Perlindungan Varietas Tanaman
F Rahardi, Pendiri
Forum Kerja Sama Agrobisnis
SUMBER : KOMPAS, 27 April 2012
SUMBER : KOMPAS, 27 April 2012
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman, yang ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid
pada 20 Desember 2000, jelas dimaksudkan untuk melindungi varietas tanaman
budidaya, bukan varietas tanaman asli di hutan.
Dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat
(10), disebutkan, menteri adalah Menteri Pertanian. Lalu dalam Ayat (11)
disebutkan bahwa departemen adalah Departemen Pertanian. Namun, dalam
”Mengingat” Ayat (4) tertulis: UU No 5/1994 tentang Pengesahan United Nations
Convention on Biological Diversity (Konvensi PBB tentang Keanekaragaman
Hayati).
Di sini ada dua materi saling bertentangan.
Bab I Pasal 1 Ayat (10) dan (11) menunjuk, varietas yang dimaksud adalah
varietas budidaya (kultivar). Namun, dalam ”Mengingat” Ayat (4), acuannya
Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati yang mengatur spesies dan varietas
asli yang berasal (atau masih) di hutan. Untuk acuan ini, yang bertugas
menangani bukan Kementerian Pertanian, melainkan Kementerian Kehutanan melalui
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA).
Wilayah BKSDA
Dalam bagian ”Mengingat” Ayat (5) tertulis:
UU No 7/1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia). Berarti, UU ini juga mengatur perlindungan
varietas dalam ruang lingkup perdagangan dunia. Namun, dalam Bab VIII Pasal 65
Ayat (1) disebutkan: Dalam melaksanakan pengelolaan PVT (Perlindungan Varietas
Tanaman), Kantor PVT bertanggung jawab kepada menteri. Sesuai Bab I Pasal 1
Ayat (10) ini berarti Menteri Pertanian, yang hanya akan mengikat secara hukum di
wilayah Indonesia.
Karena dalam ”Mengingat” Ayat 4 UU ini
disebut Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati, banyak aparat Kementerian
Pertanian dan dinas pertanian di daerah yang masuk ke wilayah BKSDA dan Ditjen
PHKA. Mereka mau mendaftar varietas (misalnya anggrek) yang merupakan varietas
asli dari alam, bahkan berniat memberi nama (klaim nama) atas salah satu
varietas unggulan daerah.
Padahal, pemberian, perubahan, atau
penambahan nama botani tanaman asli baru diakui secara internasional apabila
telah tercatat dalam The International Plant Names Index (IPNI). Lembaga ini
dikelola bersama oleh The Royal Botanic
Gardens, Kew (Index Kewensis); The
Harvard University Herbaria (Gray Herbarium Index); dan The Australian National Herbarium.
Tiga lembaga pengelola IPNI tersebut baru
akan mencatat dan mengumumkan secara resmi nama spesies, varietas, atau forma
setelah mendapat rekomendasi dari The
International Code of Nomenclature for algae, fungi, and plants (ICN).
Setiap perubahan atau penambahan nama baru tersebut direkomendasi ICN setelah
mendapat persetujuan dari Kongres Botani Internasional (International Botanical
Congress, IBC) yang diselenggarakan oleh The International Association of
Botanical and Mycological Societies (IABMS).
Lain halnya kalau yang akan didaftarkan
adalah varietas (kultivar) tanaman baru hasil pemuliaan. Dalam dunia
internasional, semua varietas dan kultivar baru akan memperoleh perlindungan
bila sudah terdaftar di The International
Code of Nomenclature for Cultivated Plants (ICNCP, Cultivated Plant Code). Lembaga yang berwenang mencatat varietas
dan kultivar tanaman budidaya dalam ICNCP adalah The International Cultivar Registration Authority (ICRA). ICRA baru
akan mencatatkannya apabila sudah mendapat persetujuan dari The International Union for the Protection
of New Varieties of Plants (UPOV, dari akronim bahasa Perancis: Union Internationale pour la Protection des
Obtentions Végétales).
Sampai Desember 2011, UPOV beranggotakan 70
negara. Indonesia belum jadi anggota sehingga varietas atau kultivar apa pun
yang dihasilkan oleh para ahli dan peneliti kita—apakah itu tanaman biji-bijian
(serealia), umbi-umbian, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan—setiap saat
bisa didaftarkan oleh negara lain dan diklaim sebagai milik negara pendaftar
tersebut.
Di samping itu, ada delapan tanaman (cemara,
bunga clematis, bunga narsisus, bunga dahlia, bunga delphinium, bunga anyelir,
bunga lilies, dan anggrek) yang pendaftarannya bukan di ICRA, melainkan di The Royal Horticultural Society (RHS).
Khusus untuk anggrek, RHS bahkan menerbitkan The International Orchid Register, dan The Orchid Review berselang tiga bulan, yang bisa diakses di
internet. Para penganggrek perorangan Indonesia juga sudah banyak mendaftarkan
hasil silangan mereka ke The International
Orchid Register, RHS, sehingga bisa dapat perlindungan hukum yang mengikat
secara internasional.
Dunia pemuliaan tanaman di Indonesia jadi
seperti dagelan. Tanaman budidaya penting, seperti padi, jagung,
kacang-kacangan, umbi-umbian, sayuran, buah-buahan hasil pemuliaan para breeder
kita hanya dilindungi oleh UU Perlindungan Varietas Tanaman yang mengikat
secara hukum di wilayah Indonesia. Sebab, acuan UU ini bukan ICRA dan UPOV
(Indonesia belum jadi anggota UPOV), melainkan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman
Hayati yang hanya mengatur varietas asli. Untuk melindungi spesies dan varietas
keanakeragaman hayati ini acuannya bukan Agreement
Establishing The World Trade Organization, melainkan The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora (CITES).
Bagai Macan Ompong
Indonesia melalui Bidang Botani, Pusat
Penelitian Biologi LIPI (pemegang otoritas keilmuan), dan BKSDA, Ditjen PHKA
(pemegang otoritas hukum) adalah anggota CITES. Para pejabat dari dua lembaga
pemegang otoritas CITES juga rutin mengikuti sidang-sidang CITES. Hasil
silangan anggrek kita juga sudah banyak yang teregistrasi di RHS.
Tumbuhan liar dan anggrek silangan sudah
diurus sampai ke tingkat dunia. Namun, varietas penghasil pangan, yang
merupakan hajat hidup masyarakat, justru baru dilindungi oleh UU Perlindungan
Varietas Tanaman yang hanya mengikat secara hukum di dalam negeri. Ibaratnya,
apabila jagung atau padi hasil pemuliaan para peneliti kita diserobot oleh
Vietnam (yang sudah menjadi anggota UPOV), lalu didaftarkan ke ICRA, kita akan
gigit jari.
Jadi, UU Perlindungan Varietas Tanaman bukan
sekadar kontroversial karena ayat-ayat dan pasalnya saling bertabrakan dengan
ayat-ayat di bagian ”Mengingat”. UU ini juga ibarat macan ompong. Meskipun
dalam ”Mengingat” dicantumkan UU No 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade
Organization, karena kita belum jadi anggota UPOV, varietas yang dilindungi
UU itu dalam praktik sama sekali tak dapat perlindungan apa pun dari pemerintah
kita.
Justru tanaman liar malahan lebih rapi diurus
melalui Bidang Botani, LIPI, serta BKSDA dan Ditjen PHKA. Bahkan, anggrek yang
bukan merupakan hajat hidup orang banyak sudah ditangani lebih rapi
dibandingkan tanaman pangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar