Kamis, 26 April 2012

Menanam BBM

Menanam BBM
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
 Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
SUMBER : REPUBLIKA, 25 April 2012


Ketika harga bahan bakar minyak (BBM) melambung tinggi dan nilai rupiah terhadap dolar meningkat, sebagai negara nett importer Indonesia bagai terkena pukulan ganda. Pertama, subsidi BBM akan naik berlipat-lipat dan menggerus anggaran negara (APBN). Kedua, dengan impor minyak mentah hanya sebesar 400 ribu barel per hari dengan harga 105 dolar AS per barel devisa yang melayang ke luar negeri mencapai 42 juta dolar AS (Rp 376 miliar).

Cadangan terbukti minyak Indonesia 4,04 miliar barel, gas alam 188 trillion cubic feet, dan batu bara 57 miliar ton. Dengan tingkat produksi saat ini, Indonesia masih bisa bertumpu pada bahan bakar fosil 180-200 tahun lagi. Yang kritis tentu minyak.

Dengan pengurasan seperti saat ini, tanpa temuan cadangan baru, cadangan hanya bertahan 12 tahun. Namun, semua otak-atik angka itu hakikatnya Indonesia memiliki keterbatasan sumber energi fosil. Untuk membangun ketahanan energi yang kuat, mustahil Indonesia bertumpu pada sumber energi yang terbatas dan tak bisa diperbaharui seperti energi fosil.

Ditilik dari data-data statistik, potensi sumber daya energi Indonesia di luar energi fosil amat besar. Indonesia memiliki sumber daya energi baru dan terbarukan melimpah berupa panas bumi, biomassa, mikrohidro, angin, surya, gambut, pasang surut, dan gelombang. Ini jenis energi yang ideal dari sisi lingkungan dan kesinambungan pasokan.

Sebagai daerah vulkanik Indonesia kaya energi panas bumi. Sebagai negara tropis dengan sinar matahari penuh sepanjang tahun Indonesia juga kaya biomassa hasil fotosíntesis. Potensi energi lainnya adalah bahan bakar nabati. Semua sumber daya energi terbarukan ini belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal, ke depan inilah masa depan energi kita.

Salah satu potensi energi yang melimpah adalah bahan bakar nabati. Dengan sinar matahari sepanjang tahun, Indonesia berpotensi menghasilkan produk energi terbarukan berbasis bahan nabati. Ada banyak jenis sumber nabati yang bisa diolah menjadi biofuel, mulai dari buah/biji (jarak pagar dan kelapa sawit), batang (tebu, sorgum), bahkan sampai ke akar tumbuhan (jenis umbi-umbian, seperti singkong). Menurut data Kantor Menristek/BPPT, Indonesia setidaknya memiliki 60-an jenis tumbuhan penghasil minyak.

Secara teoretis, semua tumbuhan yang biji/buah, batang atau akarnya mengandung minyak bisa dijadikan biofuel. Mulai jagung, jambu mete, tebu, singkong, wijen, hingga bunga matahari.

Namun, untuk keperluan komersial, kelayakan usaha harus menjadi modal utama. Idealnya, tumbuhan cepat menghasilkan, budi dayanya mudah dan murah, tumbuh di sembarang tempat (termasuk di lahan marginal) dan kandungan minyaknya tinggi. Dari riset diketahui sejumlah tumbuhan berminyak tinggi: aren (40 ribu liter/ha), sawit (5.950), tebu (6.000), singkong (4.500), kelapa (2.689), alpukat (2.638), dan jarak pagar (1.892).

Selain jarak pagar, singkong, dan tebu, tumbuhan di atas termasuk tanaman tahunan. Untuk bahan bakar nabati, isu krusial terletak pada pemetikan/ pemanenan. Pemanenan bunga matahari yang buruk membuat ekstrak minyak melorot.

Sama halnya sawit, buah jarak pagar yang tidak masak serentak juga memperumit pemanenan. Tapi, bukan berarti tak ada solusi. Pada akhirnya, semuanya bergantung pada penguasaan ilmu kita tentang tumbuhan yang akan dijadikan andalan menghasilan “BBM tanam“ itu.

Ditilik dari produktivitas, ada empat kandidat: aren, sawit, singkong, dan tebu. Tiga terakhir sudah kita kuasai. Bahkan, untuk tebu kita memiliki catatan sejarah lebih dari empat abad. Masalahnya, kita masih nett importer gula. Jika tebu dijadikan bahan baku etanol, seperti di Brasil, impor gula akan semakin besar.  Ini menguras devisa. Untuk sawit dan singkong, masalahnya berbeda.

Sementara itu, jarak pagar jauh dari masalah-masalah di atas. Dibandingkan sawit dan singkong, jarak pagar perawatannya lebih mudah dan murah, tak banyak memerlukan air, bisa hidup di lahan marginal dan kritis serta umurnya bisa lebih dari 50 tahun. Menurut data Departemen Kehutanan (2000), lahan kritis mencapai 23 juta hektare.

Sesungguhnya, pelbagai karakteristik di atas menunjukkan ada banyak pilihan memproduksi biofuel di seluruh wilayah Indonesia sesuai karakter daerah, sifat lahan, dan penguasaan ilmu/teknologi. Lahan jarak pagar berbeda dengan lahan sawit atau singkong. Jadi, tak perlu ada beleid yang menginstruksikan menanam tanaman tertentu, seperti instruksi menanam jarak pagar tempo hari. Kebijakan seperti ini tidak sehat.

Bagi negara, produksi biofuel akan menekan keluarnya devisa dan menekan subsidi. Karena, sifatnya ramah lingkungan dan bisa diperbaharui, kontinuitas terjamin. Semua bahan bakar nabati yang dibakar itu menyerap CO2 dalam fotosintesis 1,8 kg per kg bagian kering tanaman.

Dengan biofuel emisi gas rumah kaca ditekan. Penurunan emisi ini bisa dijual ke “pasar buangan gas rumah kaca“ ke negara maju. Karena produksi biofuel bisa didesentralisasikan hingga ke rumah-rumah, warga desa memiliki alternatif bahan bakar murah dan terjamin pasokannya. Jika di desa-desa didirikan unit pengolahan biofuel, selain menyerap tenaga kerja lokal juga akan menstimulasi ekonomi setempat.

Agar BBM tanam berkembang, pertama, pemerintah harus merakit kebijakan yang adil terhadap energi terbarukan, dengan memberi subsidi misalnya. Tanpa intervensi, energi terbarukan tak akan berkembang.

Kedua, menyediakan dana berbunga rendah dan berjangka waktu panjang.
Ini untuk mengeliminasi besarnya investasi awal. Ketiga, merakit kebijakan energi terbarukan yang komprehensif, termasuk pembenahan lembaga riset.
Keempat, ini paling sulit, melakukan semua kebijakan secara konsisten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar