Sabtu, 07 April 2012

Pendidikan dan Kebudayaan


Pendidikan dan Kebudayaan
Mohammad Abduhzen, Direktur Eksekutif Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
SUMBER : KOMPAS, 07 April 2012



Kembalinya ”kebudayaan” pada Kementerian Pendidikan Nasional telah menegaskan lagi bahwa pendidikan adalah jalan utama kebudayaan. Melalui pendidikan, seseorang mengalami proses pembudayaan dan lewat pendidikan pula sebuah bangsa mewujudkan kebudayaan seperti yang diinginkannya.

Disebut kebudayaan yang diinginkan karena kebudayaan bukan sekadar koleksi artefak dan tradisi untuk dilestarikan. Lebih dari itu, kebudayaan adalah respons manusia terhadap berbagai tantangan, kemudian memberi wujud baru pada pola-pola yang ada.

Pendidikan sebagai jalan kebudayaan tidak berarti bahwa dalam kurikulum persekolahan hadir mata pelajaran kebudayaan; atau pada nama lembaga pendidikan tertentu harus tercantum kata budaya/kebudayaan. Eksistensi pendidikan dalam keseluruhannya adalah, dan harus dirancang sebagai, proses pembudayaan. Dengan demikian, pendidikan niscaya merupakan bagian dari strategi pembangunan kebudayaan bangsa.

Meski konsep kebudayaan nasional belum begitu terang, menyaksikan situasi kebangsaan kita dewasa ini dengan berbagai kecenderungan masa depan yang ada, penyelenggaraan sistem pendidikan nasional harus difungsikan pertama-tama sebagai upaya penyadaran tentang status manusia: makhluk berkebudayaan.

Sejak lama berbagai agama mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk mulia, bahkan manusia dianggap sebagai wakil/citra Tuhan di muka bumi (khalifah fil ardl). Pada diri manusia terdapat banyak potensi—di antaranya akal kreatif dan kehendak bebas (free will) yang sejatinya hanya milik Tuhan—yang memungkinkannya membentuk kebudayaan dan karena itu ia berbeda dengan makhluk yang lain.

Tidak seperti tumbuhan dan hewan, kehadiran manusia di dunia ini bukan untuk sekadar bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Manusia datang untuk mengubah lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan martabat dirinya. Maka, manusia pun mencipta.

Karya menentukan muruah manusia. Apakah ia berkontribusi merawat dan memuliakan kehidupan atau sebaliknya merusak dan menghancurkannya.
Apabila dia memilih peran destruktif, kemanusiaannya akan jatuh ke derajat yang lebih rendah daripada kawanan hewan karena daya-daya yang dimiliki manusia dapat melahirkan kejahatan yang bersifat kreatif.

Para pelajar perlu disadarkan bahwa menjadi manusia artinya beramal, yaitu berkarya untuk kemaslahatan bersama.

Kedua, pendidikan sebagai proses pembudayaan harus menumbuhkan identitas nasional. Substansi dari identitas nasional adalah jawaban atas pertanyaan tentang siapa kita sebagai orang dan bangsa Indonesia serta apa yang membedakannya dengan ”dia” atau ”mereka” yang lain, yang bukan Indonesia.

Makna Kebangsaan Indonesia

Kebangsaan Indonesia, menurut Franz Magnis-Suseno (dalam Yudi Latif, 2011), memang bukan sesuatu yang terbentuk secara alami berdasarkan adanya satu bahasa dan satu budaya yang lalu terungkap dalam kesatuan organisatoris negara nasional. Kebangsaan Indonesia yang kita saksikan pada abad ke-21 ini adalah hasil sebuah proses nation building terus-menerus yang kalau tidak dipelihara akan pudar.

Pudarnya semangat nasionalisme sangat terasa dewasa ini, ditandai dengan semakin kaburnya identitas kebangsaan kita. Setiap mendengar kata ”Indonesia” atau mengatakan ”saya orang Indonesia”, nyaris tidak ada suasana esoteris yang muncul sebagai jati diri yang patut dibanggakan.

Terkadang melintas kenangan tentang keramahan, kesalehan, kebinekaan, kekayaan alam, Pancasila, dan heroisme, tetapi ingatan itu segera didekonstruksi oleh beragam fakta yang menegasikannya sehingga yang tersisa hanyalah kehampaan, juga keputusasaan. Kenyataan ini diperparah oleh Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) yang menyampaikan Pancasila dan UUD 1945 hanya sebatas dasar administrasi pemerintahan, bukan sebagai nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa.

Tantangan bagi dunia pendidikan adalah bagaimana menunjukkan identitas dan menumbuhkan kebanggaan nasional di tengah beragam paradoks yang ada: paradoks antara negeri kaya dan rakyat yang menderita; antara nilai-nilai ideal Pancasila dan praktik neoliberalisme yang menggurita; antara keramahan, kebinekaan dengan keberingasan, dan konflik sosial yang marak; antara kesalehan, keheroikan dengan kemunafikan, korupsi, dan keculasan para pemimpin.

Reformasi Pendidikan

Dunia pendidikan kita memerlukan konsepsi baru tentang identitas nasional untuk mengisi dan mengganti makna ”Indonesia” yang kini usang. Namun, mungkinkah kita memiliki konsepsi yang lebih baik sementara kenyataan dibiarkan buruk?

Ketiga, pendidikan harus diarahkan pada pembentukan pola pikir (mindset) bangsa. Serupa dengan Malaysia dahulu, problem terpenting dan tersulit bagi kemajuan bangsa Indonesia sekarang ini adalah pola pikir. Struktur berpikir bangsa ini centang-perenang seperti tampak pada sikap menerabas, yaitu menghendaki hasil segera tanpa mengindahkan prasyarat, prosedur, dan kerja keras. Kekacauan berpikir juga tergambar dari kebijakan pemerintah yang sering kali melantur dan tak realistis.

Modernisasi pikiran”, dengan mengubah terutama cara pandang terhadap kerja, itulah yang dilakukan oleh Mahathir Mohamad terhadap bangsanya pada awal 1970-an. Melalui kebijakan ekonomi dan pendidikan dalam gerakan ”Melayu Baru”, ia berhasil membangun mentalitas baru sehingga kinerja menjadi sebuah sistem nilai yang dianut oleh setiap anggota komunitas. Di antara buah yang penting dari perubahan tersebut adalah meningkatnya jumlah karya ilmiah para intelektual Malaysia.

Bangsa Indonesia dapat maju hanya jika kita mengubah pola pikir secara tepat. Selain perbaikan cara pandang terhadap kerja, mentalitas kita juga harus segera disembuhkan dari bilur-bilur keterjajahan. Fantasi keterjajahan telah membiasakan sikap tidak bertanggung jawab serta mendorong anak-anak negeri ini bangga menggerogoti uang negara.

Masalahnya, pendidikan yang kita harapkan dapat membentuk pola pikir merdeka justru kelanjutan dari apa yang didesain pemerintah kolonial untuk memperkukuh kesadaran kita sebagai inlander.

Kembalinya ”kebudayaan” pada Kementerian Pendidikan Nasional seyogianya menjadi momentum untuk mereformasi pendidikan kita secara total, fundamental, dan gradual sehingga benar-benar menjadi jalan lurus memperadabkan bangsa ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar