Jumat, 27 April 2012

Oh… Calon Hakim Agung


Oh… Calon Hakim Agung
Sudjito, Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UGM  
SUMBER : SINDO, 27 April 2012


Mengecewakan. Bukan kali ini saja, melainkan setiap tahun penerimaan pasti kekecewaan tentang etika dan profesionalitas calon hakim agung muncul.

Diwartakan di harian ini (SINDO, 24/4) Ketua Komisi Yudisial (KY) Eman Suparman mengaku kecewa terhadap 45 calon hakim agung yang mengikuti ujian wawancara terbuka di hadapan tujuh komisioner KY dan dua guru besar ilmu hukum. “Tidak memuaskan, mereka tidak paham kode etik, banyak mengelak,” katanya. Dia mencontohkan, mereka tidak bisa menjawab saat ditanya etika mana yang mengatur hakim harus mundur dari perkara yang ditangani jika mempunyai hubungan kepentingan langsung.

Seharusnya mereka mampu menjawab pertanyaan tentang etika dan profesionalitas hakim tersebut. Dengan kondisi itu, mudah diprediksi apa yang akan terjadi dengan proses peradilan di Mahkamah Agung (MA) ke depan. Makin suram.Tambahan lima hakim agung terpilih dari 15 orang yang lolos seleksi di DPR tidak akan menambah bagus kinerja MA, bahkan sebaliknya.

Sehat Lahir-Batin

Kita mendambakan hakim agung yang sehat lahir-batin,tetapi yang ada hanyalah (calon) hakim agung yang ”sakit”. Sakitnya parah sebab bukan sekadar penyakit luar (fisik),melainkan sakit rohaniah. Sungguh berbeda perilaku hakim agung sehat dan hakim agung sakit. Pertama, hakim agung sehat senantiasa amanah menjalankan profesi, berupaya menghadirkan keadilan Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi.

Telinganya peka terhadap bisikan hati nurani yang nyaring menyuarakan kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Sementara itu hakim sakit menjalankan profesi karena jabatan untuk mencukupi kebutuhan materiil-duniawi. Telinganya peka hanya terhadap ”suara perut”. Kedua, hakim agung sehat menjadikan hukum ilahiah sebagai sandaran dan kaidah tertinggi dalam menjalankan profesinya, sementara hakim agung sakit berkiblat pada perundang-undangan semata. Padahal, hukum itu not only stated in the book, tetapi juga hukum yang hidup di masyarakat (living law) maupun hukum di alam transendental. Ketiga, hakim agung sehat selalu melakukan langkah kebaikan secara kreatif dan inovatif demi keadilan substantif, sementara hakim agung sakit rentan terhadap suap-menyuap, pat gulipat, kongkalikong dengan sesama calo perkara dan puas dengan keadilan formalistik.

Keempat, hakim agung senantiasa sadar bahwa segala putusannya wajib dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, bangsa, dan negara bahkan sampai ke hadirat Ilahi Robbi,sementara hakim agung sakit merasa telah selesai dengan tugasnya ketika palu diketokkan, tanpa peduli apa implikasinya di kemudian hari. Etika dan profesionalitas merupakan bagian terpenting dari kepribadian hakim agung. Mengobati penyakit (calon) hakim agung memang tidak mudah. Penyakit rohaniah itu tidak mungkin disembuhkan dengan cara-cara lahiriah dan materialistik.Peningkatan kesejahteraan hakim agung memang perlu, tetapi bukanlah obat mujarab untuk penyakit rohaniah.

Penyakit rohaniah hanya bisa disembuhkan dengan penanaman nilai-nilai moral melalui pendidikan sejak usia dini di dalam keluarga masing-masing. Keberhasilan penanaman nilai moral dapat dilihat pada aspek kognitif maupun perilaku. Uji kelayakan di KY dan DPR melalui wawancara belum menjamin konsistensi atas jawaban dengan perilakunya. Kejujuran dan etika kepentingan misalnya merupakan indikator kualitas interaksi ketika hakim agung hidup dalam keseharian di tengah-tengah masyarakatnya. Indikator demikian menjadi bagian perilaku hakim agung.

Pendidikan primer di tengah keluarga dan masyarakat perlu mengakomodasi ruang dan waktu yang cukup untuk penanaman nilai kejujuran dan sikap etis itu. Etika dan profesionalitas memang penting. Etika profesi wajib dijadikan salah satu cara pembinaan hakim agung melalui pendistribusian nilai kejujuran, kebenaran, dan keadilan sebagai invariant non physical values. Bila medium pendidikan primer dan etika profesi dapat dipadukan sebagai ”mesin” pengemban profesi hakim agung, ke depan sistem seleksi hakim agung perlu dibenahi sehingga calon-calon terbaik tergerak mengikuti proses seleksi. Tidak boleh ada politisasi selama proses seleksi.

Ekspektasi Masyarakat

Kualitas hakim agung perlu terus ditingkatkan. Meskipun pokok tugas hakim agung adalah memutus perkara di tingkat kasasi, posisinya sebagai pejabat negara dan sekaligus pegawai negeri sipil membawa implikasi pada pola hubungan birokrasi dan institusionalisasi perilaku maupun kemandirian hakim agung dalam proses peradilan. Di sinilah perilaku hakim agung berada di dua titik subjektif yaitu personal dan kelembagaan. Secara empiris sering ada gap pada dualisme posisi itu. Ekspektasi masyarakat terhadap hakim agung sangat tinggi. Masyarakat jangan dikecewakan terus-menerus.

Misal, hakim agung membebaskan atau menjatuhkan hukuman ringan bagi koruptor atau pengedar narkoba. Argumentasi hukum legal-posivistik semata dapat dicurigai sebagai ketidakprofesionalan atau ketidakjujuran. Perilaku demikian bisa berujung pada ketidakpercayaan masyarakat (public distrust).Tampilnya hakim-hakim agung yang berkualitas pasti berkorelasi dengan kualitas keadilan. Karena itu, proses seleksi hakim agung hendaknya mampu mendapatkan manusia yang benar-benar agung (luar biasa).

Sosok mantan hakim agung Bismar adalah cermin bagi para hakim agung kini dan masa depan. Kebeningan hati nurani selalu menjadi andalan setiap kali menjatuhkan putusan. Berani melawan arus demi tegaknya keadilan substantif. Semasa menjadi hakim agung kerap melakukan terobosan hukum. Ia pun tak mau diintervensi siapa pun dalam menjatuhkan putusan, termasuk oleh atasannya. Kita berharap KY dan MA mampu melahirkan generasi penerus Bismar Siregar. Wallahu’alam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar