Senin, 30 April 2012

Pendidikan dan Budaya Hukum : Belajar dari Pengalaman Taiwan


Pendidikan dan Budaya Hukum :
Belajar dari Pengalaman Taiwan
Albert Barita Marulam Sihombing, Alumnus Kriminologi UI;
Pamen Polri belajar di Central Police University, Taiwan
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 30 April 2012


ALKISAH di Tiongkok, hidup seorang anak yatim bernama Tai Shun. Ia hidup prihatin bersama ibunya dengan mengandalkan makan dari hasil tani. Saat kemarau melanda, tidak ada hasil tani yang dapat dimakan. Demi menyambung hidup, Tai Shun pergi ke hutan mencari buah. Di hutan, didapati pohon berry yang sebagian besar buahnya berwarna merah (masih mentah). Hanya sebagian kecil berwarna ungu (matang). Tai Shun mengambil berry tersebut sebanyak dua keranjang. Keranjang pertama diisi berry ungu dan keranjang lainnya diisi berry merah.

Saat keluar hutan, seorang penyamun merampas kedua keranjang tersebut dan dengan perasaan heran ia bertanya, “Kenapa kedua keranjang ini diisi berry dengan warna yang berbeda?” Jawab Tai Shun, “Kedua keranjang tersebut untuk persediaan makan kami, yang warna ungu sudah matang untuk ibu, yang merah masih mentah untuk saya.” Saat mendengar jawaban tersebut, hati si penyamun tersentuh. Ia kemudian mengembalikan kedua keranjang itu dan mempersilakan Tai Shun melanjutkan perjalanan.

Secara budaya, cerita tersebut sangat kontras dengan aksi para penyamun modern yang menghiasi headline koran-koran Ibu Kota. Di tengah krisis ekonomi, masih banyak pejabat memanfaatkan posisi mereka untuk memperlancar korupsi.

Jika mengacu pada teori pilihan rasional yang dikemukakan sosiolog Italia, Cesare Beccaria, “Kejahatan terjadi bila ada target yang lemah di tempat yang tak terlindungi dan pelaku sendiri memiliki modus operandi untuk menghindar dari penyidikan!” Semakin sulit dilacak, semakin menjadi pilihan. Namun kenyataannya, banyak dijumpai kejahatan dilakukan di tempat terbuka, mudah diketahui tetapi pelakunya seakan kebal hukum. Mengapa demikian?

Contoh sederhana, masih banyak calo berkeliaran di ruang pelayanan publik seperti rumah sakit, kantor polisi, kecamatan, pegadaian, hingga kantor-kantor pelayanan publik lainnya. Ada juga kejahatan kerah putih, seperti pencucian uang. Jika praktik berbisnis selalu memanfaatkan celah kelemahan hukum, dengan sendirinya kejahatan akan berlindung di balik hukum itu sendiri. Itu logika budaya koruptif dan indikasi dari adanya kedaulatan kejahatan.

Selanjutnya, kejahatan yang lebih terang benderang lagi ialah adanya pembiaran. Pihak yang mengetahui kejahatan enggan menjadi pelapor karena menghindari risiko adanya preseden kasus pelapor menjadi terlapor. Senada, pihak yang berwenang pun enggan buka kasus untuk menghindari ‘tekanan’ atau menjadi setengah hati mengingat terbatasnya anggaran. Padahal, kebenaran yang dinyatakan setengah-setengah pada prinsipnya sama dengan kejahatan itu sendiri. Bisa dibayangkan seandainya tidak ada yang berani dan sanggup melaporkan kasus megakorupsi Gayus Tambunan, betapa akan berdaulat kejahatan korupsi di Indonesia.

Kejahatan berdaulat tak terlepas dari budaya 3T, saling tatap (ancam), titip (suap), dan tutup (tahu sama tahu). Bentuk-bentuk pengerahan massa provokatif dengan simbol-simbol tertentu yang mengarah ke tindakan anarkistis, pengalihan isu, hengkangnya koruptor ke luar negeri sesaat sebelum terbit cekal, mencuatnya kasus fasilitas wah Artalita dalam penjara, dan tersendatnya proses peradilan yang lebih mementingkan prosedur hukum daripada substansinya turut mewarnai praktik-praktik 3T tersebut, plus bumbu penyedap berupa alasan sakit dan lupa.

Belum lagi kasus pembiaran lain, ketika pemerintah sering terlihat tidak melaksanakan hukum. Menurut Prof Dr Ryaas Rasyid, salah satu tugas pokok pemerintahan ialah menjamin penerapan perlakuan yang adil kepada setiap warga masyarakat tanpa membedakan status apa pun yang melatarbelakangi keberadaan mereka. Dalam negara hukum, yang menjadi rujukan keadilan ialah putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Ketika seorang kepala pemerintahan tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah bersifat in kracht, yang terjadi ialah praktik-praktik ketidakpastian hukum semakin subur. Terlepas dari apa pun alasannya, hukum yang baik hanya terdiri dari dua unsur yaitu putih dan hitam, yang tidak taat hukum berarti melawan hukum, dan sebaliknya. Ketika dihadapkan dengan pilihan keputusan, ada aturan yang harus dipatuhi.

Tindakan Korektif

Tidak peduli seberapa jauh kita sudah berjalan dan melangkah, jika salah, ubahlah haluan. Saat merenungkan hal yang terjadi di Taiwan, mulai beberapa kali menerima pengembalian ongkos taksi dalam satuan kecil, pengalaman naik bus umum dengan jadwal yang tepat (hanya satu penumpang, sesuai jadwal, bus tetap berangkat walau jarak ± 120 km!), hingga mencermati minim nya gangguan kriminalitas di sebuah negara yang notabene penduduknya banyak yang tidak beragama namun beradab, timbul pertanyaan mengapa mereka bisa seperti itu?

Bukankah istilah kongkalikong dan angpau (istilah korupsi dan sogok) yang ada di Indonesia berasal dari bahasa China? Mengapa seorang mantan presiden yang kedapatan korupsi tidak berdaya melawan hukum dan masuk penjara? Mengapa korupsi di Taiwan `nyaris tak terdengar'? Jawabannya ialah karena hukum di jadikan acuan utama dalam bertindak, bukan tarik menarik kepentingan bernuansa 3T.

Namun yang lebih penting ialah adanya empat pilar yang menopang kesadaran hukum tersebut. Pertama, pilar pendidikan. Sejak kurang lebih empat dasawarsa lalu, pemerintah Taiwan mencanang kan wajib belajar SD-SMP bagi warganya dengan bantuan biaya penuh dari pemerintah. Tidak tanggung-tanggung, sampai ke pelosok negeri dilakukan pemantauan dan jika kedapatan ada orangtua yang tidak menyekolahkan anak, langsung diproses hukum. Alhasil, penanaman budi pekerti dimulai sejak dini dan merata bagi seluruh anak/rakyat Taiwan.

Kedua, pilar kesehatan. Kesetiakawanan nasional dibentuk pemerintah. Seluruh warga wajib memiliki kartu asuransi kesehatan (askes) dengan besaran iuran yang berbeda, tergantung pendapatan. Tidak tanggung-tanggung, hampir 95% rumah sakit dan praktik dokter memiliki kerja sama dengan perusahaan askes sehingga siapa pun pemegang askes, dilayani secara maksimal di mana-mana tanpa pandang bulu dan mengover penyakit yang berat sekalipun. Alhasil, muncul kesadaran warga untuk tunduk kepada pemerintah yang memang melindungi mereka.

Ketiga, pilar ekonomi. Pemerintah Taiwan menyadari betul konsep ketimpangan sosial akan berimbas pada kejahatan. Karena itu, upaya pemerataan ekonomi dengan membangun jaringan jalan raya sampai ke pelosok desa dan bantuan modal bagi petani gencar dilaksanakan. Hasilnya, kesejahteraan petani semakin meningkat dan tingkat urbanisasi berkurang karena desa sudah menjadi sentra ekonomi yang andal.

Keempat, pilar riset dan pengembangan sumber daya. Mengingat sumber daya yang terbatas, tidak ada jalan lain Taiwan harus menggali dan mencari potensi yang dapat meningkatkan taraf hidup. Litbang merupakan penjabaran penelitian dan pengembangan yang sesungguhnya, bukan dari sebuah singkatan sulit berkembang. Alhasil, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dengan menerapkan prinsip efi siensi dan efektivitas sumber daya. Etos kerja meningkat dan timbul kesadaran, “Jangan makan kalau tidak bekerja.”

Kesadaran itulah yang menyebabkan minimnya kasus kejahatan konvensional seperti pencurian dan pencopetan. Budaya malu tersebut merambat dalam fakta sosial lainnya, antara lain minimnya budaya tips. Sekecil apa pun kelebihan ongkos, misalnya ongkos taksi, dengan serta-merta dikembalikan (tidak ada alasan tidak ada receh atau pengembalian belanja dalam bentuk permen). Kasus gelandangan dan pengemis pun hampir tidak ditemui.

Keempat pilar tersebut sangat berkontribusi dalam penciptaan sistem yang mengarahkan bangsa Taiwan untuk menjadikan hukum sebagai yang utama. Penguasa tunduk kepada hukum, rakyat patuh kepada aturan. Kepatuhan tersebut tidak didasarkan pada tarik-menarik kepentingan, tetapi lebih kepada kesadaran penuh untuk berkehidupan berbangsa yang ditanam sejak dini melalui pendidikan di bangku sekolah.

Proses pendidikan yang tidak koruptif tetap dipelihara dengan peningkatan kesejahteraan dan diperkuat dengan penerapan ilmu pengetahuan serta teknologi sebagai bagian dari rekayasa sosial ke arah kehidupan yang lebih baik. Sangat jelas bahwa mata rantai karut-marut hukum bersinggungan erat dengan faktor pendidikan.

1 komentar: