Kemandirian Industri Pertahanan
Andi Widjajanto, Dosen
Teknologi Senjata, FISIP Universitas Indonesia
SUMBER
: KOMPAS, 26 April 2012
Perkembangan industri pertahanan di
negara-negara Asia Timur menunjukkan adanya tiga model utama industri
pertahanan: kemandirian, produksi ceruk, dan model rantai logistik global.
Model kemandirian diterapkan oleh suatu
negara yang berambisi mendapatkan kemandirian pertahanan. Kemandirian
pertahanan ini diukur dari (1) kapasitas negara untuk menguasai teknologi
militer yang dibutuhkan untuk membuat sistem senjata, (2) kapasitas finansial
nasional untuk membiayai produksi sistem senjata, serta (3) kapasitas industri
nasional untuk memproduksi sistem senjata di dalam negeri. Model ini akan
tercapai jika suatu negara mampu memiliki minimal 70 persen kapasitas
teknologi, finansial, dan produksi sistem senjata.
Untuk mencapai kemandirian pertahanan, suatu
negara harus mengembangkan rencana strategis pertahanan jangka panjang.
Komitmen jangka panjang tersebut, misalnya, tampak dari rencana China untuk
memproyeksikan diri menjadi kekuatan hegemonik pada tahun 2050.
Model kedua adalah model produksi ceruk yang
cenderung diterapkan oleh negara yang berupaya mengurangi ketergantungan
senjata terhadap produsen luar negeri. Caranya dengan mengembangkan kapasitas
nasional untuk menguasai teknologi militer utama. Penguasaan teknologi militer
ini terutama diarahkan untuk membantu negara tersebut mengembangkan delapan
sistem senjata konvensional, yaitu (1) senjata kecil dan ringan, (2) tank kelas
utama, (3) kapal perang permukaan, (4) kapal selam, (5) pesawat tempur, (6)
helikopter serbu, (7) rudal, dan (8) sistem komunikasi dan penginderaan
militer.
Untuk menerapkan model ini, suatu negara
harus memiliki komitmen melakukan investasi ke sektor industri pertahanan,
terutama dengan berupaya mendapatkan transfer teknologi militer dari produsen
senjata yang mapan. Strategi ini, misalnya, secara efektif dilakukan Korea
Selatan untuk mengembangkan kapal perang permukaan, kapal selam, tank, dan pesawat
tempur.
Model rantai produksi global merupakan model
ketiga, yang cenderung dilakukan oleh negara-negara yang telah memiliki basis
teknologi militer yang mapan, tetapi tidak memiliki akses besar terhadap pasar
senjata internasional. Ketiadaan akses ini membuat negara-negara tersebut
melakukan proses rasionalisasi produksi senjata dengan cara mengintegrasikan
produksi senjatanya ke suatu konsorsium industri pertahanan global.
Rasionalisasi ini dilakukan dengan tiga
metode utama. Pertama, penciptaan konsorsium industri senjata di tingkat
regional atau global. Kedua, mobilisasi sumber finansial dari sektor swasta
lintas negara untuk membiayai investasi ke sektor industri pertahanan.
Ketiga,
penyebaran teknologi militer dari produsen senjata utama ke anggota konsorsium.
Model ini, antara lain, dilakukan oleh
Australia yang telah mengonsolidasikan Australian Defense Industry dengan
Thales (Perancis), Australian Aerospace Industry dengan EADS, dan Tenix Defense
dengan BAE (Inggris). Hal serupa dilakukan oleh Singapura dengan mengembangkan
kerja sama antara Thales dan Singapore Technologies Engineering (STEngg) untuk
membuat komponen-komponen sistem komunikasi dan penginderaan bagi kapal perang
Fregate kelas Lafayette.
Kerja sama ini tidak hanya menjadikan STEngg
sebagai bagian dari rantai produksi Thales, tetapi juga bagian dari rantai
produksi kapal perang Eropa yang memanfaatkan teknologi dari Thales.
Opsi untuk Indonesia
Dari tiga model yang ada, model kemandirian
merupakan model ideal untuk melakukan modernisasi pertahanan. Model ini hanya
bisa dicapai oleh negara-negara yang memiliki status atau berambisi menjadi
kekuatan utama dunia yang ditopang oleh postur militer yang besar.
Untuk dapat menerapkan model kemandirian,
empat strategi harus diterapkan Indonesia. Strategi pertama, merumuskan rencana
strategis pertahanan jangka panjang.
Rencana strategis ini harus bisa
menggambarkan tiga perencanaan utama. Pertama, evolusi kekuatan militer
Indonesia menjadi kekuatan utama di Asia Timur. Evolusi ini tidak saja menggambarkan
target pemenuhan kekuatan pertahanan minimal 2024, tetapi juga rencana
pengembangan postur pertahanan hingga 2050. Kedua, cetak biru revitalisasi
industri pertahanan yang berisi kebijakan umum pengembangan industri
pertahanan, strategi revitalisasi industri pertahanan 2024, dan program kerja
kemandirian industri pertahanan 2050. Ketiga, rencana pengadaan persenjataan
militer 2024 yang dipilah dalam bentuk rencana pengadaan 2012-2014, 2014-2019,
dan 2019-2024.
Strategi kedua, membentuk komitmen politik
anggaran jangka panjang untuk menjamin kesinambungan program pengembangan
industri pertahanan. Komitmen politik anggaran ini dilakukan dengan menetapkan
target alokasi anggaran pertahanan terhadap produk domestik bruto (PDB) yang
secara bertahap dinaikan dari 1 persen pada tahun 2014 menuju 2,5 persen pada
tahun 2024.
Komitmen politik anggaran ini juga harus
disertai perumusan kontrak-kontrak pengadaan jangka menengah yang bersifat
mega-proyek dari pemerintah ke industri pertahanan. Mega-proyek ini diarahkan
untuk membangun sistem senjata konvensional, seperti pesawat tempur, kapal
perang permukaan, kapal selam, tank, helikopter serbu, dan rudal, dalam jumlah
besar sehingga dapat memberikan kepastian dan kesinambungan proses produksi
untuk industri pertahanan nasional. Nilai nominal kontrak pengadaan ini juga
harus secara bertahap ditingkatkan dari 10 persen nilai seluruh pengadaan
senjata pada tahun 2014 menjadi minimal 30 persen pada tahun 2024.
Strategi ketiga, melakukan konsolidasi
industri pertahanan nasional dengan cara menetapkan dua konsorsium strategis:
konsorsium industri penerbangan nasional serta konsorsium industri pertahanan
dan maritim nasional. Kedua konsorsium ini harus membentuk rantai produksi
persenjataan militer nasional yang melibatkan industri nasional lain, termasuk
industri menengah-kecil.
Strategi keempat, merintis aliansi industri
pertahanan di tingkat regional dan global. Strategi ini memperbesar kemungkinan
bagi Indonesia untuk secara cepat mengadopsi teknologi militer terkini ke dalam
proses pengadaan persenjataan militer. Proses adopsi teknologi ini merupakan
metode untuk menerapkan model produksi ceruk yang dapat dijadikan tahapan
transisi untuk mencapai kemandirian pertahanan Indonesia.
Aliansi ini juga dibentuk untuk memperbesar
akses pasar senjata yang memungkinkan industri pertahanan nasional menjadi
bagian dari rantai produksi global. Metode ini mengandalkan penerapan model
rantai logistik global yang juga dapat dijadikan tahapan transisi bagi
pengembangan industri pertahanan nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar