Tantangan Sistem Keuangan Islam
Andrew Sheng dan Ajit Singh, Andrew Sheng: Penasihat Kepala pada Komisi Regulator Perbankan Cina, Wakil Ketua
Hong Kong Monetary Authority;
Ajit Singh:
Guru Besar Ekonomi pada Cambridge
University
SUMBER : KORAN TEMPO, 27 April 2012
SUMBER : KORAN TEMPO, 27 April 2012
Dengan beredarnya berita bahwa pemerintah
Inggris akan menjual 82 persen sahamnya dalam Royal Bank of Scotland kepada pemerintah Abu Dhabi, sekali lagi
ditunjukkan pengaruh sistem keuangan Islam yang semakin besar di dunia.
Pengaruh ini juga merupakan ancaman sistemik terhadap sistem keuangan yang
dominan di dunia saat ini.
Dari awal yang merendahkan diri pada 1990-an,
sistem keuangan Islam telah berkembang menjadi industri triliunan dolar. Pasar
sepakat bahwa sistem keuangan Islam mempunyai masa depan yang cerah, berkat
demografi yang menguntungkan dan meningkatnya pendapatan di kalangan masyarakat
muslim.
Kendati ada skeptisisme mengenai akomodasi
antara sistem keuangan Islam dan sistem keuangan global, semakin banyak bank
terkemuka membeli surat utang Islam dan membentuk anak perusahan yang khusus
melakukan transaksi menurut sistem keuangan Islam. Undang-undang khusus telah
dikeluarkan di pusat-pusat keuangan non-muslim--London, Singapura, dan Hong
Kong--untuk melancarkan operasi bank-bank Islam dan lembaga-lembaga keuangan
yang terkait dengannya.
Bagaimana kita harus memandang perkembangan
ini dari perspektif sistem keuangan Barat dan menurut analisis ekonomi arus
utama? Apakah sistem keuangan Islam benar-benar merupakan suatu sistem keuangan
alternatif yang bisa diandalkan?
Bahwa pertanyaan semacam itu diajukan
sekarang ini mempunyai arti yang penting. Belum begitu lama yang lalu, sistem
keuangan Islam diremehkan sebagai sistem keuangan “suku bunga nol” yang bakal
berujung pada pengerahan dan penggunaan dana yang tidak memadai dan tidak
efisien. Ironisnya, banyak bank arus utama sekarang justru secara rutin
menerapkan kebijakan semacam itu ketika memburu quantitative easing yang
masif.
Ada dua prinsip sentral dalam sistem keuangan
Islam: mengharamkan bunga atas transaksi keuangan, dan menerapkan standar moral
yang tinggi yang harus dipatuhi baik oleh kreditor maupun debitor. Menariknya, rationale
sistem suku bunga nol ini tercantum dalam Teori Umum John Maynard Keynes:
“Ketentuan yang melarang riba merupakan salah satu praktek ekonomi paling tua
yang pernah kita catat. Karena itu, di suatu dunia di mana
tidak seorang pun dianggap aman, hampir tidak terelakkan bahwa suku bunga,
kecuali dikendalikan dengan segala instrumen yang ada dalam masyarakat, bakal
meningkat terlalu tinggi sehingga tidak mungkin bakal ada rangsangan yang
memadai bagi masyarakat untuk berinvestasi.”
Keynes mengatakan bahwa hanya suku bunga nol
atau yang sangat rendah yang bisa menjamin penyediaan lapangan kerja sepenuhnya
dan distribusi yang adil. Pernyataan Keynes yang mendukung kebijakan seperti
itu tidak berarti ia benar, namun analisisnya patut dianggap sebagai pernyataan
yang serius.
Patut diingat bahwa, walaupun bunga
diharamkan menurut sistem keuangan Islam, tidak demikian halnya dengan laba.
Laba diperoleh dari berbagai pengaturan yang memadukan pendanaan dan
kewirausahaan. Esensinya, ia merupakan sistem bagi laba dan bagi risiko
berdasarkan sepenuhnya pada equity finance.
Sistem keuangan Islam, karena itu, bertolak
belakang dengan sistem yang dominan saat ini yang didasarkan pada utang yang
berbunga, di mana risiko secara teoretis dibebankan kepada debitor, tapi dalam
prakteknya disosialkan, atau disesuaikan, dengan kepentingan masyarakat di saat
krisis. Dalam keadaan serupa, sebagian besar ekonom sepakat bahwa debt
finance berujung pada ketidakstabilan yang lebih parah daripada equity
finance.
Dari prinsip utama kedua sistem keuangan
Islam ternyata bahwa, jika orang dengan teguh mematuhi persyaratan etikanya,
bakal tidak timbul banyak persoalan moral hazard dalam perbankan Islam. Moral
hazard ada di semua sistem di mana negara pada akhirnya menyerap risiko
yang dibawa warga pribadi.
Tapi, apakah sesuatu sistem itu efisien dalam
menghindari moral hazard merupakan persoalan praktek, bukan teori.
Banyak pihak sepakat bahwa, secara historis, moralitas Kristen memainkan peran
penting dalam pertumbuhan kapitalisme Barat. Bagaimanapun, kapitalisme sekuler
telah mengalami erosi nilai, di mana sektor keuangan telah menempatkan kepentingannya
sendiri di atas kepentingan masyarakat. Jika nilai etika dalam sistem keuangan
Islam--yang didasarkan pada hukum syariah--bisa selanjutnya mencegah terjadinya
moral hazard dan penyalahgunaan tugas oleh lembaga-lembaga keuangan,
sistem keuangan Islam terbukti bisa menjadi alternatif yang serius terhadap
model derivative finance yang ada saat ini.
Lagi pula prinsip dasar sistem keuangan Islam
memaksa kita untuk meninjau kembali basis etika sistem moneter modern, yang
telah berkembang menjadi sistem global mata uang cadangan global berdasarkan fiat
money. Di masa lalu, emas merupakan jangkar stabilitas moneter dan disiplin
keuangan, walaupun emas itu sifatnya deflasioner.
Batu ujian bagi setiap sistem keuangan
alternatif akhirnya bergantung pada apakah ia--atau ia bisa--lebih efisien,
lebih etis, lebih stabil, dan lebih mampu beradaptasi daripada sistem yang ada
sekarang. Untuk sementara ini, belum ada mata uang cadangan dan lender of
the last resort Islam. Tapi dunia Islam merupakan pemilik sumber daya alam
yang besar yang mendukung kegiatan perdagangan dan keuangannya.
Sementara pengaruh dunia Islam semakin besar,
sistem keuangan Islam bakal menjadi pesaing yang tangguh terhadap sistem
keuangan yang ada saat ini. Dunia bakal banyak diuntungkan bila kedua sistem
keuangan ini dibiarkan bersaing dengan jujur dan konstruktif guna memenuhi
kebutuhan masyarakat akan berbagai sistem keuangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar