Urgensi Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN)
Komaidi Notonegoro, Wakil Direktur Reforminer Institute
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 27 April 2012
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 27 April 2012
SETIAP
kali terjadi gejolak atau kenaikan harga minyak di pasar internasional,
pemerintah hampir selalu bingung mencari format kebijakan yang ideal untuk
merespons gejolak harga tersebut. Itu karena desain kebijakan energi nasional
dan kebijakan anggaran memiliki ketergantungan yang besar terhadap sektor
migas, khususnya minyak. Berdasarkan data yang ada, porsi konsumsi BBM dalam 10
tahun terakhir rata-rata masih sebesar 58,61% terhadap total konsumsi energi
final nasional. Dalam konteks anggaran, meski telah mengalami penurunan,
kontribusi penerimaan migas masih sekitar 25%35% terhadap total penerimaan
APBN.
Dalam
konteks minyak bumi, Indonesia sesungguhnya telah memasuki fase untuk lebih
berhati-hati. Berdasarkan data yang ada, cadangan minyak kita saat ini terbukti
hanya tinggal 4,3 miliar barel. Artinya, dengan jumlah penduduk yang telah
mencapai 237 juta jiwa, cadangan minyak kita hanya sekitar 18 barel per kapita.
Dengan tingkat produksi saat ini, cadangan tersebut akan habis dalam kurun
maksimal 12 tahun mendatang. Karena itu, jika bauran energi nasional masih
menggunakan pola yang lama, yaitu bergantung pada konsumsi BBM, praktis
pemenuhan energi nasional pada 12 tahun mendatang akan tergantung impor,
khususnya impor BBM.
Mengapa BBN?
Berdasarkan
data yang ada, porsi konsumsi energi final sektor transportasi dan sektor
industri pada 2010 mencapai 80,03% terhadap total konsumsi energi nasional. Konsumsi
energi final kedua sektor tersebut masing-masing sebesar 36,03% dan 44%
terhadap total konsumsi energi final nasional. Berdasarkan jenis energi yang
digunakan, sektor transportasi menggunakan BBM (99,95%), listrik (0,02%), dan
gas (0,027%), sedangkan sektor industri menggunakan batu bara (35,54%), gas
(28,86%), dan BBM (28,35%). Dari data tersebut diketahui, peran BBM dalam
mendukung aktivitas dan pertumbuhan kedua sektor tersebut masih cukup
signifikan.
Meski
bukan merupakan negara yang kaya akan sumber energi (khususnya energi fosil),
Indonesia memiliki potensi sumber energi yang bervariasi.
Selain energi fosil, potensi sumber energi seperti panas bumi, tenaga surya, tenaga laut, tenaga angin, tenaga air, dan bahan bakar nabati (BBN), yang notabene tidak semua negara memilikinya, tersedia di Indonesia. Berdasarkan jenis pemanfaatannya, jenis sumber energi panas bumi, tenaga surya, tenaga laut, tenaga angin, dan tenaga air hanya dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan tenaga listrik. Adapun jenis sumber energi yang memungkinkan digunakan untuk menyubstitusi penggunaan BBM adalah gas dan BBN.
Selain energi fosil, potensi sumber energi seperti panas bumi, tenaga surya, tenaga laut, tenaga angin, tenaga air, dan bahan bakar nabati (BBN), yang notabene tidak semua negara memilikinya, tersedia di Indonesia. Berdasarkan jenis pemanfaatannya, jenis sumber energi panas bumi, tenaga surya, tenaga laut, tenaga angin, dan tenaga air hanya dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan tenaga listrik. Adapun jenis sumber energi yang memungkinkan digunakan untuk menyubstitusi penggunaan BBM adalah gas dan BBN.
Mengingat
gas merupakan energi fosil yang pada suatu waktu akan habis dan tidak
terbarukan dalam jangka pendek, pengembangan BBN merupa kan suatu keharusan dan
memiliki peran strategis dalam menopang ke ta han an energi nasional kini dan
mendatang. Selain merupakan energi yang terba rukan, BBN merupakan jenis energi
yang dapat menggantikan fungsi BBM dan fungsi BBM dan dapat digunakan semua
sektor.
Sayangnya,
pengembangan BBN yang diwacanakan sejak 2005 (ketika harga minyak tinggi)
hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Penggunaan
biodiesel dan bioetanol untuk 2011, yang di dalam roadmap pemanfaatan biofuel nasional ditargetkan masingmasing telah
mencapai 15% dan 10% terhadap konsumsi solar dan premium, masih di bawah
target. Pada periode tersebut konsumsi biodiesel dan bioetanol masih di bawah 2%
terhadap konsumsi solar dan premium nasional.
Berdasarkan
data pemerintah, realisasi penyerapan biodiesel pada 2009 dan 2010
masing-masing sebesar 15,32% dan 0,21% dari target yang ditetapkan. Adapun
realisasi penye rapan bioetanol pada periode yang sama mas ing-masing sebe sar
0,49% dan 0% dari target yang ditetapkan. Untuk 2011, meski belum terdapat
rilis data resmi peme rintah, bila mengacu pada realisasi serapan biodiesel
yang sampai dengan April 2011 baru sekitar 116 ribu kl dari target sebesar 1,2
juta kl dan serapan bioetanol 0 kl dari target 694 ribu kl, kondisinya
diperkirakan juga tidak lebih baik jika dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya.
Bertolak
dari realisasi tahun-tahun sebelumnya, pada 2012 pemerintah hanya menetapkan
target konsumsi biodiesel dan bioetanol masing-masing sebesar 4,71% dan 0,95%
terhadap kuota solar dan premium bersubsidi yang ditetapkan di APBN. Pengusahaan
BBN yang relatif tidak berkembang tersebut pada prinsipnya disebabkan beberapa
hal, di antaranya: 1) harga BBM bersubsidi sebagai produk substi tusi masih
relatif murah, 2) biaya produksi BBN ma sih relatif mahal karena be lum
diproduksi dengan skala massal, dan 3) kesungguhan pemerintah dalam
mengembangkan BBN belum tertuang dalam kebijakan yang nyata dan mengikat.
Jika
pemerintah memandang pengembangan BBN memiliki posisi yang strategis dalam
menopang ketahanan energi di masa depan, apa yang dilakukan negara-negara yang
telah sukses dan sedang berupaya mengembangkan BBN seperti Brasil, Argentina,
Thailand, dan Kanada perlu dijadikan contoh.
Dalam
upaya mengembangkan BBN, negara-negara tersebut melakukan beberapa hal, di
antaranya: 1) memberikan insentif fiskal untuk pengembangan kilang BBN, 2)
memberikan pinjaman lunak dan/ atau bunga rendah untuk pembiayaan dalam
pengusahaan BBN, 3) mengombinasikan kebijakan pengusahaan BBN dengan kebijakan
lingkungan hidup, 4) membebaskan pajak korporasi selama periode tertentu bagi
investor yang mengembangkan BBN, dan 5) memberikan dan mengembangkan desain
kebijakan fiskal dan investasi yang menarik agar sektor swasta ikut terlibat
aktif dalam pengembangan BBN.
Jika
negara-negara tersebut dapat mengembangkan dan mengusahakan BBN sesuai dengan
tahapan dan target yang ditetapkan masing-masing, Indonesia semestinya juga
dapat melakukan itu. Dari sejumlah negara yang telah sukses mengembangkan BBN, kunci
utamanya bukan karena negara tersebut memiliki kemampuan finansial yang cukup.
Yang menjadi kunci keberhasilan negara-negara tersebut ialah kemauan,
konsistensi, dan kesungguhan dalam mengembangkan BBN. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar