Sabtu, 28 April 2012

UN Rusak Mental Guru dan Siswa

UN Rusak Mental Guru dan Siswa
Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI)
SUMBER : SUARA KARYA, 28 April 2012


Kecurangan sistematis masih terjadi dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2012. Kecurangan itu dilakukan secara rapi melibatkan kepala sekolah, Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S), panitia penyelenggara dan siswa, sehingga sulit ditemukan bukti.
Jika mau bicara jujur, kecurangan itu sebenarnya telah terjadi jauh sebelum pelaksanaan UN. Agar siswanya bisa lulus dengan lancar, sekolah pun memanipulasi nilai rapor, mengutak-atik nilai ujian akhir sekolah (UAS) hingga memberikan kunci jawaban saat pelaksanaan UN. Ironisnya, dinas pendidikan provinsi seakan menutup mata atas praktik tidak jujur tersebut.

"UN merusak mental para guru dan siswa. Berbagai cara dilakukan mereka, meski berlaku tidak jujur," kata Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dalam percakapan dengan wartawan Harian Umum Suara Karya Tri Wahyuni di Sekretariat FSGI, Kelapa Gading, Jakarta Timur, baru-baru ini.

Perempuan kelahiran Jakarta, 24 Mei 1970 itu menilai, kecurangan akan selalu terjadi dalam pelaksaaan UN jika pemerintah tetap mempertahankan pola evaluasi yang ada saat ini. Yaitu, penekanan yang berlebihan pada hasil, dan bukan pada proses belajar. Akibatnya, hasil menjadi tujuan utama.

"Ketika hasil dianggap lebih penting daripada proses, maka segala cara pun dihalalkan demi memperoleh nilai tinggi. Di satu sisi, UN seakan-akan menjadi hakim penentu masa depan siswa tanpa mempertimbangkan riwayat belajar mereka," kata lulusan S-2 Ilmu Politik Universitas Indonesia itu menegaskan.

FGSI gencar mengungkapkan kecurangan yang terjadi setiap UN. Mengapa?

Kami hanya mengungkapkan fakta sesungguhnya di lapangan. Karena, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh selalu mengklaim bahwa tidak ada kecurangan dalam UN. Padahal, faktanya ada kecurangan.

Guru-guru anggota FGSI melihat dengan mata kepala sendiri kecurangan-kecurangan itu saat menjadi pengawas UN, tetapi kan mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, pengalaman tahun-tahun sebelumnya, guru yang melaporkan kecurangan itu justru mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Meski kami tidak menyebut nama guru dan sekolah, tetapi fakta yang kami beberkan itu benar adanya.

Kecurangan itu bisa terjadi kapan? Bukankah ada polisi yang berjaga materi soal UN?

Peluang kebocoran soal terjadi saat sekolah mengambil materi soal UN di sekolah rayon pada pukul 5 pagi. Polisi hanya menjaga soal UN yang disimpan di sekolah rayon. Tetapi, dari sekolah rayon ke sekolah masing-masing, tak ada pengawalan. Keberadaan soal UN menjadi "tak bertuan". Jeda waktu 3 jam, sebelum pelaksanaan UN jam 8 pagi, bisa dimanfaatkan para pihak dengan membuka segel, dan langsung membuat kunci jawabannya.

Kecurangan semacam ini terjadi di sekolah-sekolah miskin. Kepala sekolah terpaksa mencarikan kunci jawaban karena mereka menyadari kalau siswanya tidak lulus, kondisinya akan semakin memberatkan orangtua. Mereka ingin siswanya segera lulus agar bisa bekerja.

Di sekolah unggulan juga ada kecurangan?

Di sekolah reguler berstandar nasional pun, kecurangan itu bisa terjadi. Namun, siswa biasanya dimintai uang Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu per orang untuk membayar naskah. Karena "upah" bagi oknum guru yang membuat kunci jawaban adalah Rp 15 juta per mata pelajaran yang berisi 5 paket. Tetapi, ada juga oknum guru itu yang dibayar Rp 2 juta per mata pelajaran untuk sekolah menengah ke bawah.

Di sekolah unggulan, kunci jawaban juga beredar meski para siswa tak terlalu sepenuhnya mengandalkannya. Para siswa tetap belajar keras, meski kunci jawaban sudah ada di tangan.

Praktik semacam ini tidak terdeteksi oleh pusat?

Para pembocor ini sudah mahir. Kunci jawaban tidak diberikan sepenuhnya 50 soal, tetapi 30-40 soal. Jawaban dibuat lompat-lompat, sehingga kesalahan tidak sama. Kalau semua soal jawabannya betul justru menimbulkan kecurigaan. Yang penting, target nilai 7 di UN sudah di tangan. Setiap kesalahan jawaban semua dibuat sealami mungkin.

Jika mau jujur, sebenarnya kecurangan terjadi sebelum, sesaat dan sesudah UN. Sejak semester III guru sudah "mencuci" rapor siswa, agar nilainya bisa menjadi penyeimbang jika nilai UN jeblok. Begitu pun pada UAS, nilainya dikatrol sedemikian rupa sehingga rata-rata siswa mendapat angka 8 dan 9. Karena, dua tahun belakangan ini, kelulusan juga mempertimbangkan nilai UAS dan nilai rapor (40 persen), dan nilai UN (60 persen).

Ketika melihat rapor di sekolah-sekolah gurem, kita jadi miris, karena dengan fasilitas pendidikan seadanya itu, nilai rapor siswa rata-rata 8 dan 9. Sedikit sekali siswa yang memiliki nilai 7. Padahal, di sekolah unggulan, nilainya tidak ada sefantastis itu. Pengkatrolan nilai itu semata demi menjaga agar nilai siswa tidak jatuh, jika nilai UN-nya jeblok.

Jika kondisinya demikian, lalu evaluasi belajar semacam apa yang ideal?

Melihat kondisi pelaksanaan UN saat ini, terlihat bagaimana masyarakat menjadi "sakit" semata demi nilai UN. UN telah merusak mental guru dan siswa. Mereka melakukan berbagai macam cara agar nilai UN bagus. UN tidak lagi dilihat sebagai tes dari sebuah evaluasi belajar siswa, tetapi menjadi semacam "tujuan" dari nama baik kepala sekolah, sekolah, orangtua maupun nama baik provinsi.

Untuk itu, kami berharap pemerintah bisa mencarikan solusi bagaimana mengembalikan proses belajar mengajar menjadi proses pembentukan watak dan karakter, bukan sekadar mencapai nilai UN tertinggi seperti sekarang ini.

Caranya?

Pemerintah bisa mengumpulkan pakar pendidikan, praktisi pendidikan, hingga pakar evaluasi untuk membuat suatu tes yang lebih menekankan pada hasil. Sekolah sudah tak ada bedanya dengan bimbingan belajar (bimbel) di mana siswa setiap hari mengerjakan soal-soal yang akan diujikan dalam UN.

Bahkan ada beberapa sekolah yang memasukan tim pengajar bimbel dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Ini sudah tidak sehat sekali. Bukannya saya tidak setuju dengan bimbel, tetapi tolong jangan masukkan bimbel ke sekolah. Guru yang mata pelajarannya tidak diujikan dalam UN seperti kesenian, PPKN, olahraga merana karena dipandang sebelah mata. Padahal, mereka semua merupakan bagian dari proses pendidikan kita.

Jika pemerintah tidak mau repot mengkaji, bisa mempertimbangkan kembali ke model Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) seperti di masa lalu, yang prosesnya evaluasi ada pada guru. Sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) (UU No 20/2003) yang menyebutkan proses evaluasi belajar mengajar dilakukan guru sekolah. Namun, belakangan dalam Peraturan Pemerintah (PP)-nya tiba-tiba ada nama pemerintah sebagai penentu kelulusan lewat ujian nasional. PP ini jelas kontra dengan UU-nya. Beri kepercayaan kepada guru dan sekolah sebagaimana diamanatkan UU Sisdiknas.

Tampaknya para petinggi di Kemendikbud lupa bahwa pendidikan itu untuk mempertajam pikiran dan menghaluskan perasaan, bukan sekadar menjawab soal-soal UN. Bahkan UN menjadi penentu kelulusan. Ini sungguh menakutkan siswa. Sekolah yang seharusnya menanamkan nilai kejujuran, semangat dan kebangsaan ini justru hilang. Semua demi mencapai nilai-nilai UN.

Dampak lainnya dari pelaksanaan UN?

Pemborosan biaya. Pemerintah katanya mengeluarkan dana lebih dari Rp 600 miliar untuk pelaksanaan UN tahun ini. Itu belum dana APBD masing-masing daerah yang kabarnya mencapai jumlah yang sama dengan pemerintah pusat. Jadi, secara keseluruhan jumlahnya bisa mencapai sekitar 1,2 triliun.

Belum lagi, orangtua harus mengeluarkan dana tambahan karena memasukkan anaknya ke bimbingan belajar yang biayanya cukup mahal. Biaya tambahan karena sekolah menggelar pendalaman materi (PM) hingga sore hari di sekolah. Belum lagi, tambahan buku untuk PM yang jumlahnya tidak sedikit.

Dari jumlah yang sangat besar itu, apakah memberi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia? Rasanya tidak ada, kecuali pemerintah memiliki peta nilai UN masing-masing daerah, yang juga sebenarnya juga tidak riil karena diperoleh dari kecurangan.

Seharusnya pendidikan bisa membuat siswa "pindah" kelas, dari sebelumnya kelas bawah naik ke kelas menengah. Pendidikan Indonesia yang masih diskriminatif terhadap anak siswa miskin, membuat mereka cukup terpuaskan pada sekolah-sekolah gurem. Tidak berani bermimpi masuk ke sekolah bermutu semacam sekolah rintisan berstandar internasional (RSBI) yang hanya bisa dimasukin orang-orang kaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar