Jumat, 27 April 2012

Regionalisme Baru Arab


Regionalisme Baru Arab
Hasibullah Satrawi, Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 26 April 2012


Revolusi dunia Arab yang terjadi dalam setahun terakhir terus menciptakan perubahan-perubahan baru dan mendasar di kawasan Timur Tengah. Perubahan terbaru yang paling kasat mata adalah lahirnya regionalisme baru yang justru lebih berperan dibanding Liga Arab sebagai organisasi pemersatu negara-negara Arab.

Sebagai contoh, Dewan Kerja Sama Negara-Negara Teluk (GCC) belakangan lebih dikenal dan paling berperan di banding Liga Arab, terutama dalam menghadapi tantangan revolusi yang terus mengguncang dunia Arab sampai hari ini. Di saat Liga Arab hanya memainkan peran kata-kata, GCC justru terus mengukuhkan peran strategisnya dalam menghadapi guncangan politik yang terjadi.

Setidaknya ada dua hal penting yang terjadi di dunia Arab saat ini seiring de ngan lahirnya regionalisme baru di atas. Pertama, menguatnya ketergantungan baru terhadap intervensi pihak asing dalam rangka menyelesaikan gejolak politik. Kedua, pergeseran peta negara-negara Arab yang memainkan peran signifikan dalam konteks perkembangan politik di Timur Tengah.

Intervensi

Pada awalnya, gelombang revolusi di dunia Arab terjadi tanpa adanya intervensi dari dunia luar. Hal ini terlihat dari revolusi yang menumbangkan Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir. Alih-alih, pihak-pihak luar tampak “menjaga jarak” dari gejolak politik di dua negara itu untuk menegaskan mereka tidak melakukan intervensi apa pun.

Kondisi ini berbeda seratus persen dengan revolusi yang terjadi di Libya. Dalam konteks revolusi Libya, justru sejumlah negara luar seakan berlomba untuk menjadi pahlawan yang bisa menyelamatkan (minyak) rakyat Libya dari rezim Qadafi. Hingga akhirnya NATO melakukan serangan udara untuk menghancurkan kekuatan rezim Qadafi dengan membawa mandat resmi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dan, akhirnya Sang Kolonel pun berhasil dihancurkan bersama rezimnya.

Bisa dibilang, inilah kisah awal dari intervensi dunia luar terhadap krisis politik yang terjadi di dunia Arab dalam setahun terakhir. Bahkan, pada tahap selanjutnya, intervensi dunia luar berhasil menciptakan budaya ketergantungan baru sebagaimana telah disebutkan. Di mana gejolak politik yang terjadi seakan tak bisa diselesaikan tanpa adanya campur tangan dari dunia luar.

Apa yang saat ini terjadi di Suriah dan sebelumnya di Yaman bisa dijadikan sebagai salah 
satu contoh. Untuk konteks penyelesaian revolusi yang terjadi di Suriah saat ini, intervensi dunia luar terus dipaksakan. Baik dunia luar dalam arti Amerika Serikat (AS) bersama sekutu-sekutunya maupun dunia luar dalam arti Cina, Rusia, bahkan juga Iran.

Pun demikian dengan yang sudah terjadi dalam konteks penyelesaian gejolak politik di Yaman. Intervensi dunia luar yang diprakarsai oleh negara-negara Arab yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dan AS berhasil menekan Presiden Ali Abdullah Saleh memundurkan diri dan menyerahkan ja batannya kepada wakilnya. Hingga akhirnya peralihan kekuasaan bisa dilaksanakan secara damai melalui pemilu.

Hal yang harus digarisbawahi, intervensi dunia luar tidaklah gratis. Secara matematis, intervensi dunia luar tidak mem berikan “keuntungan yang adil” bagi mereka yang melakukan intervensi dan rakyat negara terkait. Melalui intervensi yang dilakukan, sejumlah negara luar bisa mendapatkan keuntungan yang bersifat strategis. Sementara, rakyat negara terkait hampir tak mendpatkan apa pun dari intervensi yang dilakukan kecuali kegaduhan demi kegaduhan seperti yang terjadi di Libya dan Yaman.

Revolusi di dunia Arab telah menimbulkan pergeseran kekuatan di dunia Arab. Pada tahun-tahun sebelumnya, Mesir, Yordania, dan Arab Saudi menjadi “trio macan” penguasa Arab yang sangat diperhitungkan dalam konteks politik kawasan. Peta ini segera mengalami perubahan drastis bersamaan dengan datangnya gelombang revolusi.

Satu-satunya negara yang berhasil bertahan dan tetap eksis dari “trio macan“ penguasa Arab adalah Arab Saudi. Walaupun pernah dilanda unjuk rasa, namun Kerajaan Arab Saudi berhasil mengontrol keadaan bahkan mampu meningkatkan peran politiknya dalam konteks Timur Tengah.

Bersama dengan negeri sejawatnya di kawasan Teluk Arab, Arab Saudi saat ini memegang peran sentral terkait dengan pelbagai macam persoalan politik di kawasan. Hal ini terlihat jelas dari sikap negara-negara Arab Teluk terhadap gejolak politik yang saat ini terjadi di Suriah. Bahkan, negara-negara Arab Teluk sepakat menutup kantor perwakilannya di Suriah (juga mengusir Duta Besar Suriah dari negara mereka) sebagai bentuk protes terhadap caracara kekerasan yang dilakukan oleh rezim setempat dalam menghadapi para pengunjuk rasa.

Dalam konteks seperti ini, regionalisme baru menjadi persoalan baru bagi dunia Arab yang tak kalah krusial dibanding gejolak revolusi yang ada saat ini. Di satu sisi, regionalisme baru yang ada bisa menghancurkan Liga Arab yang selama ini menjadi organisasi pemersatu negara-negara Arab. Dan di sisi lain, regionalisme baru yang terjadi bisa membuka pintu bagi terjadinya politik saling menjajah di kalangan bangsa Arab sendiri.

Pada tahap tertentu, politik saling menjajah di antara sesama bangsa Arab saat ini sudah berlangsung meski masih dalam bentuknya yang terselubung. Pada saat NATO menyerang Libya, contohnya, sebagian dari negara Arab Teluk juga mengirim pesawat tempurnya untuk melumpuhkan Libya atas nama mandat PBB. Dan saat ini, negara-negara Arab Teluk juga mulai mempersenjataai kelompok oposisi Suriah atas nama bantuan kemanusiaan untuk melawan kediktatoran rezim Assad. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar