Menanam BBM
Khudori, Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan
Pangan Pusat (2010-2014)
SUMBER
: REPUBLIKA, 25 April 2012
Ketika
harga bahan bakar minyak (BBM) melambung tinggi dan nilai rupiah terhadap dolar
meningkat, sebagai negara nett importer Indonesia bagai terkena pukulan ganda. Pertama,
subsidi BBM akan naik berlipat-lipat dan menggerus anggaran negara (APBN).
Kedua, dengan impor minyak mentah hanya sebesar 400 ribu barel per hari dengan
harga 105 dolar AS per barel devisa yang melayang ke luar negeri mencapai 42
juta dolar AS (Rp 376 miliar).
Cadangan
terbukti minyak Indonesia 4,04 miliar barel, gas alam 188 trillion cubic feet,
dan batu bara 57 miliar ton. Dengan tingkat produksi saat ini, Indonesia masih
bisa bertumpu pada bahan bakar fosil 180-200 tahun lagi. Yang kritis tentu
minyak.
Dengan
pengurasan seperti saat ini, tanpa temuan cadangan baru, cadangan hanya
bertahan 12 tahun. Namun, semua otak-atik angka itu hakikatnya Indonesia
memiliki keterbatasan sumber energi fosil. Untuk membangun ketahanan energi
yang kuat, mustahil Indonesia bertumpu pada sumber energi yang terbatas dan tak
bisa diperbaharui seperti energi fosil.
Ditilik
dari data-data statistik, potensi sumber daya energi Indonesia di luar energi
fosil amat besar. Indonesia memiliki sumber daya energi baru dan terbarukan
melimpah berupa panas bumi, biomassa, mikrohidro, angin, surya, gambut, pasang
surut, dan gelombang. Ini jenis energi yang ideal dari sisi lingkungan dan
kesinambungan pasokan.
Sebagai
daerah vulkanik Indonesia kaya energi panas bumi. Sebagai negara tropis dengan
sinar matahari penuh sepanjang tahun Indonesia juga kaya biomassa hasil
fotosíntesis. Potensi energi lainnya adalah bahan bakar nabati. Semua sumber
daya energi terbarukan ini belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal, ke depan inilah masa depan energi kita.
Salah
satu potensi energi yang melimpah adalah bahan bakar nabati. Dengan sinar
matahari sepanjang tahun, Indonesia berpotensi menghasilkan produk energi terbarukan
berbasis bahan nabati. Ada banyak jenis sumber nabati yang bisa diolah menjadi
biofuel, mulai dari buah/biji (jarak pagar dan kelapa sawit), batang (tebu,
sorgum), bahkan sampai ke akar tumbuhan (jenis umbi-umbian, seperti singkong).
Menurut data Kantor Menristek/BPPT, Indonesia setidaknya memiliki 60-an jenis
tumbuhan penghasil minyak.
Secara
teoretis, semua tumbuhan yang biji/buah, batang atau akarnya mengandung minyak
bisa dijadikan biofuel. Mulai jagung, jambu mete, tebu, singkong, wijen, hingga
bunga matahari.
Namun,
untuk keperluan komersial, kelayakan usaha harus menjadi modal utama. Idealnya,
tumbuhan cepat menghasilkan, budi dayanya mudah dan murah, tumbuh di sembarang
tempat (termasuk di lahan marginal) dan kandungan minyaknya tinggi. Dari riset
diketahui sejumlah tumbuhan berminyak tinggi: aren (40 ribu liter/ha), sawit
(5.950), tebu (6.000), singkong (4.500), kelapa (2.689), alpukat (2.638), dan
jarak pagar (1.892).
Selain
jarak pagar, singkong, dan tebu, tumbuhan di atas termasuk tanaman tahunan.
Untuk bahan bakar nabati, isu krusial terletak pada pemetikan/ pemanenan.
Pemanenan bunga matahari yang buruk membuat ekstrak minyak melorot.
Sama
halnya sawit, buah jarak pagar yang tidak masak serentak juga memperumit
pemanenan. Tapi, bukan berarti tak ada solusi. Pada akhirnya, semuanya
bergantung pada penguasaan ilmu kita tentang tumbuhan yang akan dijadikan
andalan menghasilan “BBM tanam“ itu.
Ditilik
dari produktivitas, ada empat kandidat: aren, sawit, singkong, dan tebu. Tiga
terakhir sudah kita kuasai. Bahkan, untuk tebu kita memiliki catatan sejarah
lebih dari empat abad. Masalahnya, kita masih nett importer gula. Jika tebu
dijadikan bahan baku etanol, seperti di Brasil, impor gula akan semakin besar. Ini menguras devisa. Untuk sawit dan singkong, masalahnya berbeda.
Sementara
itu, jarak pagar jauh dari masalah-masalah di atas. Dibandingkan sawit dan
singkong, jarak pagar perawatannya lebih mudah dan murah, tak banyak memerlukan
air, bisa hidup di lahan marginal dan kritis serta umurnya bisa lebih dari 50
tahun. Menurut data Departemen Kehutanan (2000), lahan kritis mencapai 23 juta
hektare.
Sesungguhnya,
pelbagai karakteristik di atas menunjukkan ada banyak pilihan memproduksi
biofuel di seluruh wilayah Indonesia sesuai karakter daerah, sifat lahan, dan
penguasaan ilmu/teknologi. Lahan jarak pagar berbeda dengan lahan sawit atau
singkong. Jadi, tak perlu ada beleid
yang menginstruksikan menanam tanaman tertentu, seperti instruksi menanam jarak
pagar tempo hari. Kebijakan seperti ini tidak sehat.
Bagi
negara, produksi biofuel akan menekan keluarnya devisa dan menekan subsidi.
Karena, sifatnya ramah lingkungan dan bisa diperbaharui, kontinuitas terjamin.
Semua bahan bakar nabati yang dibakar itu menyerap CO2 dalam fotosintesis 1,8
kg per kg bagian kering tanaman.
Dengan
biofuel emisi gas rumah kaca ditekan. Penurunan emisi ini bisa dijual ke “pasar
buangan gas rumah kaca“ ke negara maju. Karena produksi biofuel bisa
didesentralisasikan hingga ke rumah-rumah, warga desa memiliki alternatif bahan
bakar murah dan terjamin pasokannya. Jika di desa-desa didirikan unit
pengolahan biofuel, selain menyerap tenaga kerja lokal juga akan menstimulasi
ekonomi setempat.
Agar
BBM tanam berkembang, pertama, pemerintah harus merakit kebijakan yang adil
terhadap energi terbarukan, dengan memberi subsidi misalnya. Tanpa intervensi, energi terbarukan tak akan berkembang.
Kedua,
menyediakan dana berbunga rendah dan berjangka waktu panjang.
Ini untuk mengeliminasi besarnya investasi awal. Ketiga, merakit kebijakan energi terbarukan yang komprehensif, termasuk pembenahan lembaga riset.
Keempat, ini paling sulit, melakukan semua kebijakan secara konsisten. ●
Ini untuk mengeliminasi besarnya investasi awal. Ketiga, merakit kebijakan energi terbarukan yang komprehensif, termasuk pembenahan lembaga riset.
Keempat, ini paling sulit, melakukan semua kebijakan secara konsisten. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar