Sabtu, 28 April 2012

Kesenian Dalam Kuasa Negara


Kesenian Dalam Kuasa Negara
M Romandhon MK, Peneliti pada Central for Civilization and Cultural Studies,
Yogyakarta
SUMBER : SINAR HARAPAN, 28 April 2012


Pemerintah akhir-akhir ini sedang gencar mendaftarkan produk kebudayaan leluhur sebagai warisan kebudayaan dunia. Setelah batik, angklung, wayang, dan keris diakui UNESCO, kini giliran kesenian rakyat tayub dan dangdut yang mengantre untuk mendapatkan stempel dari induk organisasi negara dunia. Terobosan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini memberi decak antusiasme bagi publik Tanah Air. Ekspektasi masyarakat pun terhadap pemerintah semakin menguat, perihal kepedulian negara terhadap khazanah kesenian. Diajukannya kesenian tayub dan dangdut sebagai warisan budaya dunia, seolah memberi harapan sekaligus angin segar bagi keberlangsungan kesenian Tanah Air dewasa ini.

Di balik semarak kampanye peduli kesenian sesungguhnya masih menyisakan rasa getir. Sering kali, kampanye “cinta kebudayaan” menipu, pasalnya, anjuran berkesadaran budaya barometernya ditentukan seberapa banyak jumlah pengunjung ke museum. Tanpa disadari, kerangka berpikir deduktif ini sengaja digiring ke arah fosilisasi kebudayaan. Alih-alih mengenalkan keragaman peninggalan kebudayaan, sebaliknya hal ini berpotensi pada praktik “pembunuhan” kreativitas berbudaya.

Bagaimana tidak, satu sisi pemerintah hanya mendorong masyarakat mengarifi kebudayaan, di sisi lain pemerintah tak begitu peduli tentang kebudayaan sebagai basis kekuatan dan identitas bangsa. Dengan kata lain, kebudayaan kesenian tetap saja diposisikan sebagai peninggalan masa lampau. Bahkan, khazanah tradisi kesenian yang menjadi platform Indonesia mengalami “penuaan”. Ini artinya, kekayaan warisan budaya tampaknya hanya sebagai dongeng adiluhung ansich, tanpa mampu dimanfaatkan kembali.

Sejurus gayung bersambut, para ilmuwan dan pegiat kesenian dalam negeri sendiri pun tidak mampu mendaur ulang penemuan leluhur itu menjadi hasil penemuan yang lebih baik. Sebaliknya, hasil kebudayaan yang begitu menakjubkan itu, dengan dalih “melestarikan” dan “peduli” justru difosilisasikan. Istilah “fosilisasi kebudayaan” sebenarnya pernah dipopulerkan oleh Arthur Asa Berger dalam menjelaskan sebuah produk kebudayaan yang sengaja ingin dilenyapkan (dihilangkan). Mengutip Fritjof Capra, arus kebudayaan global semakin canggih dalam membinasakan produk budaya yang lain.

Bedanya, cara yang digunakan tidak tampak unsur kesadisan. Sebaliknya, terkesan sangat santun dan bermartabat. Hemat penulis, dapat dikatakan melestarikan, apabila gerak dan ruang berekspresi dalam berseni diberi keleluasaan. Adapun kesenian yang sudah ada, mampu didaur-ulang dan disesuaikan dengan konteks zamannya. Tatkala kesenian bisa bergerak dan mengalami dinamisasi, hal ini baru bisa dikatakan melestarikan (uri-uri) kebudayaan. Dalam istilah musicology arrangement.

Sayangnya elemen bangsa ini telanjur terkena sindrom “penyakit” kronis, di mana masyarakat sudah tak lagi responsif. Di tingkatan pemimpin tidak terlihat sifat-sifat kenegarawanan, orientasi tertutup, lebih mementingkan stabilitas daripada kemajuan, sedangkan kaum cendekiawan bisu. Tidak muncul gagasan orisinal dan besar, ciptaan yang berlangsung hanya imitasi, peniruan-peniruan kasar dalam bidang seni maupun kehidupan sehari-hari yang lain; dan yang terakhir tidak berfungsinya filsafat.


Ketidakberdayaan Kesenian
Setali tiga uang, antara tayub dan dangdut memiliki banyak catatan kontroversial. Kedua kesenian ini banyak mengekspos estetika body art (keindahan olah tubuh). Nilai seni inilah yang kerapkali menuai kontroversi lantaran dianggap erotis dan mempertontonkan aurat. Tak berlebihan, jika tayub dan dangdut senantiasa berada dalam posisi yang tak mengenakkan. Kesenian masyarakat kelas bawah ini selalu mendapat stereotipe buruk. Dengan dalih erotis dan jalang. Tak pelak keberadaan tayub ataupun dangdut secara perlahan teralienasi. Stigma pornografi dan cabul menempatkan kesenian ini tak kuasa dalam menghadapi monopoli politik kekuasaan. Bahkan, persoalan krusial yang dianggap presiden adalah agenda dibentuknya Satgas UU Pornografi.

Kesenian mengamini aroma erotik dan estetik; terejawantahkan melalui dentum gamelan, gerak (seperti gandrung, joget bumbung, lengger, tandakan) bahkan hingga dangdut. Stigma pornografi pun mencuat lantaran tubuh adalah agen utama. Negara kemudian dianggap berkepentingan untuk mengatur gerak, pakaian, dandanan secara visual. Muncullah aturan pembatasan dalam berseni (berkreativitas), seakan semuanya harus dikonvensionalkan. Ini yang kemudian menyebabkan kesenian berada pada posisi tak berdaya. Pemerintah masih belum bisa bersikap dewasa, cenderung memandang kesenian berdasarkan kuasa oposisi biner.

Ini artinya, selama sudut pandang digunakan masih sebatas hitam-putih, baik-buruk maka simpati ataupun ujud rasa prihatin pemerintah tak ubahnya sebuah harapan semu. Lantas apa gunanya mengusulkan kesenian tayub dan dangdut ke UNESCO, jika hanya bertujuan memperoleh draf legal? Selain itu, apa keuntungan yang diperoleh seni-seni tersebut setelah diakui sebagai warisan dunia? Adakah suatu perkembangan yang berarti? Atau justru hanya labirin politik dalam meraih ambisi yang penuh pamrih? Legalitas, “diakui” atau “tidak diakui” belum tentu mampu menyelamatkan eksistensi kesenian itu sendiri.

M Natsir dalam kitabnya Capita Selecta memaparkan bagaimana kemajuan kebudayaan di masa khalifah Al-Mansur, khalifah kedua dari dinasti Abbasiah yang sukses merawat peninggalan kebudayaan bangsanya; di mana ilmuwan dan para pegiat seni diberi ruang berekreasi tanpa ada intervensi. Selalu menghargai kreasi dalam bentuk apa pun dan mengedepankan “pendaur-ulangan” warisan kebudayaan yang sudah ada.

Jangan-jangan, hal sama yang dibutuhkan negara Indonesia untuk serius melestarikan kebudayaan mencontoh metode Al-Mansur. Ketika negara mampu memosisikan dirinya sebagaimana semestinya, seniman memosisikan tugasnya sebagai pekerja seni, dan rakyat dapat menyelesaikan tugasnya sebagai masyarakat, maka tanpa perlu seruan untuk maju dan berkembang, rasanya dengan sendirinya kemajuan itu akan lahir. ●

3 komentar:

  1. yap setuju, negara hanya membanggakan kebudayaan sebegitu banyak, namun ditelantarkan dan hanya berharap semuanya diakui dunia supaya ngga dicuri saja. padahal tujuan real budaya bukan hanya dilestarikan, tpi juga harus digali karena zman juga tidak selamnya sprti ini, belum tentu gnerasi slanjutnya mnyukai budaya yg hanya sprti itu tnpa di akulturasi.
    penerjemah bahasa jerman

    BalasHapus
  2. wahhh artikelnya komplit sob...memang sudah seharusnya kita yang melestarikan. bukan kebakaran jenggot tatkala milik kita diambil sedang kita melupakannya...salam sukses selalu.thanks

    BalasHapus
  3. Good hand brother!!! salam kenal jangan lupa difolbek yaaa...

    BalasHapus