Harga BBM dan Konstitusi
M Kholid Syeirazi, Sekretaris
Jenderal PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
SUMBER
: KOMPAS, 26 April 2012
Dewan Perwakilan Rakyat, Maret lalu, akhirnya
meminta pemerintah untuk menunda kenaikan harga BBM. Harga BBM batal naik per 1
April 2012, tetapi pemerintah diizinkan menaikkan harga BBM jika harga minyak
mentah Indonesia (ICP) dalam enam bulan menembus rata-rata 120,75 dollar AS per
barrel.
Jika dihitung sejak diputuskan, pemerintah
baru boleh menaikkan harga BBM pada 31 Agustus 2012. Sejumlah kalangan menilai
penambahan Ayat (6A) pada Pasal 7 UU APBNP 2012 sebagai inkonstitusional.
Dipastikan ayat ini akan dimohonkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi oleh
sejumlah kalangan.
Putusan MK
Pada 21 Desember 2004, MK membacakan putusan
judicial review UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam amarnya, MK
membatalkan tiga pasal dalam UU Migas, yaitu Pasal 12 Ayat (3), Pasal 22 Ayat
(1), dan Pasal 28 Ayat (2). Terkait harga BBM, Pasal 28 Ayat (2) yang berbunyi,
”Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar,” dinyatakan batal dan tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat.
MK sependapat dengan dalil pemohon bahwa
liberalisasi harga BBM/BBG dapat mengancam hak rakyat atas harga yang
terjangkau (affordable price). Karena itu, campur tangan pemerintah dalam
kebijakan penentuan harga harus menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang
produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak.
Pasal 28 Ayat (2) yang mengutamakan mekanisme
persaingan dan baru kemudian campur tangan pemerintah tidak menjamin makna
prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu
mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah. Menurut MK, seharusnya
harga BBM dan gas bumi dalam negeri ditetapkan pemerintah dengan memperhatikan
kepentingan golongan masyarakat tertentu.
Poin putusan MK terhadap Pasal 28 Ayat (2)
menggarisbawahi dua hal. Pertama, harga BBM/BBG harus ditetapkan pemerintah
dengan memperhatikan golongan masyarakat tidak mampu. Kedua, subsidi adalah hak
rakyat sebagai pemilik kedaulatan sumber daya alam.
Sebagai penjaga dan penafsir akhir
konstitusi, putusan MK bersifat final dan mengikat. MK telah meletakkan pagar
yang tidak boleh dilompati dalam setiap kebijakan penentuan harga sektor
produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Namun, tidak lama setelah
putusan MK dibacakan, pemerintah menerbitkan kebijakan yang melompati pagar
putusan MK.
Pelepasan harga BBM ke mekanisme pasar telah dinyatakan
terlarang, tetapi pemerintah justru menerbitkan Perpres No 55/2005 tentang
Harga Jual Eceran BBM Dalam Negeri yang menjadi basis bagi rezim liberalisasi
harga BBM. Perpres No 55/2005 Pasal 9 Ayat (1) menyatakan, ”Harga jual eceran
BBM disesuaikan dengan harga keekonomian yang dapat berupa kenaikan atau
penurunan harga.” Pasal 1 Ayat (5) berbunyi, ”Harga keekonomian adalah harga
yang dihitung setiap bulan berdasarkan MOPS rata-rata pada periode satu bulan
sebelumnya ditambah 15 persen (lima belas per seratus).”
MOPS (Mids Oil Platts Singapore) adalah harga
minyak di pasar spot Singapura. Menyandarkan harga keekonomian pada MOPS sama
halnya dengan menggunakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan
penghitungan subsidi BBM. MOPS merupakan jantung dari rezim liberalisasi harga
BBM yang terlarang menurut putusan MK. Terkait dengan terbitnya perpres
tersebut, Ketua MK waktu itu, Jimly Asshiddiqie, mengirim surat kepada Presiden
yang intinya mengingatkan pemerintah agar memperhatikan dan melaksanakan putusan
MK. Perpres No 55/2005 diingatkan berpotensi melanggar konstitusi karena
bersendi pada rezim liberalisasi harga BBM yang sudah dinyatakan batal oleh MK.
Namun, pemerintah bergeming, terlebih setelah
MK menolak uji materi Perpres No 55/2005 dengan alasan penetapan harga jual
eceran BBM adalah soal kebijakan pemerintah yang tidak tunduk pada perilaku
hakim. Sejak saat itu, kebijakan pemerintah soal harga BBM sebenarnya sudah
melompati pagar konstitusi. Pasal 28 Ayat (2) UU Migas dinyatakan batal, tetapi
kebijakan harga BBM yang diambil pemerintah membelakangi putusan MK.
Perpres No 55/2005 telah direvisi dua kali.
Pertama melalui Perpres No 9/2006 dan terakhir melalui Perpres No 15/2012. Dua
Perpres pengganti ini sama sekali tidak merombak patokan MOPS sebagai basis
rezim liberalisasi harga BBM.
Ayat Durhaka?
DPR telah memutuskan menambah Ayat (6A) pada
Pasal 7 UU APBN Perubahan 2012. Kandungan ayat ini sebenarnya senapas dan
sebangun dengan rezim liberalisasi harga BBM. Ayat ini mengizinkan pemerintah menaikkan
harga BBM jika ICP (Indonesia Crude Price)
naik rata-rata 15 persen dalam enam bulan. ICP adalah harga minyak mentah
Indonesia yang ditetapkan berdasarkan formula Platts (50 persen) dan RIM (50
persen). Platts dan RIM adalah dua lembaga independen yang menyediakan data
harga minyak untuk pasar Asia Pasifik dan Timteng. Gabungan informasi dua
lembaga itu ditetapkan sebagai ICP.
Dengan kata lain, ICP adalah harga minyak
mentah Indonesia yang mencerminkan harga minyak mentah di pasar dunia.
Menggunakan ICP sama dengan menggunakan patokan harga pasar yang terlarang
menurut putusan MK. Karena itu, sebagian kalangan menyebut ayat ini
inkonstitusional dan durhaka terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 33. Uji materi
yang akan ditempuh sekelompok kalangan merupakan langkah hukum yang tepat. Dan,
jika konsisten dengan putusan yang pernah dibacakannya pada 2004, MK akan
dengan mudah menarik benang merah Ayat (6A) Pasal 7 UU APBNP 2012 ini dengan
Pasal 28 Ayat (2) UU No 22/2001 yang telah dinyatakan inkonstitusional.
Seandainya uji materi ini dikabulkan, pemerintah tidak boleh menggunakan harga
pasar sebagai basis penghitungan biaya produksi, harga jual, dan subsidi BBM.
Pemerintah harus kembali kepada acuan lama, yaitu cost + fee dan bukan MOPS +
alpha. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar