Pembangunan Pendekatan Budaya
Daoed Joesoef, Alumnus
Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
SUMBER
: KOMPAS, 30 April 2012
Maksud pemerintah meningkatkan kemampuan
ekonomi nasional melalui realokasi pemanfaatan anggaran belanja ke arah pembangunan
infrastruktur pasti gagal mencapai sasaran kalau tidak dilakukan sebagai bagian
integral dari pembangunan.
Namun, pembangunan nasional yang bagaimana?
Selama ini ia diperlakukan sebagai pembangunan ekonomi menurut ”a narrow Western capitalist ideology of
development”. Picik, karena pembangunan sektoral ini dianggap sinonim
dengan keseluruhan pembangunan itu sendiri. Picik, berhubung pembangunan
ekonomi an sich merujuk pada suatu
proses selama suatu masyarakat mampu memproduksi barang/jasa berjumlah kian besar.
Kemampuan ini dinyatakan berupa kenaikan pendapatan, seperti produk nasional
bruto (GNP), produk domestik bruto (GDP), dan pendapatan per kapita. Namun,
ukuran kuantitatif ini fiksi murni statistik yang tidak menginformasikan
pembagian kekayaan yang dihasilkan masyarakat. Jadi, rujukan ini jelas mengenai
means (cara/ jalan), bukan aims (tujuan/finalitas).
Kalau pertumbuhan kuantitatif berupa kenaikan
pendapatan itu dianggap mencerminkan perbaikan kualitatif berupa perkembangan
modernisasi means, apakah modernisasi
ini telah membantu kenaikan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan
keputusan? Ini terutama terkait dengan pengembangan budaya politik demokratis,
peningkatan kesadaran berpolitik warga, pengukuhan eksistensi individu otonom,
dan kebebasan individual dan kolektif yang lebih besar. Ternyata jawabnya
tidak! Jauh panggang dari api.
Di balik krisis multidimensi yang kini
mengancam eksistensi NKRI—akibat kekeliruan pendekatan
pembangunan—ada jutaan rakyat yang resah menunggu kehidupan berbangsa,
bermasyarakat, dan bernegara sebagai perwujudan makna human mereka sebagaimana
yang digambarkan dulu oleh revolusi kemerdekaan. Sebagian mereka bisa saja
dibohongi untuk, bisa dikecoh untuk sementara waktu, tetapi tidak mungkin
ditipu untuk selama-lamanya.
Kecenderungan tersebut dibuktikan
kebenarannya oleh pemberontakan rakyat Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara,
serta kemenangan Aung San Suu Kyi pada pemilu sela di Myanmar. Menurut Belanda,
rakyat Indonesia ”het zachtste volk der
aarde” (bangsa terlembut di dunia), tetapi kalau sudah ”ontwaakt” (terjaga), mampu mencetuskan ”revolusi”. Apakah ini yang kita
kehendaki?
Jangan Ulangi Kesalahan
Maka, jangan buat kesalahan yang sama dua
kali. Sebelum terlambat, mari kita ubah pendekatan pembangunan nasional dari ”ekonomi” ke ”budaya”. Bukan berarti kita abaikan (sektor) ekonomi dan kekuatan
penalaran ilmiahnya. Pembangunan ekonomi tetap bagian logis pembangunan
nasional, tetapi bukan lagi pendikte final keseluruhan pembangunan.
Kita wujudkan pembangunan nasional dengan
pendekatan budaya. Selain sejalan dengan kecenderungan masa depan kehidupan
human yang kian berpembawaan budaya, ia pun secara eksplisit berurusan dengan
manusia. Sejauh budaya adalah ”sistem
nilai yang dihayati”, manusia—sebagai makhluk maupun individu otonom—
adalah pembuat nilai itu ”ada” dan
sekaligus pemberi ”makna” padanya.
Nilai ini sudah kita bubuhi dengan ”Pancasila”, suatu kebajikan kolektif,
yang ternyata hanya digunakan sebagai jargon politik, bukan jargon pembangunan.
Bahkan, sebagai jargon politik saja, Pancasila sudah diabaikan. Pada nilai itu
sudah kita cangkokkan demokrasi tanpa menggubris keadaannya. Demokrasi ini jadi
malaise begitu diterapkan secara tidak langsung. Sejak itu yang dikembangkan
malah ”demokrasi-demokrasi” berupa ”demokrasi politik”, ”demokrasi ekonomi”, ”demokrasi pendidikan”, ”demokrasi berketuhanan”, dan lain-lain,
dengan kriteria keberhasilan yang berbeda.
Maka, sebelum terlambat perlu kita
integrasikan ke dalam sebuah perspektif holistik aneka pembangunan—ekonomi,
politik (khususnya demokrasi), sosial, pendidikan, pancasilaisme—dan diproses
selaku nilai-nilai vital bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Jika pembangunan nasional ditetapkan berpendekatan budaya, ia
dinyatakan tidak lagi dalam term ”pendapatan”, tetapi ”ruang sosial”.
Ruang sosial adalah suatu ruang hidup manusia
yang konkret, diciptakan dalam konteks (pembangunan) suatu komunitas, berskala
lokal maupun nasional. Dalam dimensi obyektif, material, kultural, dan spiritualnya,
ruang sosial ini merupakan produk transformasi alam melalui kerja dan pikiran
manusia. Ia juga merupakan sebuah pementasan dari hubungan-hubungan sosial dan
direkayasa penduduk setempat dalam berbagai derajat intervensi/perubahan, dari
modifikasi berskala terkecil (pembangunan desa, masyarakat adat, gedung
sekolah, tempat ibadah) hingga modifikasi berskala besar (pembangunan daerah,
provinsi, pulau).
Secara filosofis ia diformulasikan sebagai ”gerakan komunitas”, selama proses mana
komunitas yang bersangkutan menjadi lebih adil secara ekonomis dan politis,
lebih diterima secara manusiawi bagi warga. Inilah kiranya yang dimaksudkan
oleh Bung Hatta sebagai ”kedaulatan
rakyat”, yaitu ”negara harus dibangun
dari rangkaian komunitas terkecil, di atas prinsip desentralisasi sejauh
mungkin” dan ”komunitas rakyat otonom
yang fundamental haruslah menjadi pusat kekuasaan dari struktur negara”.
Ketimbang pembangunan dalam term abstract
statistical figure (GNP), pembangunan dalam term ruang sosial bisa lebih berpeluang menciptakan pembangunan
bernuansa benar-benar human. Berkat pemahaman hubungan-hubungan sosial, melalui
dialog interaktif warga lokal sendiri dan direkayasa dalam berbagai derajat
interval/perubahan, ruang sosial berkembang menjadi suatu ”learning community organization”. Artinya, organisasi di mana orang
terus meningkatkan dan memperluas kapasitasnya untuk menciptakan hasil yang
benar-benar didambakan. Opini individual ditempa menjadi opini kolektif melalui
”musyawarah”, di mana pola pikir baru
dan ekspansif disuburkan, di mana aspirasi kolektif dibenarkan berkembang dari
dalam komunitas itu sendiri, dan di mana anggotanya terus belajar saling
memberdayakan jadi individu otonom.
Bukankah ada taksiran bahwa demi menjamin
demokrasi diperlukan setidaknya satu persen dari semua warga negara dewasa
sebagai individu otonom yang memimpin di semua lini kehidupan dan di setiap
simpul jaringan teknostruktur.
Maka, apabila dipupuk terus-menerus,
organisasi ini dapat bermuara pada perwujudan masyarakat sipil, bagai Agora di
zaman Yunani Purba, di mana demokrasi masih berlaku secara langsung.
Pendekatan pembangunan nasional seperti ini
jelas tidak mengabstrakkan bumi tempat berpijak, bahkan menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia yang mengelompok di situ dengan segala masalah yang
mereka geluti dan nilai yang mereka hayati. Dengan ruang sosial berpeluang
mengintensifkan interaksi berbagai budaya secara konstruktif: budaya
komunikasi, budaya politik, budaya ekonomi, budaya hukum, budaya demokrasi,
budaya artistik, budaya keilmuan, dan lain-lain. Interaksi kultural ini, pada
gilirannya, membuat ruang sosial menjadi tempat hidup bersama yang berada tidak
di luar manusia (dichtung), tetapi
realitas pada masa manusia bergabung (wahrheit).
Proses Partisipatif
Mengingat pembangunan ekonomi dilakukan dalam
rangka pembangunan nasional berpendekatan ruang sosial, ia menjadi suatu participatory development, bukan proses
pembangunan yang mereduksi rakyat menjadi sekadar ”penonton pembangunan”. Berhubung di ruang sosial ini para warganya
diajak membahas bersama-sama opsi-opsi penting untuk kemudian diambil keputusan
yang menjadi komitmen bersama, terwujud pula ”participatory democracy”, yang tidak mereduksi rakyat sebagai
pemegang kedaulatan negara merdeka ini, menjadi sekadar ”penonton demokrasi”, menjadi sekadar ”angka”, tidak ”diwongke”.
Bukankah kebijakan pemerintah pusat seperti
itu yang dulu memicu Aceh bergolak dan kini mulai menggejala di Papua, Ambon,
dan di kalangan suku Dayak. Yang merasa tidak puas bukan lagi individu,
melainkan suku yang sudah mapan sebelum NKRI terbentuk.
Jadi, pembangunan nasional berpendekatan
budaya berpeluang untuk membuktikan bahwa Pancasila bisa berfungsi,
demokrasi-tak-langsung dapat berjalan, warga diakui bermartabat (nguwongke wong) dan mampu membantu orang
tidak hanya memiliki lebih banyak (to
have more), tetapi lebih-lebih menjadi lebih luhur (to be more), pendek kata menjadi ”bahagia”. ”Happiness matters,”
kata Amartya Sen, sejalan dengan pikiran Bung Hatta, ”because it is not irrelevant to the meaning of life”. Ternyata
kedua tokoh ekonom tersebut, yang belum pernah bertemu satu sama lain, tanpa
menyebut dirinya ”budayawan”, adalah ”man
of culture”, tidak sekadar ”well
cultured man”.
Dalam perspektif ini kebebasan dan otonomi
individu tidak hanya tampil sebagai ”the
ultimate aims”, tetapi sebagai ”the
principal means” dari pembangunan nasional. ●
Kabar baik Allah yang Maha Kuasa telah begitu setia kepada saya dan seluruh keluarga saya untuk menggunakan perusahaan pinjaman ibu Emily untuk mengubah situasi keuangan hidup saya untuk kehidupan yang lebih baik dan lebih stabil sehingga sekarang saya memiliki bisnis sendiri di kotaNama saya Nur Khomariyah dari kota Sidoarjo, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada ibu. Emily karena membantu saya dengan pinjaman yang baik setelah saya menderita di tangan pemberi pinjaman palsu yang menipu saya karena uang saya tanpa menawarkan saya pinjaman, saya memerlukan pinjaman selama 2 tahun terakhir untuk memulai bisnis saya sendiri di kota Sidoarjo tempat saya tinggal dan saya jatuh ke tangan perusahaan palsu di India yang telah menipu saya dan tidak menawarkan pinjaman kepada saya dan saya sangat frustrasi karena saya kehilangan semua uang saya ke perusahaan palsu di India, karena saya berutang kepada bank dan teman-teman saya dan saya tidak punya orang untuk dituju, sampai suatu hari teman setia saya menelepon Slamet Raharjo setelah membaca kesaksiannya tentang bagaimana dia mendapat pinjaman dari ibu perusahaan pinjaman Emily, jadi saya harus menghubungi Slamet Raharjo dan dia mengatakan kepada saya dan meyakinkan saya untuk menghubungi ibu emily bahwa dia adalah ibu yang baik dan saya harus memanggil keberanian dan saya menghubungi ibu emily perusahaan dan secara mengejutkan, pinjaman saya diproses dan disetujui dan dalam waktu 2 jam pinjaman saya dipindahkan ke akun saya dan saya sangat terkejut bahwa ini adalah keajaiban dan saya harus bersaksi tentang ibu pekerjaan yang baik Emilyjadi saya akan menyarankan semua orang yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi ibu perusahaan pinjaman Emily melalui email: emilygregloancompany@gmail.com. atau whatsapp +1 (669) 4002627 dan saya meyakinkan Anda bahwa Anda akan bersaksi seperti yang telah saya lakukan dan Anda juga dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut tentang Mother Emily melalui saya email: nurkhomariyah1989@gmail.com dan Anda masih dapat menghubungi teman saya Nur Syarah yang memperkenalkan saya kepada Ms. Margaret melalui email: slametraharjo211989@gmail.comsemoga Tuhan terus memberkati dan mendukung ibu Emily yang telah mengubah kehidupan finansial saya.
BalasHapus