Regionalisme Baru Arab
Hasibullah Satrawi, Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia
Islam
pada Moderate
Muslim Society (MMS) Jakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 26 April 2012
SUMBER : REPUBLIKA, 26 April 2012
Revolusi
dunia Arab yang terjadi dalam setahun terakhir terus menciptakan perubahan-perubahan
baru dan mendasar di kawasan Timur Tengah. Perubahan terbaru yang paling kasat
mata adalah lahirnya regionalisme baru yang justru lebih berperan dibanding
Liga Arab sebagai organisasi pemersatu negara-negara Arab.
Sebagai
contoh, Dewan Kerja Sama Negara-Negara Teluk (GCC) belakangan lebih dikenal dan
paling berperan di banding Liga Arab, terutama dalam menghadapi tantangan
revolusi yang terus mengguncang dunia Arab sampai hari ini. Di saat Liga Arab
hanya memainkan peran kata-kata, GCC justru terus mengukuhkan peran
strategisnya dalam menghadapi guncangan politik yang terjadi.
Setidaknya
ada dua hal penting yang terjadi di dunia Arab saat ini seiring de ngan
lahirnya regionalisme baru di atas. Pertama, menguatnya ketergantungan baru terhadap
intervensi pihak asing dalam rangka menyelesaikan gejolak politik. Kedua,
pergeseran peta negara-negara Arab yang memainkan peran signifikan dalam
konteks perkembangan politik di Timur Tengah.
Intervensi
Pada awalnya, gelombang revolusi di dunia Arab
terjadi tanpa adanya intervensi dari dunia luar. Hal ini terlihat dari revolusi
yang menumbangkan Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir. Alih-alih,
pihak-pihak luar tampak “menjaga jarak” dari gejolak politik di dua negara itu
untuk menegaskan mereka tidak melakukan intervensi apa pun.
Kondisi ini berbeda seratus persen dengan
revolusi yang terjadi di Libya. Dalam konteks revolusi Libya, justru sejumlah
negara luar seakan berlomba untuk menjadi pahlawan yang bisa menyelamatkan
(minyak) rakyat Libya dari rezim Qadafi. Hingga akhirnya NATO melakukan
serangan udara untuk menghancurkan kekuatan rezim Qadafi dengan membawa mandat resmi dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Dan, akhirnya Sang Kolonel pun berhasil dihancurkan
bersama rezimnya.
Bisa
dibilang, inilah kisah awal dari intervensi dunia luar terhadap krisis politik
yang terjadi di dunia Arab dalam setahun terakhir. Bahkan, pada tahap
selanjutnya, intervensi dunia luar berhasil menciptakan budaya ketergantungan
baru sebagaimana telah disebutkan. Di mana gejolak politik yang terjadi seakan
tak bisa diselesaikan tanpa adanya campur tangan dari dunia luar.
Apa
yang saat ini terjadi di Suriah dan sebelumnya di Yaman bisa dijadikan sebagai
salah
satu contoh. Untuk konteks penyelesaian revolusi yang terjadi di Suriah
saat ini, intervensi dunia luar terus dipaksakan. Baik dunia luar dalam arti
Amerika Serikat (AS) bersama sekutu-sekutunya maupun dunia luar dalam arti
Cina, Rusia, bahkan juga Iran.
Pun
demikian dengan yang sudah terjadi dalam konteks penyelesaian gejolak politik
di Yaman. Intervensi dunia luar yang diprakarsai oleh negara-negara Arab yang
tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dan AS berhasil menekan Presiden
Ali Abdullah Saleh memundurkan diri dan menyerahkan ja batannya kepada wakilnya.
Hingga akhirnya peralihan kekuasaan bisa dilaksanakan secara damai melalui
pemilu.
Hal
yang harus digarisbawahi, intervensi dunia luar tidaklah gratis. Secara matematis,
intervensi dunia luar tidak mem berikan “keuntungan yang adil” bagi mereka yang
melakukan intervensi dan rakyat negara terkait. Melalui intervensi yang
dilakukan, sejumlah negara luar bisa mendapatkan keuntungan yang bersifat
strategis. Sementara, rakyat negara terkait hampir tak mendpatkan apa pun dari
intervensi yang dilakukan kecuali kegaduhan demi kegaduhan seperti yang terjadi
di Libya dan Yaman.
Revolusi
di dunia Arab telah menimbulkan pergeseran kekuatan di dunia Arab. Pada
tahun-tahun sebelumnya, Mesir, Yordania, dan Arab Saudi menjadi “trio macan”
penguasa Arab yang sangat diperhitungkan dalam konteks politik kawasan. Peta
ini segera mengalami perubahan drastis bersamaan dengan datangnya gelombang
revolusi.
Satu-satunya
negara yang berhasil bertahan dan tetap eksis dari “trio macan“ penguasa Arab
adalah Arab Saudi. Walaupun pernah dilanda unjuk rasa, namun Kerajaan Arab
Saudi berhasil mengontrol keadaan bahkan mampu meningkatkan peran politiknya
dalam konteks Timur Tengah.
Bersama
dengan negeri sejawatnya di kawasan Teluk Arab, Arab Saudi saat ini memegang
peran sentral terkait dengan pelbagai macam persoalan politik di kawasan. Hal
ini terlihat jelas dari sikap negara-negara Arab Teluk terhadap gejolak politik
yang saat ini terjadi di Suriah. Bahkan, negara-negara Arab Teluk sepakat
menutup kantor perwakilannya di Suriah (juga mengusir Duta Besar Suriah dari
negara mereka) sebagai bentuk protes terhadap caracara kekerasan yang dilakukan
oleh rezim setempat dalam menghadapi para pengunjuk rasa.
Dalam
konteks seperti ini, regionalisme baru menjadi persoalan baru bagi dunia Arab yang
tak kalah krusial dibanding gejolak revolusi yang ada saat ini. Di satu sisi,
regionalisme baru yang ada bisa menghancurkan Liga Arab yang selama ini menjadi
organisasi pemersatu negara-negara Arab. Dan di sisi lain, regionalisme baru
yang terjadi bisa membuka pintu bagi terjadinya politik saling menjajah di
kalangan bangsa Arab sendiri.
Pada
tahap tertentu, politik saling menjajah di antara sesama bangsa Arab saat ini
sudah berlangsung meski masih dalam bentuknya yang terselubung. Pada saat NATO
menyerang Libya, contohnya, sebagian dari negara Arab Teluk juga mengirim
pesawat tempurnya untuk melumpuhkan Libya atas nama mandat PBB. Dan saat ini,
negara-negara Arab Teluk juga mulai mempersenjataai kelompok oposisi Suriah
atas nama bantuan kemanusiaan untuk melawan kediktatoran rezim Assad. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar