam (natural heritage) yang tersebar di 33 provinsi. Kesemua warisan itu menjadikan Indonesia memiliki daya tarik di mata dunia. Warga dunia pun berbondong-bondong datang ke negeri ini untuk menikmati kekayaan warisan alam dan budaya yang ada.

Ada banyak warisan budaya di negeri ini. Namun, istilah cultural heritage cenderung mengarah ke pengertian warisan budaya fisik (arsitektural) sehingga aspek kultural dalam artian nonfisik acap kali diabaikan. Para pegiat organisasi heritage di negeri ini bahkan terjebak pada orientasi yang bersifat fisik arsitektural. Bias arsitektural pada organisasi heritage nyata sekali terlihat ketika banyak implementasi program heritage yang minus perspektif dan pendekatan yang bersifat antropologis. Tren itu tidak hanya terlihat di Indonesia, tapi juga di tingkat regional dan internasional.

Beragam penggunaan istilah yang menggambarkan pengertian tentang warisan (heritage) telah menimbulkan berbagai makna dan penafsiran. Ada yang menyebutnya dengan istilah cagar budaya, pusaka, heritage, saujana, dsb. Dalam kaitan tersebut, pemerintah lebih memilih menggunakan istilah cagar budaya sebagaimana yang termaktub di dalam UU BCB No 11/2010 tentang Cagar Budaya. Meskipun, beberapa masukan dari Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) menginginkan perubahan nama UU BCB menjadi UU Pelestarian Pusaka Indonesia.

BPPI juga menawarkan pemakaian istilah `pusaka' untuk menggantikan istilah benda cagar budaya atau heritage; serta perluasan terhadap pengertian pusaka yang tidak hanya terbatas pada pusaka alam dan pusaka budaya semata, tapi juga mencakup pusaka yang ada di tingkat komunitas. Hal itu untuk membedakannya dengan pusaka raja-raja yang bernilai tinggi dan biasanya diklaim sebagai pusaka nasional serta menjadi milik negara. Namun, semua masukan itu tampaknya tidak cukup diakomodasi para pembuat kebijakan.

Secara implisit, warisan budaya merupakan salah satu yang diakui dan dilindungi konvensi PBB terkait dengan masalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sesuai dengan Pasal 15 ayat 2; negara pihak dalam kovenan harus melestarikan, mengembangkan, serta menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan proses ratifikasi terhadap isi dari hak-hak ekonomi sosial dan budaya, maka dengan sendi rinya pemerintah memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan hal tersebut.

Apa yang berlangsung dan menimpa berbagai objek warisan budaya yang ada di negeri ini beberapa tahun belakangan sungguh membuat kita miris. Demi kepentingan bisnis dan ekonomi, para pemilik modal dan developer dengan bebas merobohkan bangunan yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang ada di berbagai kota di Tanah Air. Ironisnya, pemerintah sepertinya melakukan pembiaran. Seperti yang terjadi di Kota Medan, beberapa bangunan bersejarah peninggalan Belanda banyak yang dihancurkan. Keberadaan UU BCB No 11/2010 tampaknya belum efektif untuk memastikan benda cagar budaya atau `pusaka' yang ada, baik yang merupakan milik negara maupun rakyat, benar-benar terlindungi secara baik.

Kebijakan

Kasus penghancuran beberapa bangunan bernilai sejarah dan digantikan gedung mewah serta pusat perbelanjaan menjadi bukti nyata bahwa peme rintah terkesan kurang peduli melindungi warisan sejarah dan budaya yang ada. Fakta yang ada saat ini menunjukkan banyak warisan budaya yang ada di tingkat komunitas luput dari perhatian, bahkan terkesan tidak diakui dan dilindungi UU sehingga akhirnya dengan gampang diklaim bangsa lain sebagai bagian dari warisan budaya mereka.

Hal itu terjadi karena negara tidak serius mengurusi masalah warisan budaya yang ada. Negara hanya memberikan perhatian kepada warisan budaya yang bernilai tinggi, tetapi alpa melindungi warisan budaya yang ada di tingkat komunitas yang dimiliki masyarakat. Itulah salah satu mengapa pada akhirnya banyak warisan budaya kita terancam hilang. Beberapa kasus perselisihan dengan Malaysia terkait masalah lagu, tarian, dan sebagainya menunjukkan pemerintah tidak serius mengurusi masalah warisan budaya yang ada di negeri ini.

Dalam proses pembuatan kebijakan atau peraturan tentang warisan budaya, masyarakat seharusnya dilibatkan. Hal tersebut penting mengingat selama ini proses pembahasan dan pembuatan perda, misalnya, hanya dilakukan secara terbatas oleh kalangan eksekutif dan legislatif semata, dan sangat minim melibatkan masyarakat. Untuk memastikan keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan perda, harus ada keterlibatan semua pihak dari sejak awal proses pembuatan kebijakan pada tahap naskah akademik, draf rancangan, UU, hingga tahap sosialisasi dan diskusi publik. Kebijakan tentang warisan budaya pada akhirnya juga harus mampu memayungi tidak hanya warisan budaya yang diakui negara, tapi juga warisan yang dimiliki komunitas.

Pengabaian terhadap hak warga atas warisan budaya dengan sendirinya merupakan pengingkaran sekaligus pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi sosial budaya (hak ekosob). Hak ekosob sesungguhnya merupakan bagian integral dari Konvensi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Semoga momentum peringatan Hari Pusaka Sedunia (World Heritage Day), yang jatuh pada 18 April setiap tahun, dapat mendorong dan memberi inspirasi bagi kita semua untuk semakin serius mengurusi masalah warisan budaya yang kita miliki sehingga generasi yang akan datang masih bisa melihat dan menikmati warisan budaya bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar