Berharap pada Komnas HAM Baru
Chrisbiantoro, Anggota
Badan Pekerja
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras)
SUMBER
: KOMPAS, 30 April 2012
Proses seleksi yang masih berlangsung akan
menghasilkan komisioner baru Komnas HAM. Mampukah mereka membawa perubahan
menjadi lebih baik?
Diukur dari sorotan publik dan media, seleksi
calon komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2012-2017 tak seramai
seleksi calon komisioner KPK dan KPU. Padahal, Komnas HAM adalah satu di antara
sekian komisi independen negara yang berperan penting memajukan HAM di
Indonesia. Perhatian publik justru tersita drama kebijakan BBM di Senayan.
Tidak Konsisten
Penting kiranya mengidentifikasi persoalan
mendasar yang selama ini menghambat kinerja Komnas HAM. Pertama, kinerja
eksternal. Ketidakkonsistenan menjalankan tugas dan kewenangan, sebagaimana
tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, membuat aktivitas pemantauan dan pengkajian sepanjang
lima tahun terakhir hampir tidak pernah berlanjut ke tingkat penyelidikan
proyustisia. Ini karena Komnas HAM menafsirkan kedua UU secara parsial.
Persoalan lain adalah miskin upaya terobosan
untuk membuka kebuntuan proses hukum dan pemulihan hak para korban dan keluarga
korban pelanggaran HAM berat. Tidak satu pun kasus pelanggaran HAM berat masa
lalu, seperti penembakan mahasiswa di Trisakti dan Semanggi, penculikan
aktivis, bahkan kasus Talangsari Lampung, yang ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung
selaku penyidik perkara pelanggaran HAM berat.
Bahkan, kasus Wasior dan Wamena di Papua yang
terjadi setelah tahun 2000 pun tidak disentuh Jaksa Agung. Apalagi penyelidikan
proyustisia untuk kasus pembunuhan misterius 1981-1983 dan tragedi 1965–1966.
Semua tidak ada kejelasannya hingga akhir masa bakti komisioner periode
sekarang.
Persoalan kedua dari sisi kinerja internal
(kelembagaan). Ini terkait dengan kebijakan perubahan status kepegawaian staf
dan karyawan Komnas HAM menjadi pegawai negeri sipil.
Di satu sisi, perubahan status memudahkan
pencairan anggaran negara, tetapi di sisi lain mengurangi nilai independensi
lembaga. Tidak jarang malah terjadi transformasi kultur birokrat karena ada
pegawai pindahan dari lembaga negara lain.
Untuk penanganan kasus-kasus sepanjang Komnas
HAM periode ini, tercatat beberapa kasus kekerasan berbasis konflik tanah
antara warga dan TNI, di antaranya kasus Alas Tlogo dan Kebumen. Terhadap kedua
kasus ini— meski Komnas HAM menurunkan tim pemantauan ke lokasi dan
mengeluarkan laporan dengan kesimpulan adanya dugaan pelanggaran HAM—tidak
tampak upaya tindak lanjut, apalagi peningkatan status menjadi penyelidikan
proyustisia.
Untuk kasus berlatar belakang pertambangan,
Komnas HAM pernah membuat penyelidikan proyustisia untuk lumpur Lapindo meski
lagi-lagi tidak terdengar kabar kelanjutannya. Selain itu juga tidak tampak
kejelasan terhadap pengkajian kasus penolakan warga Pati terhadap pembangunan
semen Gresik dan penembakan karyawan Freeport di Papua.
Akhir tahun 2011, Komnas HAM menurunkan tim
pemantau untuk merespons penembakan warga dari Kecamatan Lambu, Bima, yang
menduduki pelabuhan Sape oleh polisi. Sejauh ini juga belum tampak upaya tindak
lanjutnya.
Komnas HAM juga menerima 4.502 pengaduan dari
masyarakat terkait tindak penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat
negara, khususnya Polri sepanjang Januari-November 2011. Namun, lagi-lagi
lembaga ini terkesan enggan menindaklanjuti. Padahal, kasus di Puncak Jaya,
misalnya, sempat muncul di Youtube. Komnas HAM justru merekomendasikan ke
Polisi Militer TNI untuk menyidik lebih lanjut. Hal ini menyalahi UU No 5/1998
tentang kejahatan penyiksaan.
Untuk Papua, memang tidak tampak perkembangan
dari gugus kerja ataupun kebijakan khusus yang pernah dibuat oleh Komnas HAM
periode ini. Respons yang muncul masih bersifat kasuistis dan umumnya terhenti
di tingkat pemantauan dan pengkajian.
Di sisi lain, kontribusi Komnas HAM untuk isu
kebebasan beragama tidak signifikan. Sulit untuk mengetahui hasil kajian dan
tindak lanjut terhadap penyerangan jemaah Ahmadiyah di Kuningan dan Cikeusik
hingga penutupan gereja, baik itu GKI Yasmin Bogor maupun HKBP Filadelfia di
Bekasi.
Mencari Sosok Ideal
Berangkat dari situasi tersebut, tahap awal
proses seleksi yang mulai 14 Maret telah menyeleksi 363 kandidat dengan latar
belakang beragam: 49 perempuan, 1 transjender, dan 313 laki-laki. Selain itu,
di antara mereka ada juga anggota Komnas HAM 2007-2012, eks anggota Komnas HAM
perwakilan daerah, advokat, dosen, wartawan, PNS, purnawirawan TNI/Polri,
rohaniwan, pengusaha, dan konsultan.
Saat ini, proses seleksi telah memasuki tahap
ketiga berupa uji kesehatan, psikologi, dan makalah. Hasilnya, 60 orang lolos.
Sesuai jadwal yang telah ditentukan, panitia
seleksi menggelar uji publik (26/4) untuk menggalang masukan dari berbagai
kalangan, termasuk korban. Hasilnya diumumkan pada 7 Mei. Setidaknya akan
diperoleh 30 nomine ”terbaik” yang
akan diserahkan kepada Komisi III DPR pada pertengahan Mei dan akhir Mei
berlangsung uji kelayakan dan kepatutan untuk memilih 15 komisioner.
Mencermati proses tersebut, setidaknya ada
satu hal yang patut kita renungkan, yakni sosok atau tipe seperti apa yang
cocok untuk mengisi Komnas HAM saat ini yang selanjutnya diharapkan mampu
mengobati dahaga pencari keadilan dan para korban pelanggaran HAM yang sudah
sekian lama terabaikan.
Meski tidak mudah mencari sosok ideal,
setidaknya ada beberapa kriteria yang layak kita jadikan ukuran: integritas,
menjunjung tinggi pluralisme, bersih dari catatan pelanggaran HAM berat,
memiliki keberpihakan dan komitmen terhadap korban dan nilai-nilai HAM, serta
terpenting mampu bekerja keras dengan keterbatasan kewenangan yang ada dan
tidak tabu mengakhiri kebuntuan.
Kriteria tersebut lahir dari pengalaman
empiris penulis dalam mendampingi para korban dan keluarga korban selama ini.
Harapan akan sosok ideal tampak jelas di wajah para korban, baik yang teguh
berdiri di seberang istana dengan payung hitam maupun mereka yang mulai
dilupakan, terkurung dalam kesunyian, sakit, dan menjadi tua.
Komnas HAM periode Baharuddin Lopa dan Asmara
Nababan adalah contoh penampilan terbaik Komnas HAM. Di tengah keterbatasan
yang ada, mereka mampu berbuat maksimal.
Meminjam istilah Prof Dr Satjipto Rahardjo,
SH (2009), ujung dari penegakan hukum hendaknya membuat bahagia. Penyelenggara
hukum di negeri ini hendaknya gelisah apabila hukum belum bisa membikin rakyat
bahagia. Inilah yang harus dipegang komisioner terpilih nantinya, demi kualitas
keadilan yang lebih baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar