Senin, 30 April 2012

Angie Ditahan, Lalu?


Angie Ditahan, Lalu?
Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang 
SUMBER : SINDO, 30 April 2012


Setelah berlangsung hampir tiga bulan, akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Angelina Sondakh. Penahanan ini menjawab salah satu pertanyaan yang menggantung sejak politikus Partai Demokrat iniditetapkansebagaitersangka awal Februari lalu.Pertanyaan itu: Angelina Sondakh ditetapkan sebagai tersangka, namun mengapa tidak segera ditahan? Sejauh yang bisa diamati, sadar atau tidak,pertanyaan itu menyeruak ke permukaan tidak terlepas dari beredarnya kabar bahwa terjadi perbedaan pendapat di antara pimpinan KPK mengenai penahanan Angelina Sondakh (Angie).

Konon, perbedaan pendapat itu lebih pada pilihan strategi yang dipilih KPK dalam menindaklanjuti informasi mengenai peran dan posisi Angie dalam beberapa kasus.Untungnya, perbedaan pandangan tidak bergerak ke arah perpecahan di tubuh KPK. Dengan penahanan yang dilakukan KPK, setidaknya, pandangan miring yang beredar selama ini bahwa KPK tidak cukup bukti dalam menetapkan Angie sebagai tersangka menjadi termentahkan.

Penjelasan KPK yang menyatakan bahwa Angie diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima hadiah/janji yang berkaitan dengan pembahasan anggaran Wisma Atlet Kementerian Pemuda dan Olahraga dan proyek universitas milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk tahun anggaran 2010–2011 menepis keraguan yang ada. Sebagaimana dikemukakan Juru Bicara KPK Johan Budi, Angie dijerat Pasal 11 atau Pasal 12 huruf (a) atau (b) dan Pasal5ayat( 2) UUPemberantasan Tindak Pidana Korupsi joPasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP dengan ancaman hukuman maksimal selama 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

Lebih jauh Johan Budi menegaskan,KPK menemukan dua alat bukti untuk menetapkan penahanan Angie (SINDO,28/4). Merujuk penjelasan resmi KPK tersebut, saya termasuk yang percaya bahwa langkah menahan Angie lebih pada persoalan waktu dan mematangkan bukti.Karena itu,pertanyaan lainnya yang menggantung di kepala banyak pihak yang concernatas agenda pemberantasan korupsi: bagaimana setelah Angie ditahan? Pertanyaan ini menjadi penting karena banyaknya tokoh politik dan institusi yang diindikasikan terkait kasus ini. Selain itu, posisi Angie di DPR juga memberi bobot tambahan pertanyaan tersebut.

Pintu Masuk

Jamak diketahui, korupsi adalah white collar crime yang pada umumnya melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Karena dilakukan banyak orang, korupsi merupakan kejahatan yang terorganisasi (organized crime). Selain itu, korupsi juga dilakukan dengan modus operandi yang sangat canggih sehingga sulit dibuktikan. Kondisinya akan makin complicated apabila sebuah kasus melibatkan mereka yang memiliki otoritas politik amat kuat dan tinggi.

Tidak terbantahkan, kasus yang menempatkan mantan Putri Indonesia ini pada salah satu titik sentral berita selama ini memenuhi semua karakter yang terdapat dalam kejahatan korupsi. Merujuk keterangan pihak yang terkait dengan pusaran skandal yang mengantarkan Angie menjadi tersangka, dapat dipastikan bahwa kasus ini merupakan bentuk konkret dari white collar crime dengan pelaku bukan tunggal dan terorganisasi secara baik. Melihat tingkat kesulitan dalam menemukan alat bukti, modus operandinya nyaris sempurna. Dari semua karakter yang ada, skandal ini menjadi tidak sederhana karena terindikasi melibatkan banyak figur yang memiliki otoritas politik sentral di negeri.

Berkaca pada proses penegakan hukum pemberantasan korupsi selama ini, semakin banyak figur dengan otoritas politik yang terlibat, proses hukum semakin sulit bekerja secara normal.Banyak pengalaman membuktikan, skandal yang melibatkan pelaku di pusaran kekuasaan acapkali melumpuhkan proses hukum. Jikapun tidak sampai lumpuh, proses hukum sering terperangkap dalam jalur lambat. Dalam konteks itu, dengan menahan Angie, KPK harusnya mampu melakukan langkah besar lainnya, yaitu dengan menempatkan penahanan ini sebagai pintu masuk membongkar jejaring yang terkait dengan Angie.

Dari perspektif apa pun sulit untuk menerima argumentasi bahwa Angie adalah pemain tunggal. Tambah lagi, KPK menyatakan bahwa keterkaitan Angie tidak hanya dalam skandal Wisma Atlet di Kementerian Pemuda dan Olahraga, tetapi juga pada sejumlah proyek universitas di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan menyebut dua kementerian itu, sulit diterima akal sehat apabila status tersangka (dan juga penahanan) berhenti sampai pada Angie.KPK secara eksplisit bahkan menyatakan, perkembangan kasus Angie tidak terlepas dari posisinya sebagai anggota Badan Anggaran DPR ketika pembahasan proyek Kemenpora dan Kemendiknas.

Dengan penjelasan itu, publik menunggu kemampuan dan kemauan KPK “menjamah” pihak lain dengan menggunakan status hukum Angie sebagai pintu masuk. Tanpa itu, sebagai lembaga yang menyandang predikat extraordinary, dapat dikatakan sulit keluar dari perilaku tebang pilih dalam memberantas korupsi. Karena itu, salah satu ujian terberat KPK, bagaimana menjadikan semua mereka yang terkait, termasuk yang pernah disebut sebagai “ketua besar”, menjadi tersangka.

Posisi di DPR

Sesuai dengan karakter yang ada, kasus ini pasti tidak mudah untuk dibongkar secara tuntas dalam waktu singkat. Karena itu, tidak berlebihan jika sementara pihak berharap upaya membongkar semua misteri yang berada di balik skandal Wisma Atlet dan proyek ke sejumlah universitas akan lebih mudah apabila Angie membeberkan pihak-pihak yang terlibat dan ikut menikmatinya. Namun, membaca situasi yang ada selama ini, harapan akan ada niat baik itu boleh jadi seperti “pungguk merindukan bulan”.

Karena itu, pasca penahanan Angie, publik tengah menunggu sikap Partai Demokrat terhadap posisi Angie di DPR. Sebagai partai politik dengan kursi terbesar di DPR, status hukum Angie tentu memerlukan penyikapan secara benar dan tepat. Untuk ini, boleh jadi, menonaktifkan Angie akan menjadi pilihan yang lebih arif. Terkait dengan hal itu, publik tidak ingin lagi mendengar lagu lama: status menunggu proses hukum memiliki kekuatan hukum tetap.

Dengan pilihan menonaktifkan, di salah satu sisi, Angie bisa lebih fokus menghadapi proses hukum. Sementara, di sisi lain, institusi DPR pun dapat dijauhkan dari keruwetan proses hukum Angie.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar