Senin, 30 April 2012

Solusi Sekaligus Masalah


Solusi Sekaligus Masalah
Sumaryoto, Anggota Komisi XI DPR, Fraksi PDI Perjuangan
SUMBER : SUARA MERDEKA, 30 April 2012


IBARAT buah simalakama: dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Itulah beban  pemerintah setelah DPR menolak kenaikan harga BBM bersubsidi, akhir Maret lalu. Pasal 7 Ayat (6A) UU APBN-Perubahan 2012 memang memberi keleluasaan kepada pemerintah menyesuaikan harga BBM bersubsidi bila harga minyak mentah Indonesia (ICP) rata-rata di atas 15% dari ICP yang diasumsikan APBN-P dalam enam bulan berjalan.

Tapi hingga kini harga ICP belum melampaui 15% di atas asumsi tersebut sehingga pemerintah tidak bisa menaikkan harga BBM bersubsidi. Di sisi lain, UU yang sama membatasi kuota BBM bersubsidi 40 juta kiloliter, namun baru sampai April saja pemakaian BBM bersubsidi sudah sangat tinggi sehingga dikhawatirkan kuota 40 juta kiloliter akan jebol hingga akhir tahun.

Pemerintah pun menghadapi buah simalakama. Apalagi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam keputusannya terkait UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar melanggar konstitusi.
Wapres Boediono ketika menutup Musrenbangnas di Jakarta, Kamis (26/4) menyatakan, dalam tiap liter premium uang subsidi Rp 5.000 terbakar. Dalam hitungan Pertamina, harga keekonomian premium cuma selisih Rp 200 dari pertamax. Bila kini harga pertamax Rp10.000/ liter seharusnya premium Rp 9.800. Menteri ESDM Jero Wacik menyatakan, anggaran Rp 340 triliun akan habis hanya untuk subsidi energi, termasuk BBM.

Pemerintah kemudian menawarkan solusi membatasi penggunaan BBM bersubsidi mulai 1 Mei 2012. Mobil di atas 1.500 cc dilarang menggunakan premium, harus pertamax. Pertanyaannya, pembatasan subsidi ini solusi atau masalah?
Bagi pemerintah barangkali bisa jadi solusi, meskipun belum tentu benar-benar solusi karena mekanisme itu rawan penyimpangan di lapangan. Apalagi Jero Wacik juga belum begitu yakin hasilnya. Bagi rakyat yang memiliki mobil dengan cc 1.500 ke atas, jelas merupakan masalah karena dipaksa membeli pertamax yang harganya lebih dari lipat dua harga premium.

Asas Keadilan

Padahal Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan, bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemilik mobil dengan cc 1.500 ke atas juga rakyat. Mereka juga berhak menikmati BBM bersubsidi. Di sinilah keadilan pemerintah dipertanyakan.

Di sisi lain, langkah pemerintah memaksa penggunaan pertamax tidak akan menyelesaikan masalah dalam jangka panjang karena ke depan Indonesia tetap bergantung pada energi impor untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Mengapa pemerintah tak segera merealisasikan konversi energi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG) seperti sudah lama diwacanakan? Bila program ini berjalan, efisiensi BBM bersubsidi menjadi 18,75% dengan asumsi 15% dari total BBM bersubsidi dikonsumsi angkutan umum, angkutan barang, dan kendaraan dinas pemerintah. Pemerintah harus melihat keberhasilan program konversi minyak tanah ke gas yang mampu menghemat subsidi Rp 20,99 triliun.    
Siapkah pemerintah dengan konversi BBM ke BBG? Melihat sikap sejumlah menteri yang menggebu hanya pada pembatasan BBM bersubsidi, kita patut menduga pemerintah secara infrastruktur belum siap merealisasikan konversi itu, termasuk menyediakan converter kit. Indonesia butuh sedikitnya 250.000 converter kit per tahun dan harus dipenuhi melalui impor, terutama dari Italia sebesar 10%, karena industri kita belum mampu memenuhinya.

Pemerintah menunjuk tiga BUMN, yakni PT Dirgantara Indonesia, Pindad, dan PT Wijaya Karya untuk memproduksi converter kit, bekerja sama dengan Italia yang merupakan produsen  terbesar di dunia dan mengekspor ke 60 negara. Pendek kata, pembatasan BBM bersubsidi bukan solusi strategis, bahkan berisiko menimbulkan masalah baru. Pemerintah harus belajar pada Perum Pegadaian yang konon bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar