Delayatisasi Hutan Adat
Sukirno, Dosen
Hukum Adat dan Antropologi Hukum Undip
SUMBER
: KOMPAS, 30 April 2012
Tanggal 13-14 Maret lalu, Kompas memberitakan
tersingkirnya masyarakat Dayak Punan di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur,
karena diserobot perusahaan HPH. Sebetulnya peristiwa ini banyak dialami
masyarakat adat lainnya.
Di antaranya masyarakat Dayak Benuaq di Kutai
Barat, Kalimantan Tengah. Juga suku Anak Dalam di Jambi, dan masyarakat hukum
adat di Serawai Semidang Sakti di Kabupaten Seluma, Bengkulu.
Hutan keramat (Rimba Puaka) Penyabungan dan
Panguanan di Kecamatan Rakit Kulim yang dilestarikan Patih Laman dari suku
Talang Mamak di Indragiri Hulu, Riau, juga menjadi hutan sawit. Padahal, Patih
Laman mendapatkan penghargaan Kalpataru dari Presiden Megawati Soekarnoputri
tahun 2003. Di tingkat internasional suku Talang Mamak dan Patih Laman mendapat
WWF Award pada 1999 di Kinibalu, Malaysia.
Kekayaan sumber daya alam yang melimpah
memang belum menjamin kesejahteraan masyarakat lokal. Pada 2005 ada 80,07
persen dari 2,3 juta penduduk Papua yang hidup miskin. Di Kalimantan, pada
Maret 2007 tercatat ada 1.352.900 penduduk miskin (Kompas, 21/2/2008).
Penelitian Centre for International Forestry Research (Cifor) tahun 2001
menemukan 48,8 juta jiwa tinggal dalam hutan negara dan 10,2 juta jiwa dari
jumlah itu hidup miskin. Selain itu, ada 20 juta jiwa tinggal di desa dekat
hutan dan 6 juta jiwa di antaranya miskin. Luas hutan Indonesia 133,7 juta
hektar.
Penyebab kemiskinan ada dua. Pertama,
pengakuan semu negara terhadap hak ulayat, khususnya hutan adat yang dikuasai
masyarakat hukum adat. Kedua, salah penafsiran pemerintah (pusat dan daerah)
mengenai konsep hak menguasai negara.
Pengakuan Semu
Hutan adat adalah salah satu bagian dari hak
ulayat masyarakat hukum adat, berfungsi sebagai lebensraum dan cadangan
penghidupan masa depan. Sebagai sumber penghidupan, masyarakat hukum adat
berkewajiban menjaga fungsi dan kelestarian hutan. Kearifan lokal ini terbukti
mampu menjaga kelestarian lingkungan sehingga diakui dalam UU Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Secara yuridis, hak ulayat termasuk hutan
adat diakui dalam Pasal 18b Ayat (2) UUD 1945, Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), dan beberapa pasal yang
menyinggung hutan adat dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 seperti Pasal 1 Angka 6,
Pasal 5, Pasal 37, Pasal 67, serta penjelasan Pasal 67.
Sekilas, peraturan perundangan kita telah
mengakui eksistensi hak ulayat. Namun, secara umum masih terjadi pengakuan semu
(pseudo-recognition) atau pengakuan setengah hati. Semu, karena pengakuan
disertai dengan syarat yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah dan tidak sesuai
dengan perkembangan instrumen internasional.
Pengakuan bersyarat ini bak melepaskan anak
kambing dari perangkap, tetapi tetap memegangi ekornya. Pengakuan bersyarat
UUPA yang diikuti UU Kehutanan dan amandemen UUD 1945 dilandasi pemikiran dari
pembentuk UUPA yang menganggap hak ulayat akan segera hilang dan prasangka buruk
(prejudice) terhadap hak ulayat yang dianggap akan menghambat pembangunan.
Perspektif itu tampak pada Penjelasan Umum Bagian II Angka 3 UUPA.
Ahli hukum agraria, Boedi Harsono (2003),
juga menyatakan keberadaan hak ulayat tidak perlu diatur karena akan lenyap
dengan sendirinya. Namun, mencuatnya berbagai kasus tanah hak ulayat
membuktikan bahwa hingga 52 tahun sejak UUPA diundangkan (1960), hak ulayat itu
masih ada.
Tidak selamanya hak ulayat menghambat
pembangunan, Pabrik Semen Padang, misalnya, didirikan di atas tanah ulayat
masyarakat Minangkabau.
Pengakuan bersyarat tersebut tidak lepas dari
Konvensi ILO 107 tahun 1957 yang menganut prinsip integrasionis, bahwa
masyarakat adat akan berkembang menjadi masyarakat modern. Konvensi ini
diratifikasi pemerintah kita.
Namun, dalam perkembangannya, konvensi ini
diperbarui dengan Konvensi ILO 169 tahun 1989 yang memberikan kebebasan kepada
masyarakat adat untuk menentukan nasib (self-determination).
Pasal 3 Deklarasi PBB tentang Hak-hak
Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous
Peoples) yang disahkan Sidang Umum PBB tanggal 13 September 2007 juga
menegaskan prinsip penentuan nasib sendiri, di mana Indonesia termasuk salah
satu yang menandatangani. Sayang, hal ini oleh sebagian orang dipahami secara
keliru karena kekhawatiran adanya negara dalam negara.
Kecemasan itu tidak perlu terjadi kalau kita
melihat studi kolaboratif antara AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara),
ICRAF, dan Forest Peoples Programme
pada 2002-2003, yang antara lain menyimpulkan perlunya otonomi komunitas bagi
masyarakat adat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan
itu penting untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat, terutama dengan
segera membentuk UU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
sebagaimana diamanatkan Pasal 18b Ayat (2) UUD 1945.
Salah Tafsir HMN
Salah tafsir hak menguasai negara ini
berlangsung sejak pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan peraturan
perundang-undangan baru di bidang agraria, yaitu Agrarische Wet dan Agrarische Besluit. Dalam Pasal 1 Agrarische Besluit (Stb 1870 Nomor 118)
dinyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya
merupakan tanah milik (domain) negara, atau domain verklaring.
Di Belanda ada dua kubu yang menafsirkan
domain negara secara luas dan secara sempit. Mazhab Utrecht menyebut domain negara mengandung arti negara berwenang
untuk menguasai semua tanah bumiputra (orang Indonesia asli) yang tidak diolah
(hutan, lahan kosong, dan tanah telantar). Mazhab Leiden yang dimotori Van Vollenhoven menginginkan penafsiran domain
negara secara sempit.
Dalam praktik, pejabat-pejabat Belanda
menggunakan interpretasi sangat luas terhadap domain negara (Marjanne
Termorshuizen-Arts, 2010:53).
Setelah kemerdekaan, dengan dalih menghapus
dualisme dengan hukum agraria pada masa kolonialisme Belanda, domain verklaring dicabut, diganti dengan asas
Hak Menguasai Negara yang mengacu pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
Makna ”dikuasai”
oleh negara berbeda dengan ”dimiliki”
sebagaimana dipahami dalam domain negara pada masa penjajahan. Di sini negara
berkedudukan sebagai badan publik, bukan sebagai perseorangan yang memiliki
tanah. Kedudukan ini dijelaskan dalam Pasal 2 UUPA.
Dalam praktik, para pejabat pemerintah
menafsirkan tanah sebagai hak milik negara (HMN) selama tidak ada hubungan yang
erat antara masyarakat hukum adat dan tanah hak ulayatnya. Ini sebenarnya tidak
beda dengan penafsiran asas domain negara secara luas pada zaman penjajahan
Belanda sehingga marak konflik tanah hak ulayat. Peneliti Indonesia asal
Belanda, Herman Slaats (2002), menyimpulkan, domain verklaring tidak hilang, tetapi berevolusi menjadi HMN.
Pemaknaan HMN secara luas menafikan hutan
adat. Ini karena penafsiran Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dipenggal pada frase ”dikuasai oleh negara” dan tidak
diteruskan pada frase ”dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Maka, penyelenggara negara perlu
mengembalikan segala kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan hutan adat pada tujuan pembentukan negara: untuk melindungi dan
memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar