Teologi dan Politisasi Buruh
M Hadi Shubhan, Doktor
dan Dosen Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Unair,
Pernah Jadi Santri "Kalong" pada Salah
Satu Pesantren Salaf di Jogjakarta
SUMBER
: JAWA POS, 30 April 2012
“SALAH
satu penyebab sering terjadinya konflik antara pengusaha dan buruh dalam
hubungan industrial adalah pengusaha sering memosisikan buruh sebagai
"orang" luar. Buruh dianggap bukan bagian dari keluarga besar
perusahaan. Bahkan, tidak sedikit pengusaha yang menganggap buruh sebagai
musuh. Hal ini menyebabkan buruh membalas sikap pengusaha tersebut. Hubungan
industrial pun senantiasa dalam suasana yang tidak kondusif dan penuh saling
kecurigaan.
Penyebab lain adalah banyaknya upaya pengusaha untuk mereduksi hak-hak normatif buruh. Mereka menabrak ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan atau menyalahgunakan dan menyelundupkan aturan ketenagakerjaan. Bahkan, pengusaha juga menghambat pendirian serikat pekerja. Padahal, pengusaha bebas berorganisasi dan tak dihambat oleh buruh.
Pada sisi lain, buruh pun dalam bekerja sering tidak segenap jiwa raga atau dalam bahasa yang lagi populer adalah tidak bekerja dengan hati.
Teologi Perburuhan
Di sinilah pentingnya aspek spiritual baik bagi pengusaha maupun buruh dalam konteks hubungan industrial. Penyelesaian perselisihan atau perbedaan kepentingan antara pengusaha dan buruh jika hanya mengacu pada hukum normatif positif ansich tentu sampai kapan pun, dan bahkan mungkin sampai hari kiamat kurang dua hari, tidak pernah akan ada habisnya. Hal ini karena antara pengusaha dan buruh sering, meskipun tidak selalu, memiliki kepentingan yang berbeda, bahkan bertolak belakang.
Bekerja mencari nafkah tidak boleh dimaknai semata-mata untuk bertahan hidup di dunia. Tetapi, juga harus dimaknai sebagai salah satu pengabdian dan ibadah kepada Sang Khaliq. Dalam perspektif ini, baik pengusaha maupun buruh harus mendahulukan sifat tasamuh (toleran) dalam setiap memahami situasi yang sering berujung pada pertentangan pendapat atau pertentangan kepentingan.
Salah satu hak normatif yang sering dilanggar pengusaha adalah upah buruh. Berbagai modus pelanggaran terhadap normatif hak upah buruh, misalnya terlambatnya membayar upah, membayar upah di bawah ketentuan upah minimum, dan mem-PHK buruh tanpa pemberian pesangon. Pelanggaran upah ini tentu sangat dilarang oleh agama.
Dalam salah satu sabdanya, Nabi menyatakan, "Bayarlah upah buruh sebelum kering keringatnya." Pesan tersirat dari sabda Nabi tersebut adalah untuk tidak memperlambat dalam membayar upah buruh, untuk tidak mengurangi hak yang menjadi upah buruh, serta larangan mengemplang upah buruh. Dalam praktik sering terjadi pengusaha malah mengisap keringat buruh sebelum keringat buruh itu kering. Ini berarti pengusaha bukan hanya melanggar hukum positif ,melainkan melanggar pula norma agama.
Politisasi Buruh
Buruh di Indonesia juga sering dijadikan kambing hitam atas nama iklim investasi. Buruh dituduh oleh negara dan pengusaha sebagai biang keladi buruknya investasi di Indonesia. Namun, ketika kini Indonesia dipuji sebagai daerah tujuan investasi prospektif, buruh tidak dianggap berjasa dalam menciptakan kondisi itu.
Kalaupun iklim investasi suram, itu lebih karena ada persoalan di kalangan pemerintah dan pengusaha. Pengusaha yang tidak mampu membayar upah buruh bukan karena upah buruh terlalu tinggi, tetapi karena pengusaha ingin mendulang margin keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mereduksi sebesar-besarnya hak buruh.
Studi World Bank pada beberapa tahun terakhir ini menemukan penggangu iklim investasi di Indonesia adalah banyak faktor, dan faktor perburuhan hanya menempati peringkat ketujuh. Faktor-faktor lain penghambat investasi yang justru lebih determinan daripada soal perburuhan, antara lain, buruknya infrastruktur, sulit dan rumitnya perpajakan, birokrasi perizinan yang korup, serta ketidakpastian hukum. Intinya, persoalan ada pada pemerintah!
Mengapa pemerintah justru berkutat pada persoalan hubungan industrial ini untuk memperbaiki iklim usaha dan iklim investasi Indonesia ini? Ketika hubungan industrial diutak-atik, kerap tujuannya bukan untuk menyamankan buruh yang hidupnya susah, tapi fokusnya meng-entertaint investor. Inilah bentuk politisasi buruh oleh negara atas nama investasi. Mestinya, untuk menyamankan investor, pemerintah memperbaiki kinerja dan perilakunya sendiri.
Sementara itu pula, pemerintahan SBY dalam dua periode ini selalu menunjuk menteri yang membidangi ketenagakerjaan bukan dari kalangan profesional melainkan dari salah satu partai politik yang merupakan anggota koalisi. Ini menunjukkan bahwa visi pemerintah dalam menangani permasalahan perburuhan lebih mengedepankan aspek politis daripada aspek profesionalitas.
Padahal, benang kusut masalah perburuhan itu sangat membutuhkan penanganan dari aspek regulasi dan aspek pengawasan dan bukan aspek politis. Aspek regulasi sangat mendesak untuk dibenahi karena banyak kebijakan yang saling bertentangan serta terjadi kekosongan pedoman normatif bagi pelaksanaan hubungan industrial. Di sinilah, pemerintah seharusnya menata regulasi ketenagakerjaan dengan cara meninjau ulang secara komprehensif baik mengharmonisasi, mensinkronisasi, maupun membuat regulasi baru.
Demikian pula aspek pengawasan ketenagakerjaan oleh pemerintah sangat lemah. Banyaknya pelanggaran hak buruh akibat implementasi norma ketenagakerjaan yang menyimpang. Penyimpangan dalam implementasi norma perburuhan itu sering dibiarkan oleh pengawas ketenagakerjaan sebagai lembaga yang memiliki otoritas pengawasan hubungan industrial.
Jadi, mengurai benang kusut masalah perburuhan di negara ini dengan membenahi dua hal, yakni aspek regulasi dan pengawasan. Jika dua hal ini dilakukan, negeri ini akan menjadi surga bagi pengusaha, buruh, dan investor asing yang pada gilirannya menjadi surga bagi rakyat Indonesia semua.
Selamat Hari Buruh besok, rayakan Hari Buruh (Mayday) dengan segenap suka cita tanpa membuat anarki yang bisa merugikan masyarakat umum. Bukan menjadi Mayday... Mayday... Mayday... yang artinya telanjur dianggap tanda bahaya. ●
Penyebab lain adalah banyaknya upaya pengusaha untuk mereduksi hak-hak normatif buruh. Mereka menabrak ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan atau menyalahgunakan dan menyelundupkan aturan ketenagakerjaan. Bahkan, pengusaha juga menghambat pendirian serikat pekerja. Padahal, pengusaha bebas berorganisasi dan tak dihambat oleh buruh.
Pada sisi lain, buruh pun dalam bekerja sering tidak segenap jiwa raga atau dalam bahasa yang lagi populer adalah tidak bekerja dengan hati.
Teologi Perburuhan
Di sinilah pentingnya aspek spiritual baik bagi pengusaha maupun buruh dalam konteks hubungan industrial. Penyelesaian perselisihan atau perbedaan kepentingan antara pengusaha dan buruh jika hanya mengacu pada hukum normatif positif ansich tentu sampai kapan pun, dan bahkan mungkin sampai hari kiamat kurang dua hari, tidak pernah akan ada habisnya. Hal ini karena antara pengusaha dan buruh sering, meskipun tidak selalu, memiliki kepentingan yang berbeda, bahkan bertolak belakang.
Bekerja mencari nafkah tidak boleh dimaknai semata-mata untuk bertahan hidup di dunia. Tetapi, juga harus dimaknai sebagai salah satu pengabdian dan ibadah kepada Sang Khaliq. Dalam perspektif ini, baik pengusaha maupun buruh harus mendahulukan sifat tasamuh (toleran) dalam setiap memahami situasi yang sering berujung pada pertentangan pendapat atau pertentangan kepentingan.
Salah satu hak normatif yang sering dilanggar pengusaha adalah upah buruh. Berbagai modus pelanggaran terhadap normatif hak upah buruh, misalnya terlambatnya membayar upah, membayar upah di bawah ketentuan upah minimum, dan mem-PHK buruh tanpa pemberian pesangon. Pelanggaran upah ini tentu sangat dilarang oleh agama.
Dalam salah satu sabdanya, Nabi menyatakan, "Bayarlah upah buruh sebelum kering keringatnya." Pesan tersirat dari sabda Nabi tersebut adalah untuk tidak memperlambat dalam membayar upah buruh, untuk tidak mengurangi hak yang menjadi upah buruh, serta larangan mengemplang upah buruh. Dalam praktik sering terjadi pengusaha malah mengisap keringat buruh sebelum keringat buruh itu kering. Ini berarti pengusaha bukan hanya melanggar hukum positif ,melainkan melanggar pula norma agama.
Politisasi Buruh
Buruh di Indonesia juga sering dijadikan kambing hitam atas nama iklim investasi. Buruh dituduh oleh negara dan pengusaha sebagai biang keladi buruknya investasi di Indonesia. Namun, ketika kini Indonesia dipuji sebagai daerah tujuan investasi prospektif, buruh tidak dianggap berjasa dalam menciptakan kondisi itu.
Kalaupun iklim investasi suram, itu lebih karena ada persoalan di kalangan pemerintah dan pengusaha. Pengusaha yang tidak mampu membayar upah buruh bukan karena upah buruh terlalu tinggi, tetapi karena pengusaha ingin mendulang margin keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mereduksi sebesar-besarnya hak buruh.
Studi World Bank pada beberapa tahun terakhir ini menemukan penggangu iklim investasi di Indonesia adalah banyak faktor, dan faktor perburuhan hanya menempati peringkat ketujuh. Faktor-faktor lain penghambat investasi yang justru lebih determinan daripada soal perburuhan, antara lain, buruknya infrastruktur, sulit dan rumitnya perpajakan, birokrasi perizinan yang korup, serta ketidakpastian hukum. Intinya, persoalan ada pada pemerintah!
Mengapa pemerintah justru berkutat pada persoalan hubungan industrial ini untuk memperbaiki iklim usaha dan iklim investasi Indonesia ini? Ketika hubungan industrial diutak-atik, kerap tujuannya bukan untuk menyamankan buruh yang hidupnya susah, tapi fokusnya meng-entertaint investor. Inilah bentuk politisasi buruh oleh negara atas nama investasi. Mestinya, untuk menyamankan investor, pemerintah memperbaiki kinerja dan perilakunya sendiri.
Sementara itu pula, pemerintahan SBY dalam dua periode ini selalu menunjuk menteri yang membidangi ketenagakerjaan bukan dari kalangan profesional melainkan dari salah satu partai politik yang merupakan anggota koalisi. Ini menunjukkan bahwa visi pemerintah dalam menangani permasalahan perburuhan lebih mengedepankan aspek politis daripada aspek profesionalitas.
Padahal, benang kusut masalah perburuhan itu sangat membutuhkan penanganan dari aspek regulasi dan aspek pengawasan dan bukan aspek politis. Aspek regulasi sangat mendesak untuk dibenahi karena banyak kebijakan yang saling bertentangan serta terjadi kekosongan pedoman normatif bagi pelaksanaan hubungan industrial. Di sinilah, pemerintah seharusnya menata regulasi ketenagakerjaan dengan cara meninjau ulang secara komprehensif baik mengharmonisasi, mensinkronisasi, maupun membuat regulasi baru.
Demikian pula aspek pengawasan ketenagakerjaan oleh pemerintah sangat lemah. Banyaknya pelanggaran hak buruh akibat implementasi norma ketenagakerjaan yang menyimpang. Penyimpangan dalam implementasi norma perburuhan itu sering dibiarkan oleh pengawas ketenagakerjaan sebagai lembaga yang memiliki otoritas pengawasan hubungan industrial.
Jadi, mengurai benang kusut masalah perburuhan di negara ini dengan membenahi dua hal, yakni aspek regulasi dan pengawasan. Jika dua hal ini dilakukan, negeri ini akan menjadi surga bagi pengusaha, buruh, dan investor asing yang pada gilirannya menjadi surga bagi rakyat Indonesia semua.
Selamat Hari Buruh besok, rayakan Hari Buruh (Mayday) dengan segenap suka cita tanpa membuat anarki yang bisa merugikan masyarakat umum. Bukan menjadi Mayday... Mayday... Mayday... yang artinya telanjur dianggap tanda bahaya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar