Gotong Royong Memajukan Bangsa
Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri
SUMBER
: SUARA KARYA, 30 April 2012
Founding fathers memberi pesan kepada
kita melalui Pancasila bahwa bangsa Indonesia yang dijajah selama 350 tahun
akan maju manakala mau menerapkan nilai-nilai luhur bangsa, bersatu dan hidup
secara gotong royong. Kehidupan gotong-royong bukan saja dalam membangun rumah
atau ramai-ramai di kampung melakukan bersih desa, tetapi menjadikan
kebersamaan, peduli dan tolong-menolong antar-sesama sebagai budaya bangsa
dalam segala demensi kehidupannya. Ironisnya, budaya gotong-royong dalam
kebersamaan itu makin tipis atau sengaja dikikis dengan gencarnya pameran pola
hidup individualistik yang memamerkan kehebatan diri pribadi seperti tokoh
Superman dengan segala kelebihannya.
Di samping diskusi yang tidak ada habisnya tentang upaya
pemberantasan korupsi dan cepatnya muncul koruptor-koruptor baru dengan
besarannya yang luar biasa, bangsa ini juga sedang bergulat dengan upaya
pengentasan kemiskinan. Pidato dan seminar marak di mana-mana mempertontonkan
konsep yang kehebatannya saling unggul-mengungguli. Pemerintah juga tidak kalah
gesit mencoba mengemas program yang biasanya indah dalam konsep tetapi miskin
dalam pelaksanaannya di lapangan.
Falsafah dasar yang indah sebagai latar belakang konsep biasanya
tidak diikuti oleh sistem birokrasi yang kurang trengginas, tidak lentur dan
justru cenderung kaku karena alasan akuntabilitas atau derasnya arus melawan
korupsi yang ditata seakan mencurigai semua pihak karena ingin menunjukkan
budaya baru yang terbuka dan bersih.
Syarat utama pengembangan budaya gotong-royong diganti dengan
aturan proyek yang segalanya harus ditenderkan sehingga menghasilkan pemenang
yang melaksanakan proyek secara efektif dan efisien, memilih pelaksana yang
biayanya rendah dengan hasil luar biasa, serta mendatangkan keuntungan materi
yang besar dan membawa nikmat. Karena itu, poster-poster besar digelar di jalan
protokol yang jarang dilewati keluarga miskin yang menjadi sasaran. Atau, di
muka kantor yang empunya proyek, atau di dekat kantor bupati agar mendapat
pujian. Atau, di tempat sepi yang jarang dikunjungi orang miskin.
Secara sengaja atau tidak, grafis yang disajikan dibuat indah
dengan lukisan dan gambar bintang selebriti cantik yang tidak ada padanannya di
desa atau di antara keluarga yang menjadi sasaran. Sehingga, apabila sasaran
bisa melihat billboard yang dipajang, pasti merasa informasi itu bukan
untuknya, tetapi untuk yang gambarnya ada dipajang di situ. Ironis, tetapi
itulah yang sedang terjadi dalam gerakan untuk rakyat miskin di Tanah Air kita
ini.
Kondisi ini menjauhkan dan mematikan partisipasi masyarakat miskin
yang tersisih dari medan dan arena perhatian karena tidak memenuhi syarat
administratif. Dengan demikian unsur utama gotong-royong yang mengajak
masyarakat berpartisipasi secara inklusif hilang dan segala sesuatunya berjalan
melalui sistem formal yang tidak inklusif tetapi ekslusif hanya bagi mereka
yang mampu dan memenuhi segala persyaratan administratif semata.
Hasilnya memang bisa sangat tinggi nilainya, tetapi mereka yang
miskin, yang kurang pendidikan dan jauh dari syarat-syarat administratif aturan
birokrasi akan hanya bisa menjadi penonton dan tidak menikmati hasilnya. Akses
hampir pasti tidak diperolehnya karena belum apa-apa sudah di diskualifikasi
dan tidak bisa berpartisipasi.
Model semacam ini menjauhkan berbagai kegiatan pembangunan,
utamanya upaya pengentasan kemiskinan, tidak mencapai target. Karenanya, dana
proyek harus "dihabiskan" agar ukuran kinerjanya bagus. Akibatnya,
kegiatan perlu disalurkan kepada keluarga yang dibuat seperti miskin, tetapi
sesungguhnya bukan sasaran miskin yang didata oleh BPS.
Oleh karena itu, kita harus berhati-hati bahwa andaikan sesuatu
proyek dilihat dari sudut rancangan program bisa tampak manis, dalam
pelaksanaan bisa dirusak melalui penentuan sasaran fiktif yang mudah dijangkau.
Telah menjadi rahasia umum bahwa keluarga miskin selalu juga miskin syarat
untuk bisa mendapatkan pelayanan, termasuk kredit murah dari bank.
Segala jenis persyaratan mulai yang paling sederhana berupa kartu
penduduk, sasaran keluarga miskin dengan mudah dapat dianggap tidak memenuhi
syarat sehingga bisa dianggap tidak berhak memperoleh bantuan untuk orang
miskin. Dan, karena petugas yang patuh terhadap aturan main dan harus bisa
mencapai target kinerja, maka dicari akal agar targetnya tercapai. Otak harus
diperas untuk menghasilkan target yang memenuhi segala syarat administratif.
Akhirnya muncul target fiktif yang sah menurut hukum tetapi meleset dari
falsafah pengentasan kemiskinan yang digagas para ahli dengan otak cemerlang.
Karena itu, gegap gempita laporan dana yang terserap biasanya
tidak disertai laporan jumlah dan nama keluarga miskin yang mendapat kesempatan
dan karena itu makin sejahtera. Ada laporan penurunan tingkat kemiskinan,
tetapi penurunannya sangat kecil dibandingkan triliunan dana dan gegap
gempitanya program yang dikucurkan ke desa dan pedukuhan.
Kegiatan untuk mengembangkan kepedulian keluarga kaya dan pandai
pada keluarga miskin dan kurang mampu tidak ada dananya. Kampanye merokok jauh
lebih marak dibanding kampanye anti merokok. Kampanye untuk membeli barang
mewah dan konsumsi lainnya jauh lebih marak dari kampanye untuk menyiapkan diri
agar tidak terkena demam berdarah.
Upaya luhur membangun kebersamaan dan hidup gotong-royong dihantam
habis oleh upaya persaingan yang menghasilkan pameran kemakmuran yang
menonjolkan pribadi yang tidak ada lawannya. Ciri kebersamaan dan kedamaian
yang menghindari persaingan sebagai ciri hidup gotong-royong dan kebersamaan
tidak mendapat perhatian. Karena itu, pengentasan kemiskinan perlu dikembangkan
menjadi gerakan nasional yang berciri gotong-royong yang nyata dan dinamis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar