Rabu, 25 April 2012

Evaluasi Jamkesnas si Miskin


Evaluasi Jamkesnas si Miskin
Djoko Santoso, Dosen FK Unair dan Dokter RS dr Soetomo;
Menyelesaikan program PhD di Juntendo University, Tokyo, Jepang
SUMBER : JAWA POS, 25 April 2012


Never have so many had such broad and advanced access to health care. But never have so many been denied access to health.
(Tidak pernah ada begitu banyak orang yang memiliki akses luas dan maju pada perawatan kesehatan. Tetapi, tidak pernah pula ada begitu banyak orang yang ditolak untuk memperoleh akses kesehatan)- Dr Gro Brundtland, mantan Dirjen WHO

RENCANA pencabutan subsidi BBM menjadi tidak pasti setelah ditolak oleh DPR. Tapi, harga barang-barang konsumsi yang sudah terlanjur naik, ogah turun kembali. Sangat terpukullah mereka yang miskin. Jika tiba-tiba jatuh sakit dan harus berobat, entah bagaimana mereka mengatasinya.

Kondisi seperti itu diantisipasi program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang diluncurkan pemerintah sejak 2005. Sektor kesehatan menjadi salah satu prioritas program pemerintahan SBY, bahkan berani mencanangkan "Menuju Jaminan Kesehatan Semesta Tahun 2014".

Jamkesmas adalah program kesehatan yang prorakyat, terutama ditujukan untuk rakyat miskin. Sudah tujuh tahun layanan Jamkesmas digulirkan, anggaran yang digelontorkan pun naik terus. Namun, sejauh ini, saya belum mendengar hasil evaluasi menyeluruh: seberapa efektif dan efisien program Jamkesmas ini?

Inti Jamkesmas adalah pembiayaan layanan kesehatan. Dari hari ke hari, biaya layanan kesehatan terus meningkat. Penyebabnya beragam, antara lain: teknologi kedokteran yang makin canggih dan mahal, sistem pembiayaan yang menggunakan pembayaran tunai langsung (bukan asuransi), bergesernya pola penyakit dari infeksi ke penyakit kronis dan degeneratif, serta faktor inflasi di sektor kesehatan.

Tinggalkan Sistem Tunai

Meningkatnya biaya pemeliharaan kesehatan ini akan makin sulit diatasi oleh kemampuan pembiayaan negara maupun si miskin. Si miskin akan makin sulit mendapatkan layanan kesehatan yang baik. Di beberapa negara, solusinya adalah menggeser pola pembayaran tunai menjadi bentuk jaminan kesehatan, yakni biaya layanan kesehatan dilakukan dengan tanggung renteng melalui iuran. Bagi mereka yang miskin, sesuai dengan konstitusi, iuran mereka ditanggung oleh negara (lewat Jamkesmas).

Sampai akhir 2010, peserta jaminan kesehatan di Indonesia dengan berbagai cara penjaminan telah mencakup 59,07 persen dari 237 juta penduduk Indonesia. Jamkesda sebesar 22,6 persen, Askes PNS & TNI Polri 12,4 persen, Jamsostek 3,5 persen, jamkes perusahaan 4,6 persen, asuransi komersial 2,0 persen. Jamkesmas yang terbesar, 54,48 persen. Di sini terlihat, hampir setengah dari penduduk Indonesia (40,93 persen) masih belum terlindungi oleh jaminan kesehatan. (Gubernur Sukarwo mencanangkan 2013 seluruh masyarakat Jatim diasuransikan. Kalau per orang Rp 40.000, disiapkan dana Rp 1 triliun, Red).

Bukan hal mudah untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan Jamkesmas. WHO dan World Bank saja juga kesulitan saat mengevaluasi sistem layanan di negara-negara Eropa. Namun, evaluasi dalam hal pembiayaan bisa dimulai dari seberapa besar pos APBN dan APBD yang sudah dialokasikan untuk Jamkesmas dan Jamkesda? Berapa persen dari produk domestik bruto (PDB)?

Publik perlu tahu angka-angka ini sejak pertama Jamkesmas-Jamkesda dilaksanakan hingga sekarang. Jangan sampai terjadi program yang baik ini menjadikan dokter cenderung melakukan pemeriksaan teknis dan pengobatan interventif yang tidak terkontrol, pasien dijadikan sebagai objek, atau distribusi dokter secara geografis cenderung tidak merata.

Sebagai pembanding, negeri maju seperti AS ternyata menghabiskan pengeluarannya 2,5 kali lebih besar daripada Inggris untuk tiap warganya. Jumlah pembedahan di AS dan Kanada dua kali jika dibandingkan dengan di Inggris. Kasus pengobatan dialisis di AS tiga kali daripada di Inggris dan pemeriksaan X-ray juga sebesar dua kali lipat. Pemeriksaan CT-scan enam kali daripada di Inggris. Perbedaan yang luas antara AS dan Inggris (Aaron & Schwartz, 1984) telah mengakibatkan sistem transaksi pembayaran di bidang layanan kesehatan AS menyimpang jauh dari prinsip transaksi pasar yang wajar.

Contoh dari Purwakarta

Melihat pengalaman antarnegara industri pun sangat begitu berbeda jauh di antara satu dengan yang lain, lalu seberapa efisienkah Jamkesmas kita?

Sistem pelayanan dikatakan baik kalau mayoritas warganya merasa puas. Harus diacungi jempol bahwa alokasi dana kesehatan di Indonesia meningkat. Logikanya, ini akan meningkatkan angka kepuasan. Pengeluaran pembiayaan kesehatan 2005-2011 naik besar. Anggaran pemerintah pusat dan daerah naik empat kali lipat dalam enam tahun terakhir ini. Cakupan sasaran Jamkesmas meningkat, dari 36,4 juta (2005) menjadi 76,4 juta (2011). Jamkesmas telah mampu meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan. Tetapi, juga jelas belum sepenuhnya dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat miskin.

Tantangan ke depan, peningkatan alokasi pendanaan harus diikuti dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaannya. Biaya pemeliharaan kesehatan yang masih menggunakan sistem bayar tunai sebaiknya makin digeser ke sistem jaminan kesehatan. Jamkesmas dan Jamkesda sudah mengawali penggunaan sistem ini. Namun, cakupannya masih sebatas pada masyarakat kurang mampu yang dibiayai oleh negara. Jika mungkin, pola ini nanti bisa diperluas ke segmen masyarakat yang lebih mampu, baik dengan membayar sendiri atau subsidi.

Ada kemauan ada jalan, kata pepatah. Ketika banyak daerah mengeluhkan keterbatasan dana, Pemerintah Kabupaten Purwakarta nyatanya mampu menyejahterakan rakyat dengan mengalokasikan anggaran untuk membayar iuran berbagai jaminan sosial, termasuk kesehatan, dalam dua tahun terakhir kepada PT Jamsostek (Persero).

Dengan langkah itu, para pekerja sosial dan informal di Purwakarta, misalnya, kini bebas biaya jika berobat, mulai dari demam biasa sampai operasi jantung dan cuci darah. Begitu juga jika mereka mengalami kecelakaan kerja. Jamsostek akan langsung menanggung biaya pengobatan atau membayar klaim jika korban meninggal dunia.

Program di Purwakara itu disebut Dirut Jamsostek Hotbonar Sinaga sebagai praktik Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mini di Indonesia. Begitu suksesnya hingga Purwakarta kini menjadi tempat belajar bagi para pejabat dari berbagai wilayah di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar