Getar Sajak-Sajak Anwar
Alex R Nainggolan, Penikmat Sastra, Bermukim di Poris Plawad,
Tangerang
SUMBER
: MEDIA INDONESIA, 28 April 2012
GETAR
sajak-sajak Chairil Anwar, penyair besar, masih terasa sampai sekarang, 63
tahun setelah kepergiannya. Penyair yang meninggal pada 28 April 1949 itu
mewariskan bait kata-kata yang `mengabadi', acap menggaung--jauh dalam rentang
jarak umur yang dimilikinya, 27 tahun. Kata-kata dalam sajaknya seperti terus
bersemayam di dalam benak.
Ia,
sebagai pelopor angkatan 45, yang ditahbiskan HB Jassin, seperti tak pernah
lekang dalam ingatan. Untuk hal yang satu ini, Milan Kundera agaknya bisa jadi
salah, sebab Anwar terus diingat dan tak mudah dilupakan. Nyatanya, manusia
(baca: khalayak sastra Indonesia) telah mampu untuk melawan lupa. Anwar, dengan
sajak-sajaknya, masih tetap lekat dalam ingatan.
Sajak-sajaknya
memang mandiri, sejumlah kata-kata asli yang juga memberdayakan kemurnian
sebuah puisi. Mulanya lewat sajak Aku Anwar memang bergerak dalam ranah
pribadi, hanya dalam getir perasaan. Pun dalam sajak Nisan ia lebih bertumpu
pada hubungan manusia dengan manusia, entah dalam persoalan asmara ataupun
lainnya.
Sejumlah
sajak cintanya tidak picisan. Sajak itu tegar, tapi tetap digelayuti banyak
getar sehingga saat membacanya ada semacam debar yang tak bisa dirumuskan.
Padanan diksi yang apik membuat sajak-sajaknya tak lagi memiliki celah. Ia
membelah (memangkas habis) semua kepanjangan kalimat, membuat kata-kata begitu
rapat, sekaligus akrab. Anwar pun seperti menguliti selapis demi selapis sakit
yang dimilikinya. Ia menyentuh kedalaman kata itu sendiri.
Simak
Sajak Putih. Bagi saya, itu sajak
yang begitu tabah, yang mampu `menyihir' di beranda pembukanya: bersandar pada tari warna pelangi/kau
depanku bertudung sutra senja/di hitam matamu kembang mawar dan melati/harum
rambutmu mengalun bergelut senda//.
Terasa
ada `gaung' yang tumbuh dalam sajaknya. Kata-kata yang memadat, seperti
bergema, memantul-mantul, dan membangunkan kesadaran diri dari dalam. Untuk
itu, saya setuju dengan Acep Zam-Zam Noor, penyair asal Tasikmalaya, jika
ukuran puisi yang baik ialah bulu kuduk. Jika dapat membuat bulu kuduk
bergetar, puisi itu memang baik. Puisi tersebut bisa membuat segala indra tubuh
tetap bergolak.
Itu
sebagaimana yang dicatat Sutardji Calzoum Bachri. Dalam menyair, Anwar selalu
bersungguh-sungguh (Isyarat¸ Indonesiatera, hal 387). Kerja kepenyairannya
begitu serius. Untuk mencari satu kata dalam sajaknya, ia membutuhkan waktu
yang lama, dengan demikian terasa totalitasnya. Begitu besar energi yang
ditempuhnya untuk merampungkan sebuah sajak. Dengan demikian, sajak-sa jaknya
dipenuhi energi, tidak lapuk oleh usia, dan acap membahana.
Menurut
Sutardji dalam Wawancara Imajiner dengan
Chairil Anwar, bagi seorang penyair menulis sajak itu pekerjaan paling
serius, paling sulit, dan paling berkeringat. Apabila ada yang bilang menulis
sajak itu gampang, ya, memang gampang kalau menulis sajak itu tujuannya untuk
lucu-lucu, untuk beraneh-aneh, sekadar perintang waktu. Oleh sebab itu,
kedudukan penyair yang bersikap menggampangkan puisi juga tersepelekan dalam
kancah perpuisian.
Sikap Penyair
Chairil
Anwar ialah seorang penyair yang mempunyai sikap. Ia seorang pribadi yang
teguh, yang cenderung mengikuti kata hatinya. Kebenaran yang dirasakan, baginya,
memang terkadang tidak be itu mengasyikkan bagi kehidupannya sendiri. Hal itu
dapat dilihat dalam sejumlah sejarah hidupnya yang bohemian, cenderung
urakan-yang juga membuatnya, sebagaimana yang ditulis Sapardi Djoko Damono,
sebagai lambang seniman di Indonesia.
Sikapnya
dengan keseriusan terhadap puisi pula yang membuatnya bisa melampaui apa-apa yang
digagas sebelumnya. Itu melewati seluruh pemikiran zamannya. Ia menulis sajak
bagaikan sebuah ladang perburuan kata. Ia penyair yang menuliskan sajaknya
dengan keringat dan air mata. Ia pun fokus pada setiap penciptaannya.
Demikianlah, membaca Anwar ialah membaca sajak-sajak yang tertib kata-kata.
Sebagaimana
yang pernah ditulis Hasif Amini, `Puisi,
tenaga rahasia kata yang bangkit dari susunan gambar-bunyi dan latar sunyi,
yang merangkum makna atau melampauinya, adalah tilas dan proses yang memang
punya sukacita dan kepedihan tersendiri. Ia tak bisa diharapkan datang dari
hiruk-pikuk atau kalang kabut yang umum. Atau dari amarah yang menggembung jadi
monster, yang cuma mengenal gerah dan gatalnya sendiri. Puisi: setrum yang
memercik dari pergesekan huruf hidup dan mati, puting beliung yang menggila
dari bukit dan lembah sepi, kelopak-kelopak majas yang mekar dari dada dan
kepala yang merindu yang mencari'.
Terbukti,
apa yang dikerjakannya begitu dahsyat. Menurut hemat saya, ia telah melompat
jauh jika dibandingkan dengan para pendahulunya.
Itu sebuah gebrakan yang membuatnya tersohor.
Itu sebuah gebrakan yang membuatnya tersohor.
Hal
tersebut tak lepas pula dari sejumlah sajaknya, mengingatkan saya akan kalimat
K Usman dalam buku yang diberikan kepada saya, `Seorang pelopor apabila berhasil ia akan tersohor. Tapi seorang
pengekor tak akan pernah jadi nomor satu'.
Memang
tak cuma ihwal cinta/asmara yang dipetiknya dalam puisi. Sajak-sajaknya
berkisah banyak. Dari pelbagai sudut kehidupan. Anwar juga mencari Tuhan,
persoalan bangsa, ataupun masalah sosial masyarakat yang terekam di masa ia
hidup. Ia bisa saja berkisah tentang religiositas: doa, surga, masjid, Isa,
dsb. Atau, aksi heroik dalam sajak sadurannya Karawang-Bekasi atau Diponegoro
dan Persetujuan dengan Bung Karno.
Anwar,
bersama kesungguhan yang dimiliknya, telah meninggalkan jejak semangat dalam
sajak-sajaknya. Semangat yang mengakar tak pernah pudar dalam menuliskan
sajak-sajaknya. Pencariannya `penuh
seluruh', meminjam ungkapannya dalam sajak Doa. Ia bilang ke Jassin dalam
surat bertiti mangsa 10 April 1944: `Yang
kuserahkan padamu-yang kunamakan sajak-sajak!-itu hanya percobaan kiasan-kiasan
baru.
Bukan hasil sebenarnya! Masih
beberapa tingkat percobaan musti dilalui dulu, baru terhasilkan sajak-sajak
sebenarnya' (Chairil
Anwar Aku Ini Binatang Jalang, GPU, hal 98). Lewat dirinya, peta puisi
Indonesia berubah. Melalui dirinya, pembendaharaan kata yang dimiliki bangsa
ini melompat dengan jauh. Barangkali sajak-sajaknya akan tetap abadi. Gema
seribu tahun lagi yang dituliskannya akan terbukti.
Masa
28 April adalah tanggal kematiannya. Kematian yang muda. Meski, Soe Hok
Gie--yang juga mati muda-dalam catatannya menulis, `Berbahagialah orang-orang yang mati muda'. Di tengah gaung
globalisasi saat kata-kata menyeruak di antara iklan media massa, slogan atau
janji, SMS/BBM, pun pada hamparan kata-kata di sejumlah jejaring sosial, apakah
sajak-sajak Anwar masih layak diingat, dicatat, dan mendapat tempat?
Namun,
ketika membaca sajak-sajaknya, kembali terasa diksi-diksi rapatnya terus
bersinar penuh pijar. Sajak-sajaknya telah berhasil mengatasi kesementaraan
waktu sehingga bergema lantang: Ingin
hidup seribu tahun lagi! Ah, Anwar, kata-kata dalam sajakmu masih terus
bergetar, penyair! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar