Senin, 30 April 2012

Transparansi dan Akuntabilitas Partai


Transparansi dan Akuntabilitas Partai
Muhammad Aziz Hakim, Magister Ilmu Hukum Alumnus Universitas Indonesia,
Pengurus Pimpinan Pusat GP Ansor
SUMBER : SUARA MERDEKA, 30 April 2012


SETELAH melalui perdebatan panjang dan dipungkasi voting, RUU Pemilu resmi menjadi undang-undang per 11 April 2012. RUU Pemilu itu senyatanya tidak memiliki perbedaan signifikan dari UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Perbedaan paling kentara hanyalah naiknya besaran parliamentary threshold menjadi 3,5% dengan patokan suara sah nasional. Poin itu satu-satunya patokan dalam menentukan keikutsertaan partai dalam penghitungan kursi DPR, serta DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota.

Saat ini pamor partai di mata rakyat berada di titik nadir. Survei CSIS yang dilansir beberapa waktu lalu menyebut hanya 22,4 persen responden menganggap kinerja partai cukup baik, dan 77,6 persen berpandangan sebaliknya. Realitas ini menunjukkan bahwa partai harus kerja keras mengembalikan citra dan pamornya.
Sayang, RUU Pemilu yang baru saja disahkan menjadi UU oleh DPR tidak memberikan daya paksa kepada partai untuk mengubah perilakunya. Harapannya tinggal pada inisiatif partai itu untuk berubah. Langkah politik yang mendasar itu justru bisa menjadi peluang besar bagi partai untuk menarik simpati rakyat yang berujung pada kembali dipilihnya partai itu pada pemilu mendatang.

Penurunan pamor partai di mata rakyat bukan tanpa alasan karena ada beberapa penyebab pertumbuhan sikap antipartai. Pertama; missing link atau inkonsistensi antara ideologi-platform partai dan sikap politik. Kedua; tiadanya sistem baku perekrutan kader dan kaderisasi. Realitasnya, banyak partai ’’menaturalisasi’’ kader dengan lebih mendasarkan pada pertimbangan kepentingan dan pendanaan.

Menguji Kedekatan

Ketiga; fundraising partai yang ’’gelap’’. Faktor pendanaan adalah masalah klasik yang menjadi penyakit seluruh parpol. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 menyebutkan bahwa sumber keuangan parpol berasal dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari APBN/ APBD.

Keempat; perilaku korup kader partai. Faktor inilah yang paling mempengaruhi degradasinya kepercayaan rakyat terhadap partai. Hampir semua partai menyumbangkan kadernya sebagai aktor perilaku korup dan meringkuk di hotel prodeo.

Langkah cerdas untuk keluar dari tumpukan problem itu adalah kesiapan menjadi partai ’’gila’’, artinya berani keluar dari pakem dan siap menabrak kebiasaan. Misalnya pertama; memublikasikan laporan belanja politik partai secara periodik. Belanja politik ini menyangkut berapa kali memasang iklan baik di televisi maupun media cetak/ internet, lengkap dengan besaran biaya yang dikeluarkan.

Kedua; memublikasikan donatur kegiatan/belanja politik partai secara periodik. Langkah ini memang tidak biasa, bahkan bisa dianggap aneh atau gila, dalam sistem politik Indonesia kini. Meskipun demikian, langkah ini adalah terobosan dahsyat bagi terciptanya transparansi pendanaan politik partai. Pemublikasiannya pun dapat melalui website partai atau media massa nasional.

Ketiga; segera mengumumkan calon anggota parlemen dalam tiap daerah pemilihan (dapil). Meskipun pemilu masih dua tahun lagi, langkah ini layak ditempuh. Manfaatnya adalah memantapkan pola kaderisasi sekaligus memberikan kepastian bagi kader-kader partai mengenai jenjang karier mereka. Di samping itu, sebagai media uji kompetensi dan uji kedekatan kader dengan konstituen calon pemilihnya.
Tiga langkah itu setidaknya dapat mengangkat kembali pamor partai di mata rakyat. Melunturnya kepercayaan  terhadap partai niscaya kembali tumbuh. Memilih partai ’’gila’’ seperti ini dalam pemilu mendatang juga pilihan gila namun bijak sekaligus cerdas.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar