Politik Minus Imajinasi
Arif Susanto, Pengajar
di Universitas Paramadina
SUMBER : KOMPAS, 28 April 2012
SUMBER : KOMPAS, 28 April 2012
Mencermati kompromi politik DPR yang
menghasilkan UU Pemilu, Kompas (13/4) secara retorikal bertanya, ”Demi bangsa
atau demi partai?” Gugatan tersebut masuk akal mengingat perubahan UU Pemilu
lebih mencerminkan akomodasi kepentingan partai-partai politik ketimbang kepentingan
publik lebih luas.
Berhadapan dengan situasi tersebut, politik
nasional membutuhkan semacam suntikan imajinasi. Imajinasi yang dibutuhkan
adalah suatu bayangan yang memperluas perspektif elite politik agar bersimpati
dan menimbang kepentingan publik saat mereka mengambil keputusan atau
kebijakan. Imajinasi serupa dapat menghindarkan politik dari kemungkinan
terlumpuhkan oleh prosedur kompromi transaksional di antara kepentingan sempit
para elite.
Kompromi
Politik
Di hadapan BPUPKI pada 1 Juni 1945, Soekarno
mengungkapkan pentingnya upaya bersama untuk menemukan suatu modus yang
melandasi Indonesia merdeka. ”Ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama
mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui,” ujar Soekarno. Dimuliakanlah
para pendiri Indonesia yang kemudian bermufakat tentang suatu negara ”semua
buat semua”, bukan buat golongan tertentu.
Terdapat suatu paradoks dalam keinginan
Soekarno untuk mencapai kesepahaman, tetapi tidak semata kompromis tersebut.
Persoalannya, mungkinkah paradoks semacam itu menjadi suatu jalan politik?
Chantal Mouffe memberi afirmasi atas hal itu
dalam The Democratic Paradox (2000). Suatu demokrasi yang berfungsi baik,
menurut Mouffe, butuh konfrontasi di antara posisi-posisi politik demokratis.
Ini menuntut perdebatan sejati tentang berbagai alternatif kemungkinan.
Pada kenyataannya, konsensus merupakan suatu
kebutuhan praktis bagi institusi demokrasi. Namun, akan selalu ada perbedaan
menyangkut bagaimana prinsip-prinsip harus diterapkan dalam institusi tersebut.
Perbedaan tersebut menjadi penting karena ketika batas yang menegaskan
pelaku-pelaku politik itu kabur, demikian Mouffe, di situ politik mengalami
penghancuran karena samarnya identitas politik.
Tantangan bagi demokrasi kemudian adalah
bagaimana mencapai tingkat kesepahaman tertentu tanpa menghapuskan perbedaan.
Jika kesepahaman koalisi unilateral tersebut hendak dihindari, alternatifnya
bukanlah transaksi kepentingan yang penuh konsesi kompromis. Sebaliknya, yang
dikehendaki adalah suatu model demokrasi dengan tingkat konflik moderat yang
memelihara keberagaman identitas kepentingan, tetapi tetap mampu meniti
konvergensi tertentu.
Dengan pemahaman tersebut, saya khawatir
proses pengesahan UU Pemilu adalah suatu langkah menuju lumpuhnya politik yang
hakiki. Kompromi politik yang dihasilkannya cenderung mencerminkan suatu
transaksi untuk mempertukarkan berbagai kepentingan partikular partai-partai
politik. Sistem pemilu mungkin ditukar ambang batas parlemen, alokasi kursi
dibarter dengan metode penghitungan perolehan kursi, begitu seterusnya.
Jika itu yang terjadi, kita tidak lagi
melihat partai politik sebagai pihak-pihak politik (dengan perbedaan dan
identitas kepentingan yang jelas) dalam suatu sistem demokrasi pluralistik.
Pertentangan telah dinetralkan melalui kompromi transaksional sehingga politik
tidak menjadi kontestasi alternatif gagasan-gagasan. Perdebatan sejati telah
dikalahkan oleh barter aturan sehingga politik tersuruk menjadi sekadar
transaksi kepentingan.
Dengan kebijakan yang kompromis, tak
mengherankan DPR terjebak oleh rutinitas mengubah UU Pemilu setiap lima tahun
demi mengakomodasi kepentingan sepihak partai politik.
Ketiadaan
Sensibilitas
Selain cenderung kompromis, proses menuju
pengesahan UU Pemilu juga cenderung elitis. Pemilu lebih dipandang sebagai
kepentingan partai politik. Konsekuensinya, pertimbangan-pertimbangan yang
lebih adil dan terbuka pada akhirnya terkalahkan oleh pertimbangan subyektif
politik praktis. Prioritas kepentingan partai-partai politik atas kepentingan
publik terasa ironis di tengah retorika elite politik yang hampir selalu
mengatasnamakan rakyat.
Sesungguhnya pemilu dapat menjadi instrumen
demokrasi dan perwujudan kedaulatan rakyat. Sebagai kepentingan segenap rakyat,
pemilu mempersyaratkan keterlibatan rakyat bukan semata sebagai pemilih pasif,
melainkan bahwa mereka turut aktif dalam deliberasi publik.
Jika pemilu dipahami sebagai salah satu
perwujudan deliberasi publik, sepatutnya pelibatan publik dalam pembahasan
rancangan UU Pemilu tidak sekadar penghias bibir yang penuh klise. Lagipula,
semakin luas keterlibatan publik (sejauh relevan), akan berkemungkinan memberi
perspektif yang lebih luas bagi para penentu keputusan. Dengan begitu, kiranya
fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan dapat dimainkan secara lebih optimum
oleh DPR dan partai politik.
Sebaliknya, ketika partikularitas elitis jadi
landasan bekerjanya sistem politik, sesungguhnya politik berjalan tanpa
imajinasi. Orientasi elite terbatas pada kepentingan sepihak mereka tanpa
sensibilitas terhadap kepentingan publik. Saya sungguh mencemaskan bahwa
politik tanpa imajinasi seperti itulah yang berlangsung dalam tawar-menawar
yang berujung kompromi politik pengesahan UU Pemilu.
Mengapa imajinasi jadi penting bagi politik?
Tak lain karena imajinasi memungkinkan rasa simpati. Tanpa sensibilitas atas
kepentingan publik, politik minus simpati kiranya jadi semata transaksi
kepentingan antarelite.
Bertolak dari pandangan Adam Smith tentang
kepatutan perilaku, saya memandang perlu untuk menyuntikkan gagasan tentang
imajinasi dan simpati ke dalam politik. Dalam The Theory of Moral Sentiments,
Smith menunjukkan bahwa rasa simpati, melalui imajinasi, dapat membawa kita
pada bayangan tentang situasi orang lain. ”Seolah kita merasakan kepedihan yang
sama, seolah kita merasuki tubuhnya, kemudian menjelma menjadi dirinya dan
lantas membayangkan apa yang menimpanya, bahkan merasakan sesuatu yang meskipun
pada tataran yang berbeda,” demikian Smith (2004:12) menjelaskan rasa simpati.
Imajinasi dan simpati terhadap kepentingan
publik adalah kebutuhan para anggota DPR jika mereka sungguh-sungguh wakil
rakyat. Sensibilitas terhadap kepentingan publik dapat mendasari pengambilan
kebijakan yang diorientasikan pada pemenuhan kepentingan bersama tersebut.
Pada lain sisi, imajinasi dan simpati juga
memungkinkan konformitas dalam pengambilan keputusan. Keduanya membuka jalan
bagi pemahaman orang terhadap keberagaman dan prioritas pandangan sehingga
terbentuk kesepahaman. Alih-alih berkompromi melalui barter aturan, perluasan
perspektif semacam itu kiranya akan mendorong suatu permufakatan
inter-subyektif.
Terakhir, jika benar bahwa negara ini
didirikan bukan untuk memenuhi kepentingan golongan tertentu, seandainya memang
negara ini berlandaskan prinsip semua untuk semua; kiranya para elite politik
perlu mengembangkan imajinasi politik mereka tentang kepentingan publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar