Sabtu, 28 April 2012

Tongkat Membawa Rebah


Tongkat Membawa Rebah
Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 28 April 2012


Tongkat membawa rebah. Ungkapan kuno yang merupakan salah satu bentuk ”kebijakan lokal” inilah yang secara instan menyeruak ke dalam pikiran ketika membaca keterlibatan sejumlah ”oknum” TNI dalam anarkisme geng motor rambut cepak—populer disebut GMRC—di Jakarta, pertengahan April.

Tongkat membawa rebah juga terjadi ketika pada 21 April sejumlah anggota Kostrad terlibat bentrok dengan beberapa aparat Brimob di Gorontalo. Kasus Gorontalo ini menambah panjang daftar insiden di antara oknum Polri dan TNI di Tanah Air.

Mengapa tongkat membawa rebah? Tak lain karena aparat TNI dan Polri yang mestinya menjaga ketertiban dan keamanan justru terlibat dan melanggar hukum; membikin onar dan menciptakan rasa takut pada masyarakat. Masalahnya bukan hanya karena mereka masing-masing punya seragam beraura tertentu, tetapi lebih-lebih lagi karena punya senjata yang dapat digunakan untuk saling menghancurkan.

Meski mereka yang terlibat sering disebut ”oknum”, esprit de corps membuat masalahnya tidak sederhana. Dialog bahkan mungkin juga kesepakatan perdamaian pada tingkat pemimpin kelihatannya hanya mampu meredam gejolak, tetapi masalah pokok yang terpendam di antara aparat TNI dan Polri tampaknya tetap bertahan, menjadi hal laten yang bisa meledak seketika di tengah masyarakat.

Puncak Gunung Es

Apa jadinya negara-bangsa ini jika tongkat membawa rebah? Padahal, guna utama tongkat adalah menyangga tubuh atau entitas negara-bangsa yang terlihat lemah dalam penegakan ketertiban, keamanan, dan hukum. Jika tongkat penyangga telah terlibat dalam berbagai bentuk pelanggaran ketertiban dan hukum, bisa dipastikan tubuh dan negara-bangsa yang disangganya juga kacau-balau, bahkan bisa roboh. Tinggal soal waktu belaka.

Keadaannya lebih runyam karena kasus tongkat membawa rebah di kalangan Polri dan TNI hanyalah puncak gunung es yang menyimpan potensi laten yang sangat besar di Tanah Air. Selain TNI dan Polri, sejumlah ”tongkat” lain yang menyangga negara-bangsa Indonesia juga memperlihatkan gejala sama.

Kasus tongkat membawa rebah terlihat, misalnya, dalam tindakan ”oknum” jaksa dan hakim yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan, tetapi justru melanggar hukum dengan menerima suap dan merekayasa keputusan pengadilan. Keadaan ini menimbulkan sinisme dan frustrasi masyarakat luas. Bahkan, dalam kasus tertentu mendorong kalangan yang terlibat perkara di pengadilan menegakkan hukumnya sendiri, mengamuk, dan merusak fasilitas pengadilan.

Meski sama-sama tongkat membawa rebah, kasus pelanggaran ketertiban dan hukum di kalangan oknum Polri dan TNI mengandung lebih banyak reperkusi yang langsung dirasakan masyarakat. Jika oknum jaksa dan hakim membuat rebah tongkat penyangga hukum ”hanya” di lingkungan pengadilan, sebaliknya pelanggaran hukum ”oknum” Polri dan TNI sering terkait langsung dengan masyarakat luas seperti dalam kasus GMRC. Dalam hal ini, sekali lagi masyarakat tidak berdaya.

Rezeki Proyek

Latennya gejala tongkat membawa rebah dalam bentuk konflik dan kekerasan di antara oknum Polri dan TNI banyak terkait dengan masalah pokok yang belum terselesaikan sejak tanggalnya doktrin dan praksis dwifungsi ABRI di masa Presiden Abdurrahman Wahid (2001). Kembali ke barak, Polri terpisah dari TNI, dan Polri menjadi penanggung jawab keamanan dan ketertiban pertama dan utama.

Kembalinya TNI ke barak bukan hanya berdampak pada nyaris lenyapnya aparat TNI berseragam di ranah publik, melainkan juga menciutnya bidang garapan mereka. Semua unit usaha dan yayasan yang pernah dimiliki ABRI (kini TNI) secara bertahap disapih dan jadi independen. Hasilnya, sumber rezeki yang dapat meningkatkan kesejahteraan anggota TNI berkurang. Mereka kini sepenuhnya bergantung pada gaji dan tunjangan pas-pasan.

Sementara, Polri berhadapan dengan tugas keamanan dan ketertiban yang kian rumit, seperti terorisme dan kejahatan transnasional. Hasilnya, Polri mendapat kian banyak anggaran dan ”rezeki proyek” dari APBN dan bantuan internasional. Tak jarang Polri mengajak TNI merespons gejala ini.

Realitas seperti ini mendorong peningkatan ”kecemburuan” sosial-ekonomi di kalangan TNI. Pada saat yang sama mereka tak punya banyak kegiatan dan lebih banyak diam di barak. Kepincangan status sosial-ekonomi dan rezeki ini harus segera diatasi pemerintah dan DPR. Selama kesejahteraan anggota TNI tidak membaik, selama itu pula potensi kemarahan tetap tersimpan.

Untuk memanfaatkan waktu kosong, anggota TNI dapat dikaryakan dalam berbagai bidang, tanpa harus kembali kepada dwifungsi ABRI tempo dulu. Tugas kekaryaan dapat diselenggarakan dalam bentuk program ad hoc semacam TNI Masuk Desa atau TNI Masuk Kota; bahkan dalam bentuk program lebih permanen untuk pembangunan sosial-ekonomi masyarakat dan anggota TNI sendiri. Dengan begitu, pemulihan kembali harkat dan martabat TNI dapat dilakukan. Ini sekaligus mengurangi—jika tidak menghilangkan sama sekali—bahaya laten ”tongkat membawa rebah” akibat kekerasan di antara oknum TNI dan Polri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar