Peringatan Dini Amat Lemah
Eko Yulianto, Peneliti
di Pusat Penelitian Geoteknologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
SUMBER
: KOMPAS, 26 April 2012
Hasil kajian cepat terhadap kinerja sistem
peringatan dini tsunami pada gempa Aceh, 11 April 2012, menunjukkan sistem ini
ternyata amat lemah. Kajian dilakukan oleh tim gabungan Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia; Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG); Badan Nasional Penanggulangan Bencana; serta Pusat Riset Tsunami dan
Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala.
Kegagalan sistem dalam mengeluarkan
peringatan dini bukan hanya karena listrik mati, melainkan juga karena sistem
pendukung yang tak bekerja. Ini masih ditambah dengan pemahaman masyarakat yang
lemah terhadap sistem peringatan dini sehingga memicu respons tak semestinya.
Berdasarkan laporan warga, beberapa jaringan
PLN mati seketika karena gempa. Menurut PLN, ada jaringan yang rusak oleh
gempa. Jaringan sisanya masih menyala hingga 19 menit pascagempa. PLN mematikan
semua jaringan pukul 15.57.
Rekaman video di kantor Pusat Pengendali
Operasi (Pusdalops) Aceh mengonfirmasi penerimaan informasi Peringatan Dini I.
Jika mengacu pada catatan urutan kejadian gempa Aceh yang disiarkan BMKG,
rekaman itu kemungkinan besar juga menerima informasi peringatan dini kedua
yang dikirim pada menit ke-9,5 setelah gempa. Namun, tidak ada petugas di ruang
Pusdalops sehingga tidak ada yang menghidupkan sirene.
BMKG berupaya menghidupkan sirene di Aceh
dari Jakarta pada menit ke-10 pascagempa, tetapi gagal. Muncul pertanyaan
terhadap keandalan sistem komunikasi sinyal sirene mengingat listrik masih
menyala saat itu. Aktivasi melalui GSM dan Byru boleh jadi terhambat oleh
padatnya lalu lintas sinyal (congest).
Namun, aktivasi melalui VSat semestinya bisa karena listrik masih menyala.
Upaya aktivasi juga dilakukan dari kantor
Pusdalops Aceh pukul 17.09 (menit ke-91 pascagempa) untuk sirene di Kahju,
Lamkruet, dan Kantor Gubernur serta pukul 17.12 (menit ke-93 pascagempa) untuk
sirene di Lampulo, Kahju, Kantor Gubernur, dan Simpanglayang.
Catatan urutan peristiwa BMKG menyebutkan
bahwa aktivasi sirene di Kahju dan Kantor Gubernur berhasil dilakukan secara
manual pada menit ke-40 (pukul 16.18.29). Data itu mungkin tidak akurat karena
aktivasi manual berarti sirene diaktifkan di lokasi sirene berada. Satu-satunya
yang dapat melakukan adalah provider sistem sirene, yaitu PT Pasifik Satelit
Nusantara (PSN). Berdasarkan informasi, petugas PSN di lapangan berusaha
mengomunikasikan kegagalan aktivasi ke kantor PSN Jakarta. Komunikasi itu baru
berhasil pada pukul 16.43 (menit ke-65 setelah gempa). Petugas PSN di lapangan
menanyakan apakah sirene perlu diaktivasi dan minta diajari caranya. Petugas
PSN Jakarta kemudian menginstruksikan cara mengaktivasi sirene secara manual.
Jika dari waktu komunikasi hingga tombol
aktivasi ditekan perlu waktu lima menit, sirene di Kantor Gubernur berbunyi
pukul 16.48, menit ke-70 setelah gempa. Sementara sirene di Kahju berbunyi 30
menit kemudian sekitar pukul 17.20 (menit ke-102 setelah gempa) karena saat itu
perlu waktu sekitar 30 menit ke Kahju dari Kantor Gubernur.
Aktivasi sirene secara manual tidak ada di
dalam prosedur tetap peringatan dini. Namun, masih lemahnya struktur rantai
peringatan dini pada tingkat pemda memang memunculkan dilema setidaknya terkait
dengan pihak yang lebih tepat dalam pengaktivasian sirene.
Pendukung Rantai PD Lemah
Rantai informasi peringatan dini (PD) pada
jalur pendukung, yaitu TNI dan Polri, juga tidak berjalan baik. Meskipun
informasi peringatan dini dari BMKG yang dikirim melalui Markas Besar TNI
diterima petugas di kantor Kodam melalui faksimile, informasi ini tak sampai ke
petugas di kantor Koramil dan ataupun ke Pusdalops. Petugas di kantor Polsek
juga tidak memperoleh informasi peringatan dini dari jajaran di atasnya.
Hal serupa terjadi pada kasus gempa dan
tsunami Mentawai, 25 Oktober 2010. Petugas jaga di Polsek dan Koramil Sikakap
tidak mendapatkan informasi peringatan dini ataupun arahan evakuasi dari
sumber-sumber resmi rantai peringatan. Ini patut disayangkan karena TNI dan
Polri merupakan institusi yang memiliki petugas jaga 24 jam. Ketika jaringan
listrik mati di Aceh, sistem komunikasi radio TNI dan Polri tidak terganggu.
Dalam sistem peringatan dini saat ini, TNI
dan Polri juga hanya berperan sebagai penyambung lidah informasi peringatan
dini dari BMKG kepada Pusdalops, tetapi tidak berhak menggunakan informasi itu
untuk mengarahkan masyarakat. Jika TNI dan Polri adalah bagian Pusdalops,
sistem peringatan dini tsunami ini akan lebih kuat ke depan.
Respons dan Persepsi Keliru
Respons awal sebagian besar masyarakat sudah
baik, yaitu menggunakan gempa sebagai tanda evakuasi. Beberapa orang masih ada
yang mencoba menuju pantai untuk mengamati apakah air laut surut. Pada banyak
kasus tsunami lokal, upaya ini ibarat menyerahkan nyawa.
Evakuasi umumnya dilakukan dengan menggunakan
kendaraan roda dua dan empat menuju tempat tinggi. Kemacetan terjadi di banyak
ruas jalan dan persimpangan karena sebagian besar warga menuju arah sama, yaitu
Lambaro.
Ketiadaan rambu-rambu evakuasi bisa menjadi
salah satu faktor yang memperparah kemacetan. Sementara sebagian warga justru
bergerak ke arah berlawanan karena ingin menjemput anggota keluarganya sebelum
menyelamatkan diri.
Kepanikan semakin menjadi ketika terdengar
bunyi sirene. Dalam persepsi masyarakat dan bahkan aparat, bunyi sirene adalah
tanda bahwa tsunami benar-benar terjadi, apalagi sirene teraktivasi secara
otomatis jika sensornya tersentuh gelombang tsunami. Anehnya, sebagian besar
masyarakat belum pernah mendengar bunyi sirene itu dan tidak tahu letaknya.
Hanya sedikit masyarakat yang memanfaatkan
bangunan penyelamat. Banyak orang tidak percaya bahwa bangunan itu akan kuat
menahan gelombang tsunami karena belum teruji. Banyak lagi yang berpendapat bahwa
bangunan itu diperuntukkan bagi orangtua, wanita, anak-anak, dan orang-orang
yang tidak memiliki kendaraan.
Dalam menit ke-30 hingga ke-60, konsentrasi
massa akibat kemacetan lalu lintas masih terjadi di banyak jalan dan
persimpangan yang dilanda tsunami pada tahun 2004. Beruntung bahwa sumber gempa
tidak berada di tempat yang sama dan mekanismenya juga tidak sama sehingga
tsunami tidak terjadi.
Gempa Aceh merupakan gempa besar pertama yang
menguji keandalan sistem peringatan dini tsunami Indonesia. Hasil kajian
menunjukkan, sistem ini masih sangat lemah dan perlu pembenahan menyeluruh.
Bukan hanya perangkat teknologinya, melainkan terutama juga pada hal-hal yang
berkaitan dengan regulasi, sosialisasi, dan kapasitas manusianya. ●
Saya pribadi mengakui kelemahan/kegagala kami dalam mengeluarkan peringatan dini di menit 10. Sangat manusiawi saya rasa karena kami masih trauma dengan kejadian 26 Desember 2004 silam. Namun setahu saya Pak, di ruangan Pusdalops Aceh tidak ada kamera (kalaupun ada saya minta bapak untuk menunjukkannya kepada saya). Yang kedua dalam prosedur operasi tetap Pusdalops Aceh, pengaktivasian sirene memang dilakukan secara manual (bukan otomatis), karena belajar dari pengalaman tahun 2007 saat sirene berbunyi sendiri otomatis, dan itu pula yang kami lakukan dalam beberapa kali Tsunami Drill di Banda Aceh (pengaktivasian sirene dilakukan secara manual).
BalasHapus