Senin, 30 April 2012

Amnesia Bencana Alam


Amnesia Bencana Alam
Nova Riyanti Yusuf, Anggota Komisi IX DPR RI, Fraksi Partai Demokrat
SUMBER : SINDO, 30 April 2012


Sebelum pukul enam pagi, pada saat belum ada manusia yang terbangun untuk menapaki pasir hangat di pantai sunyi Khao Lak, adalah waktu yang paling tepat untuk duduk meditasi di atas bebatuan yang dihampiri oleh deburan ombak.
Namun, pantai tenang Khao Lak rupanya meninggalkan sejarah bencana alam yang terpatri pada memori. Dengan begitu, meditasi pun tidak mungkin bisa dihayati dalam suasana batin manusia yang merasa kecil di hadapan kuasa Tuhan. Khao Lak adalah sebuah kota pantai yang terletak di Provinsi Phang Nga pada garis pantai laut Andaman di Thailand Selatan dan berjarak sekitar 100 km sebelah utara dari kota Phuket. Pada saat terjadi bencana alam tsunami di Asia Selatan pada 2004,korban jiwa paling banyak berjatuhan di Khao Lak. Kurang lebih 6.000 korban meninggal yang sebagian besar adalah turis asing Eropa terutama dari wilayah Skandinavia.

Jumlah ini tidak seberapa jika dibandingkan capaian angka korban jiwa di Aceh. Seperti merekonstruksi pengalaman traumatis, pada 11 April 2012 Aceh digoyang oleh dua gempa besar di laut, yaitu pertama berkekuatan 8,5 skala Richter (SR) pada pukul 15.38 WIB dan dua jam kemudian 8,1 SR.Diberitakan bahwa ombak hanya naik sekitar setengah meter di beberapa pantai Aceh, kurang lebih sejam setelah gempa pertama. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat gempa kembar tersebut telah menyebabkan lima orang meninggal akibat serangan jantung dan tujuh orang terluka. Jumlah tersebut tetaplah signifikan sebagai dampak sebuah bencana alam.

Analisis berbagai pakar gempa dan tsunami di Indonesia menyinggung tentang potensi terjadi Mentawai dan Selat Sunda Megathrust. Perkiraan kekuatan gempa Mentawai bisa sebesar 8,8 SR dan gempa Selat Sunda sebesar 8,7 SR yang bisa mengakibatkan gelombang tsunami dahsyat. Perlu diingat,selain gempa dan tsunami, masih ada juga potensi bencana alam lainnya yakni peningkatan aktivitas gunung berapi, cuaca ekstrem, dan lain-lain.

Upaya Maksimum Jepang

Terpampang pada dindingdinding interior Gedung Disaster Reduction and Human Renovation Institute di Kobe, Jepang, perenungan orang Jepang tentang proses pemulihan akibat bencana alam yaitu: Pertama, selamat dari bencana adalah keajaiban.Kedua,tidak ada orang yang bisa memikirkan hari esok. Ketiga, rekonstruksi mencakup uji coba dan perasaan tidak aman yang kontinu.

Keempat, proses pemulihan setiap orang berbeda. Kelima, pemulihan artinya tidak pernah melupakan bencana gempa bumi (yang pernah terjadi di Kobe). Bahkan ada wahana untuk menyaksikan peristiwa gempa bumi Kobe yang dahsyat ketika Kobe tidak bersiap diri. Selain di Kobe, tidak jauh dari Tokyo juga berdiri National Institute of Mental Health (NIMH), National Center of Neurology and Psychiatry (NCNP).

Berafiliasi dengan Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan dan mencontoh model NIMH Amerika Serikat, didirikan pada 1952 dalam rangka menjawab sebuah resolusi tambahan, yaitu “kebutuhan untuk mengembangkan pusat kesehatan jiwa nasional” yang diadopsi dari Undang-Undang Kesehatan Jiwa 1950.Lebih dari 1000 ahli diberikan kesempatan untuk menimba ilmu baru dalam program pelatihan setiap tahun. NIMH terdiri atas beberapa departemen, di antaranya Departemen Kesehatan Jiwa Dewasa yang membawahi beberapa seksi termasuk Seksi Kesehatan Jiwa Bencana.

Pascagempa bumi dan tsunami yang melanda bagian timur Jepang pada 11 Maret 2011, dan berdampak pada Reaktor Nuklir Fukushima, banyak sekali dikerahkan peneliti untuk bekerja jangka panjang dalam upaya meretas masalah kesehatan jiwa korban bencana alam dan tenaga kesehatan jiwa, dan diakui sampai saat ini penelitian masih terus dilakukan.

Persiapan Indonesia

Cita-cita memiliki NIMH tampaknya begitu utopis di Indonesia, namun tidak dipungkiri dapat menindaklanjuti dampak bencana alam terhadap kondisi kejiwaan bangsa Indonesia. Seringkali model project yang baik sekalipun menjadi “almarhum” sebelum tumbuh. Seperti sebuah program kalakarya psychological first aid (PFA) yang pernah diterapkan untuk 400 perawat dari lima rumah sakit jiwa se-Jawa Tengah dalam fase tanggap darurat Merapi pada November 2010 tampaknya juga tidak berlanjut ke regio rawan bencana alam lainnya sebagai bagian dari upaya komprehensif penanganan kesehatan jiwa akibat bencana alam.

Begitu pula dengan edukasi siaga bencana tidak diterapkan secara seragam di seluruh wilayah Indonesia. Masih ada rentang cara edukasi yang berbeda yaitu sebatas pengetahuan saja dan/atau dengan mencakup aspek pelatihan. Dengan pelatihan, siapa pun dapat berpikir dan bertindak saat menghadapi bencana sehingga tidak melulu teoritis. Muatan sikap empatis terhadap korban bencana adalah juga sebuah imperasi. Dalam kerangka berpikir permisif akan mengatakan setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda terhadap edukasi siaga bencana.

Aceh, sebagai wilayah rawan bencana, tentu mengimplementasikan edukasi dalam muatan lokal disertai pelatihan karena dianggap perlu. DKI Jakarta, sebagai ibu kota, harus meningkatkan edukasi siaga bencana jangan hanya sebatas integrasi. Energi dan perhatian begitu terfiksasi pada berbagai pemberitaan “perang” politik Indonesia menjelang 2014 sehingga terjangkit amnesia bencana alam.Tampaknya ada sebuah rasa tanggung jawab yang tercecer di mana perlu juga disediakan satu saluran televisi yang khusus mengupas berbagai aspek bencana alam.

Selain aspek ilmiah bencana alam itu sendiri, juga penjelasan tentang mitigasi, strategi adaptasi manusia, penyampaian kurikulum bencana sesuai karakteristik pemirsa, bahkan pemberian dosis penenang jiwa. Mungkin aneh, tetapi akan mengembalikan kita kepada realita potensi bencana alam di Indonesia dan tidak ada gunanya lagi untuk berada dalam mekanisme pertahanan diri denial atau menolak realita yang tidak mengenakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar