Berebut Tongkat Golkar
Ridho Imawan Hanafi, Peneliti dari Soegeng Sarjadi
Syndicate Jakarta
SUMBER : SUARA MERDEKA, 26 April 2012
SUMBER : SUARA MERDEKA, 26 April 2012
JULI 2012 menjadi bulan yang tak
biasa bagi Partai Golkar. Rapat pimpinan nasional (rapimnas) yang sedianya
digelar Oktober 2012 dimajukan pada bulan itu. Agenda politik akan diarahkan
pada sudut bincang siapa capres partai itu dalam Pilpres 2014. Sebagai ketua
umum yang memegang kendali politik partai, Aburizal Bakrie sementara berada
dalam deret terdepan kandidat, membelakangi nama-nama seperti Jusuf Kalla dan
Akbar Tandjung.
Klaim derasnya dukungan pengurus dari daerah-daerah dalam mendukung Ical diakui internal tak mudah dibendung. Kuat dugaan, alasan itulah rapimnas perlu dimajukan. Kegiatan itu bisa dimungkinkan menjadi seremoni penyerahan tongkat politik kepada dia sebagai kontestan pilpres. Seandainya benar demikian, rapimnas sekaligus menjadi ajang mengubur peluang kandidat lain dari partai itu. ’’Kalau Pak JK maju, silakan, tetapi harus mencari partai lain,” kata Ical suatu ketika.
Namun, rencana pencapresan Aburizal tak bisa lepas dari gejolak. Sebagaimana sebelumnya dinyatakan oleh para petinggi Golkar bahwa penetapan capres ditentukan salah satunya melalui mekanisme survei. Siapa yang paling populer berpeluang maju sebagai capres. Melihat perkabaran hasil survei beberapa lembaga yang dirilis ke publik, popularitas tertinggi di Golkar bukan Ical melainkan Jusuf Kalla.
Berbeda halnya ketika survei dari beberapa lembaga dikesampingkan sebagai referensi. Perkembangan terakhir, Golkar rupanya memiliki acuan survei internal. Hasilnya, popularitas dan elektabilitas Ical berada di posisi teratas di antara tokoh-tokoh partainya. Bahkan hanya terpaut sedikit dari popularitas Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto. Pada acuan survei ini, kehendak untuk menjagokan Ical memiliki ba-han legitimasi.
Menjadikan survei sebagai instrumen penetapan capres di Partai Beringin sepertinya akan menjadi pilihan strategis ketimbang mekanisme lain seperti konvensi. Pada pilihan terakhir, Golkar pernah melakukannya tahun 2004. Konvensi memang dinilai baik bagi pencitraan partai saat itu, tetapi pencapaian strategis berupa kemenangan capres di pilpres tak didapat. Selain itu, konvensi bisa membuka keran perkubuan yang mengancam soliditas partai ke depan.
Cacat Politik
Hanya, Golkar perlu mewanti-wanti diri jika Ical benar dicapreskan. Sejauh ini popularitas dan elektabilitasnya masih tertinggal dari Megawati atau Prabowo. Kalaupun hasil survei dari lembaga-lembaga yang selama ini memiliki kredibilitas menempatkan Golkar sebagai calon pemenang pemilu legislatif, faktanya pada pilpres, korelasi antara kemenangan partai dan kemenangan figur Golkar tidak mudah dirapatkan.
Ical memang memiliki sejumlah kele-bihan. Dia pernah duduk di pemerintahan, sama halnya dengan JK atau Akbar Tan-djung, dan hal itu bisa menjadi modal kecakapan. Dia juga memiliki penguasaan beberapa media dan modal besar. Namun, dia membawa bandul pemberat, akan ber-hadapan dengan ingatan kolektif publik terkait kasus Lapindo.
Publik menilai bahwa lumpur Lapindo seperti dosa tidak terampuni, terutama bagi korban. Publik juga memiliki ingatan negatif saat Ical pernah disangkakan terkait dengan kasus pajak yang melibatkan Gayus Tambunan. Terutama pada persoalan perusahaan-perusahaannya yang diduga terlibat .
Idealnya bagi Golkar, siapa pun capresnya adalah tokoh yang memiliki kemampuan elektoral (elective ability) yang bisa berbicara banyak dalam ruang kompetisi, meskipun ia bukan pemegang kuasa partai. Rapimnas dapat dipakai sebagai pergelaran konsolidasi untuk hal itu ketimbang harus memaksakan mencapreskan tokoh tertentu. Pengalaman Pilpres 2004 dan 2009 memperlihatkan bahwa capres yang diusung Golkar tak mampu merebut simpati rakyat. ●
Klaim derasnya dukungan pengurus dari daerah-daerah dalam mendukung Ical diakui internal tak mudah dibendung. Kuat dugaan, alasan itulah rapimnas perlu dimajukan. Kegiatan itu bisa dimungkinkan menjadi seremoni penyerahan tongkat politik kepada dia sebagai kontestan pilpres. Seandainya benar demikian, rapimnas sekaligus menjadi ajang mengubur peluang kandidat lain dari partai itu. ’’Kalau Pak JK maju, silakan, tetapi harus mencari partai lain,” kata Ical suatu ketika.
Namun, rencana pencapresan Aburizal tak bisa lepas dari gejolak. Sebagaimana sebelumnya dinyatakan oleh para petinggi Golkar bahwa penetapan capres ditentukan salah satunya melalui mekanisme survei. Siapa yang paling populer berpeluang maju sebagai capres. Melihat perkabaran hasil survei beberapa lembaga yang dirilis ke publik, popularitas tertinggi di Golkar bukan Ical melainkan Jusuf Kalla.
Berbeda halnya ketika survei dari beberapa lembaga dikesampingkan sebagai referensi. Perkembangan terakhir, Golkar rupanya memiliki acuan survei internal. Hasilnya, popularitas dan elektabilitas Ical berada di posisi teratas di antara tokoh-tokoh partainya. Bahkan hanya terpaut sedikit dari popularitas Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto. Pada acuan survei ini, kehendak untuk menjagokan Ical memiliki ba-han legitimasi.
Menjadikan survei sebagai instrumen penetapan capres di Partai Beringin sepertinya akan menjadi pilihan strategis ketimbang mekanisme lain seperti konvensi. Pada pilihan terakhir, Golkar pernah melakukannya tahun 2004. Konvensi memang dinilai baik bagi pencitraan partai saat itu, tetapi pencapaian strategis berupa kemenangan capres di pilpres tak didapat. Selain itu, konvensi bisa membuka keran perkubuan yang mengancam soliditas partai ke depan.
Cacat Politik
Hanya, Golkar perlu mewanti-wanti diri jika Ical benar dicapreskan. Sejauh ini popularitas dan elektabilitasnya masih tertinggal dari Megawati atau Prabowo. Kalaupun hasil survei dari lembaga-lembaga yang selama ini memiliki kredibilitas menempatkan Golkar sebagai calon pemenang pemilu legislatif, faktanya pada pilpres, korelasi antara kemenangan partai dan kemenangan figur Golkar tidak mudah dirapatkan.
Ical memang memiliki sejumlah kele-bihan. Dia pernah duduk di pemerintahan, sama halnya dengan JK atau Akbar Tan-djung, dan hal itu bisa menjadi modal kecakapan. Dia juga memiliki penguasaan beberapa media dan modal besar. Namun, dia membawa bandul pemberat, akan ber-hadapan dengan ingatan kolektif publik terkait kasus Lapindo.
Publik menilai bahwa lumpur Lapindo seperti dosa tidak terampuni, terutama bagi korban. Publik juga memiliki ingatan negatif saat Ical pernah disangkakan terkait dengan kasus pajak yang melibatkan Gayus Tambunan. Terutama pada persoalan perusahaan-perusahaannya yang diduga terlibat .
Idealnya bagi Golkar, siapa pun capresnya adalah tokoh yang memiliki kemampuan elektoral (elective ability) yang bisa berbicara banyak dalam ruang kompetisi, meskipun ia bukan pemegang kuasa partai. Rapimnas dapat dipakai sebagai pergelaran konsolidasi untuk hal itu ketimbang harus memaksakan mencapreskan tokoh tertentu. Pengalaman Pilpres 2004 dan 2009 memperlihatkan bahwa capres yang diusung Golkar tak mampu merebut simpati rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar