Terobosan Diplomasi MP3EI
Tirta N Mursitama, Head, Institute for Business and Diplomatic
Studies,
Bina Nusantara
University
SUMBER : SINDO, 27 April 2012
SUMBER : SINDO, 27 April 2012
Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) akan berusia
satu tahun bulan depan sejak diluncurkan Mei 2011 lalu.
Dalam
kurun waktu sesingkat itu, tentu tidak bijaksana memberikan penilaian akhir
atas kesuksesan atau kegagalan program ini. Hal penting yang bisa dilakukan
adalah melihat perkembangan dan efektivitas program selama setahun terakhir
ini.
Implementasi
Sebagai sebuah upaya melakukan terobosan MP3EI perlu diapresiasi. Idenya baik, dengan tiga strategi utama yaitu pengembangan enam koridor ekonomi disesuaikan dengan kekayaan dan potensi daerah di koridor tersebut dan sekitarnya, memperkuat konektivitas ekonomi dan percepatan kemampuan iptek nasional. Delapan program utama yang meliputi 22 aktivitas ekonomi utama pun dikedepankan. Sebagai sebuah dokumen, pengemasannya sungguh bagus dengan ilustrasi menarik dan sentuhan artistikal. Yang menarik adalah klaim dokumen ini sebagai pendekatan breakthrough dan semangat “Not business as usual”.
Esensinya antara lain melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan (stakeholders) baik pemerintah di berbagai tingkatan dan pihak swasta menuju Indonesia Incorporated, perlu perubahan pola berpikir pelaku dan masyarakat, debottlenecking, dan pemberian insentif. Permasalahannya sekarang apakah hal tersebut tercermin dalam ranah implementasinya sejauh ini. Informasi terakhir MP3EI ditengarai berjalan lambat. Para pengusaha mengeluh karena tidak adanya insentif pajak, sehingga mereka enggan berpartisipasi dalam program- program MP3EI.
Bahkan, koordinasi antar kementerian dan lembaga pun masih menyeruak menjadi masalah klasik. Bila dipelajari lebih dalam antara lain ada tiga hal yang perlu dicermati. Pertama, tata kelola program yang masih dilakukan “as usual business”. Tim di tingkat pusat dan daerah masih didominasi kalangan birokrat. Bisa dibayangkan bagaimana melaksanakan terobosan dengan tata kelola yang tanpa terobosan, apalagi bila dengan jujur kita becermin pada kultur dan kinerja birokrasi kita yang kurang profesional dan berkelindan kepentingan politik.
Kedua, minimnya arahan yang jelas terkait dengan diplomasi ekonomi Indonesia di tataran praktis. Hal ini agak mengherankan ketika kebutuhan dana MP3EI tak kurang dari Rp4,6 triliun porsi sumber pendanaannya 51% berasal dari swasta, baik asing maupun nasional. Harus diakui bahwa sumber pendanaan mayoritas mau tidak mau berasal dari asing. Ketiga, aspek keberlanjutan program ini. MP3EI bisa menjadi legacy pemerintahan SBY yang dicanangkan pada periode kedua kepemimpinannya. Namun, memperhatikan panggung sejarah politik Indonesia, setiap pemimpin biasanya bernafsu untuk membuat konsep ‘baru’ yang kadang kali menafikan keberhasilan konsep/program terdahulu, MP3EI diragukan dapat menjadi sebuah legacy bila tanpa bukti nyata.
Fungsi Diplomasi
Untuk mengatasi hal yang pertama, pemerintah perlu berinisiatif membentuk sovereign wealth fund (SWF), sebuah holding company milik pemerintah yang mengelola dana dan bisnis-bisnis strategis untuk kepentingan negara. SWF ini dapat menjadi alternatif keberadaan BUMN strategis yang tak kunjung menguntungkan negara. SWF ini dikelola secara profesional dengan business mindset, dipimpin oleh CEO yang memiliki reputasi dan kompetensi mengelola bisnis kelas dunia.
Banyak negara telah lama menerapkan hal ini. Singapura contohnya, dengan Temasek-nya telah menggurita sendi-sendi bisnis strategis termasuk di Indonesia. Masalah kedua dapat diatasi dengan merevitalisasi fungsi diplomasi ekonomi yang lebih asertif. Dua hal yang bisa dilakukan diplomat kita yaitu berperan aktif dalam pembentukan rejim perdagangan, investasi dan keuangan internasional melalui jalur perundingan ekonomi multilateral. Hal ini seperti yang dicanangkan dalam dokumen MP3EI.
Hal kedua adalah memberikan muatan baru seorang diplomat dengan menyinergikan kekuatan high politics dan business dalam setiap misi diplomatiknya. Hal yang terakhir ini dapat merambah kepada ranah revitalisasi peran perwakilan republik Indonesia di seluruh dunia. Dengan kata lain, perlu dilakukan pemetaan profiling diplomat yang kita miliki saat ini dan harapan profil diplomat ideal seperti apa yang siap menjadi ujung tombak diplomasi Indonesia dalam situasi seperti ini.Termasuk di dalamnya adalah peranan para atase perdagangan, tenaga kerja dan kehutanan, dan lain-lain.
Di samping itu, proses bisnis di Kementerian Luar Negeri juga perlu direvitalisasi. Skema ini dapat pula dijalankan melalui public private partnership (PPP) dengan pembagian tanggung jawab yang adil dan saling menguntungkan. Kemitraan ini dapat dikembangkan untuk pembangunan infrastruktur, energi, pengolahan hingga jasa. Sudah tentu dengan komposisi kebutuhan dana yang diharapkan terpenuhi dari sektor swasta, maka selayaknya memberikan ruang manuver lebih besar pada swasta dengan tetap memperhatikan tata kelola korporasi yang baik.
Sementara persoalan ketiga masih harus dibuktikan seiring waktu. Bila pemerintah dapat memimpin orkestrasi percepatan ekonomi sampai 2014 dengan prestasi yang impresif, kemungkinan MP3EI akan berlanjut semakin besar. Bila tidak, konsep ini akan segera lenyap tak terdengar.
Semoga ke depan keluhan swasta yang malas terlibat dalam MP3EI karena tidak adanya insentif, tidak adanya guidelines konkret yang menyinergikan antara para diplomat dan kementerian lembaga di dalam negeri, pekerjaan rumah regulasi dan koordinasi bisa lebih diperbaiki. Jangan sampai kekhawatiran bahwa MP3EI sebuah ide inovatif yang diklaim sebagai not business as usual, but run as usual business benar-benar menjadi kenyataan. ●
Implementasi
Sebagai sebuah upaya melakukan terobosan MP3EI perlu diapresiasi. Idenya baik, dengan tiga strategi utama yaitu pengembangan enam koridor ekonomi disesuaikan dengan kekayaan dan potensi daerah di koridor tersebut dan sekitarnya, memperkuat konektivitas ekonomi dan percepatan kemampuan iptek nasional. Delapan program utama yang meliputi 22 aktivitas ekonomi utama pun dikedepankan. Sebagai sebuah dokumen, pengemasannya sungguh bagus dengan ilustrasi menarik dan sentuhan artistikal. Yang menarik adalah klaim dokumen ini sebagai pendekatan breakthrough dan semangat “Not business as usual”.
Esensinya antara lain melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan (stakeholders) baik pemerintah di berbagai tingkatan dan pihak swasta menuju Indonesia Incorporated, perlu perubahan pola berpikir pelaku dan masyarakat, debottlenecking, dan pemberian insentif. Permasalahannya sekarang apakah hal tersebut tercermin dalam ranah implementasinya sejauh ini. Informasi terakhir MP3EI ditengarai berjalan lambat. Para pengusaha mengeluh karena tidak adanya insentif pajak, sehingga mereka enggan berpartisipasi dalam program- program MP3EI.
Bahkan, koordinasi antar kementerian dan lembaga pun masih menyeruak menjadi masalah klasik. Bila dipelajari lebih dalam antara lain ada tiga hal yang perlu dicermati. Pertama, tata kelola program yang masih dilakukan “as usual business”. Tim di tingkat pusat dan daerah masih didominasi kalangan birokrat. Bisa dibayangkan bagaimana melaksanakan terobosan dengan tata kelola yang tanpa terobosan, apalagi bila dengan jujur kita becermin pada kultur dan kinerja birokrasi kita yang kurang profesional dan berkelindan kepentingan politik.
Kedua, minimnya arahan yang jelas terkait dengan diplomasi ekonomi Indonesia di tataran praktis. Hal ini agak mengherankan ketika kebutuhan dana MP3EI tak kurang dari Rp4,6 triliun porsi sumber pendanaannya 51% berasal dari swasta, baik asing maupun nasional. Harus diakui bahwa sumber pendanaan mayoritas mau tidak mau berasal dari asing. Ketiga, aspek keberlanjutan program ini. MP3EI bisa menjadi legacy pemerintahan SBY yang dicanangkan pada periode kedua kepemimpinannya. Namun, memperhatikan panggung sejarah politik Indonesia, setiap pemimpin biasanya bernafsu untuk membuat konsep ‘baru’ yang kadang kali menafikan keberhasilan konsep/program terdahulu, MP3EI diragukan dapat menjadi sebuah legacy bila tanpa bukti nyata.
Fungsi Diplomasi
Untuk mengatasi hal yang pertama, pemerintah perlu berinisiatif membentuk sovereign wealth fund (SWF), sebuah holding company milik pemerintah yang mengelola dana dan bisnis-bisnis strategis untuk kepentingan negara. SWF ini dapat menjadi alternatif keberadaan BUMN strategis yang tak kunjung menguntungkan negara. SWF ini dikelola secara profesional dengan business mindset, dipimpin oleh CEO yang memiliki reputasi dan kompetensi mengelola bisnis kelas dunia.
Banyak negara telah lama menerapkan hal ini. Singapura contohnya, dengan Temasek-nya telah menggurita sendi-sendi bisnis strategis termasuk di Indonesia. Masalah kedua dapat diatasi dengan merevitalisasi fungsi diplomasi ekonomi yang lebih asertif. Dua hal yang bisa dilakukan diplomat kita yaitu berperan aktif dalam pembentukan rejim perdagangan, investasi dan keuangan internasional melalui jalur perundingan ekonomi multilateral. Hal ini seperti yang dicanangkan dalam dokumen MP3EI.
Hal kedua adalah memberikan muatan baru seorang diplomat dengan menyinergikan kekuatan high politics dan business dalam setiap misi diplomatiknya. Hal yang terakhir ini dapat merambah kepada ranah revitalisasi peran perwakilan republik Indonesia di seluruh dunia. Dengan kata lain, perlu dilakukan pemetaan profiling diplomat yang kita miliki saat ini dan harapan profil diplomat ideal seperti apa yang siap menjadi ujung tombak diplomasi Indonesia dalam situasi seperti ini.Termasuk di dalamnya adalah peranan para atase perdagangan, tenaga kerja dan kehutanan, dan lain-lain.
Di samping itu, proses bisnis di Kementerian Luar Negeri juga perlu direvitalisasi. Skema ini dapat pula dijalankan melalui public private partnership (PPP) dengan pembagian tanggung jawab yang adil dan saling menguntungkan. Kemitraan ini dapat dikembangkan untuk pembangunan infrastruktur, energi, pengolahan hingga jasa. Sudah tentu dengan komposisi kebutuhan dana yang diharapkan terpenuhi dari sektor swasta, maka selayaknya memberikan ruang manuver lebih besar pada swasta dengan tetap memperhatikan tata kelola korporasi yang baik.
Sementara persoalan ketiga masih harus dibuktikan seiring waktu. Bila pemerintah dapat memimpin orkestrasi percepatan ekonomi sampai 2014 dengan prestasi yang impresif, kemungkinan MP3EI akan berlanjut semakin besar. Bila tidak, konsep ini akan segera lenyap tak terdengar.
Semoga ke depan keluhan swasta yang malas terlibat dalam MP3EI karena tidak adanya insentif, tidak adanya guidelines konkret yang menyinergikan antara para diplomat dan kementerian lembaga di dalam negeri, pekerjaan rumah regulasi dan koordinasi bisa lebih diperbaiki. Jangan sampai kekhawatiran bahwa MP3EI sebuah ide inovatif yang diklaim sebagai not business as usual, but run as usual business benar-benar menjadi kenyataan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar