Upaya Meruntuhkan Kekuasaan Kehakiman
Harifin A Tumpa, Akademisi;
Mantan Ketua Mahkamah Agung
SUMBER
: KOMPAS, 26 April 2012
Salah satu pilar dari suatu negara hukum
adalah adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Hal ini adalah asas yang
berlaku secara universal.
PBB pada 1948 mengamanatkan bahwa ”The independence of the judiciary shall be
guaranteed by the state and enshrined in the constitution or the law of the
country”. Oleh karena itu, dalam perubahan ketiga UUD 1945, jiwa dari
amanat tersebut dituangkan dalam Pasal 24 Ayat (1): bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan yang merdeka haruslah diartikan
tidak boleh ada campur tangan (intervensi) dari siapa pun, termasuk di dalamnya
menimbulkan rasa takut dari para hakim untuk memeriksa dan memutus perkara.
Sejak kita merdeka, upaya melemahkan
independensi hakim/peradilan Indonesia tidak pernah padam. Pada zaman Orde
Lama, lembaga peradilan dijadikan alat revolusi dan presiden dapat turut campur
dalam urusan peradilan. Pada zaman Orde Baru, kekuasaan eksekutif begitu besar
dan kuat sehingga kekuasaan lainnya hanya pelengkap. Pada zaman ini, situasi
yang terakhir, timbul ide ”cemerlang” dari wakil rakyat yang terhormat di
Komisi III untuk memidanakan hakim yang salah memutus suatu perkara.
Martabat Hakim
Apa makna dari ide ini? Pertama, meruntuhkan
independensi hakim. Independensi seorang hakim terletak pada
bagaimana ia memutuskan suatu perkara. Putusan sang hakim tentu didasarkan
pemahaman dan penilaiannya terhadap fakta hukum yang diperolehnya di
persidangan. Dalam perkara pidana, selain fakta persidangan, yang menentukan
putusan juga keyakinan hakim.
Kalau seorang hakim harus dihukum karena
putusannya salah atau keliru, setiap orang dapat dihukum pula karena pendapat
dan keyakinannya yang salah atau keliru. Tentu hal seperti itu tak dapat
dibenarkan dalam negara demokrasi dan negara hukum.
Kedua, siapa yang akan menentukan bahwa
putusan itu salah? Banyak orang berkepentingan atas suatu putusan hakim. Di
dalam perkara perdata ada kepentingan penggugat dan tergugat. Mungkin pula ada
pihak ketiga yang ”bersimpati” karena nilainya menggiurkan, termasuk ”orang”
yang suka ”mengurus” perkara. Di dalam perkara pidana ada kepentingan terdakwa,
korban, dan jaksa. Juga mungkin ada kepentingan pihak ketiga yang ”bersimpati”.
Pihak-pihak yang berkepentingan itu akan
selalu menyatakan putusan hakim salah atau keliru tatkala putusan itu tidak
sesuai dengan kepentingannya. Dalam hal seperti ini, siapa yang punya
kompetensi untuk menentukan kesalahan putusan itu?
Dalam hukum acara yang berlaku saat ini,
penilaian atas suatu putusan hakim hanya dapat dikoreksi melalui upaya hukum.
Apakah dengan ide DPR tersebut lalu akan dibentuk badan ekstrayudisial ataukah
Komisi III akan menempatkan dirinya sebagai ”pengawas” badan yudikatif?
Ketiga, ide Komisi III ini merendahkan
martabat hakim. Mengapa hanya hakim yang harus dipidana jika ada kesalahan
dalam melakukan tugas pokoknya? Mengapa polisi, jaksa, anggota DPR, dan
pejabat-pejabat publik lain tidak? Memang pengadilan adalah upaya terakhir
penegakan hukum, tetapi di dalam sistem peradilan—untuk menjaga kehati-hatian,
ketepatan, dan kecermatan putusan hakim—sistem peradilan dilakukan berjenjang:
ada banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Solidaritas Hakim
Keempat, hakim bukan corong undang-undang.
Saya setuju bahwa hakim harus profesional. Saya juga setuju hakim yang ”nakal”
dan memperjualbelikan perkara harus ditindak dengan hukuman yang
seberat-beratnya, tetapi tidak berdasarkan putusannya.
Peningkatan profesionalisme harus dengan
pembinaan yang tentunya perlu biaya. Jadi, hal yang harus dipikirkan DPR adalah
bagaimana meningkatkan anggaran pengadilan agar dapat melakukan pembinaan, bukan
memikirkan bagaimana hakim dapat dihukum. Sebab, mekanisme untuk itu telah
tersedia. Pikiran meningkatkan profesionalisme dengan cara menakut-nakuti
adalah pikiran kolonial, yang tak ada tempatnya di alam kemerdekaan sekarang
ini.
Putusan hakim harus menegakkan hukum dan
keadilan, bukan hukum atau UU semata karena hakim bukanlah corong dari UU (de la bouche de la loi). Hakim dapat
menemukan hukum (rechtsvinding) atau
menciptakan hukum (rechtsschepping).
Pemidanaan putusan hakim akan mematikan
kreativitas hakim dan kita tidak akan pernah menemukan hakim progresif. Jika (ide,
budisan) Komisi
III tersebut terwujud atau sebelum terwujud, para hakim—dalam semua tingkatan:
mulai dari tingkat pertama sampai Mahkamah Agung—harus bersatu padu melebihi
solidaritas mereka sewaktu memperjuangkan kesejahteraan mereka untuk menentang
usul tersebut. Ini sudah menyangkut harkat dan martabat hakim. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar