Jumat, 27 April 2012

Alexander Aan Bukan Tan Malaka


Alexander Aan Bukan Tan Malaka
Ardi Winangun, Ketua Forum Alumni Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa-Megawati Institute
SUMBER : JIL, 27 April 2012


Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Kabupaten di Kabupaten Dharmasraya khususnya, dan masyarakat Sumatera Barat pada umumnya, lebih luas lagi masyarakat Minang, dikejutkan oleh ulah Alexander Aan. Masyarakat terkejut ulah Aan, sebab secara terbuka, di akun facebook-nya, ia mengaku sebagai seorang ateis. Masyarakat terkejut ulah Aan sebab ia melakukan hal yang demikian di lingkungan yang selama ini terkenal dengan kuatnya masyarakat memegang nilai-nilai agama.

Aan sebagaimana masyarakat Minang lainnya, sebenarnya dari kecil tidak berbeda dengan masyarakat Minang lainnya, yakni rajin pergi ke surau untuk sholat, mengaji, dan belajar agama Islam, yang sudah menjadi budaya masyarakat Minang sejak gerakan pembaruan yang dilakukan oleh Imam Bonjol. Namun karena mungkin nilai-nilai agama yang dianutnya di tengah masyarakat tidak sesuai dengan realita yang dibayangkan oleh Aan, di mana agama tidak bisa menyelesaikan masalah sosial, mengakhiri kezaliman, maka ia menyatakan dirinya sebagai ateis.

Apa yang dilakukan oleh Aan mungkin satu dan dua dari jutaan orang Minang yang melakukan demikian. Apa yang dikatakan Aan mengingatkan kita kepada apa yang pernah dikatakan oleh orang Minang lainnya, yakni Tan Malaka. Saat pidato di Kongres Komunis Internasional IV, di Moscow, Rusia, 1922, Tan Malaka mengatakan, Ketika menghadap Tuhan saya seorang muslim, tapi manakala berhadapan dengan manusia saya bukan muslim.
 
Apa yang dikatakan Tan Malaka bila diucapkan saat ini mungkin menimbulkan kehebohan seperti dalam kasus Aan. Tan Malaka mengatakan demikian tentu ada sebabnya, bisa jadi ia terpengaruh ide-ide sosialisme dan komunisme yang dirasa bisa memecahkan masalah sosial dan mengakhiri kezaliman, di mana ideologi itu ia serap semenjak sekolah di Belanda. Ia sama seperti Aan, melihat realitas di masyarakat yang penuh kezaliman, terutama kepada kaum buruh dan tani.

Menjadi pertanyaan lagi mengapa Tan Malaka berkata demikian, padahal kalau kita lihat masa kecilnya, kehidupan Tan Malaka penuh dengan nilai-nilai religiusitas. Ia lahir di Surau Jami. Menjadi kebiasaan selepas magrib ia selalu mengaji di Surau Jami, selepas mengaji ia tidak pulang ke rumah namun tetap tidur di surau itu. Sebagai budaya Minang, anak-anak laki-laki pantang tidur di rumah. Di surau itulah tempatnya menempa diri sebagai laki-laki Minang. Sebagai anak laki-laki, Tan terkenal sebagai seorang pemberani, bandel, dan nekat, tapi tak pernah meninggalkan sembahyang dan hafal Quran.

Semasa Tan Malaka remaja, baik saat di Padang Gadang dan ketika sekolah di Kweekschool di Fort de Kock (Bukit Tinggi), di Sumatra Barat marak dengan gerakan pembaruan Islam yang dilakukan oleh Gerakan Kaum Paderi (Kaum Ulama).

Sebuah sumber yang saya temukan di sebuah web memaparkan bahwa pada tahun 1908, Inyik Djambek, salah seorang ulama besar Minang, kembali dari belajar agama di Mekkah dan selanjutnya di Bukit Tinggi mendirikan sebuah surau di Tangah Sawah. Di surau—yang akhirnya surau itu bernama Surau Inyik Djambek—, ia mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji dengan cara ber-tabligh. Inyik Djambek berkesimpulan bahwa ajaran agama Islam itu sebaiknya disampaikan melalui tabligh dan ceramah-ceramah yang dihadiri oleh masyarakat banyak.

Apa yang dilakukan itu mendapat simpati dari tokoh-tokoh ninik mamak dan kalangan guru Kweekschool (G. H. Horensma adalah salah satu guru Kweekschool di masa itu). Inyik Djambek mendapat simpati dari mereka sebab Inyik Djambek seorang pluralis. Surau itu dijadikan tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam. Dia juga sering mengadakan dialog dengan orang non Islam dan orang Cina. Sifatnya bertambah popular ketika ia tetap bersahabat dengan orang yang tidak menyetujui fahamnya.

Tan Malaka yang mulai sekolah di Kweekschool di Bukit Tinggi pada tahun 1907 hingga 1913 tentu bersentuhan dengan gerakan pembaruan Inyik Djambek. Sebab Surau Inyik Djambek saat itu menjadi pusat pembaruan keagamaan, yang pasti menjadi pusat perhatian masyarakat di Sumatera Barat.

Dari persentuhan Tan Malaka dengan gerakan pembaruan itu adalah, terlihat dari buku-buku karya Tan seperti Madilog (1948), Gerpolek (1948), dan Massa Actie (1926). Dalam Massa Actie, Tan membongkar kultur takhayul yang mendarah daging di bangsa Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan revolusi alam pikiran masyarakat dari logika mistika atau logika supranatural ke cara berpikir rasional yang mengandalkan bukti.

Dari sini terlihat meski Tan Malaka terpengaruh sangat kuat dengan ideologi komunisme dan sosialisme, namun ia bisa mensintesiskan antara komunisme-sosialisme dengan agama yang dianutnya.

Tan Malaka mampu mensintesiskan komunisme-sosialisme dengan agama yang dianutnya tidak hanya secara pemikiran dan ideologi, namun juga secara politik. Saat Kongres Komunisme Internasional IV, Tan Malaka dalam pidato menyampaikan gagasan revolusioner bersama antara komunisme dan Islam. Menurut Tan Malaka, komunis tak boleh mengabaikan kenyataan bahwa saat itu ada 250 juta Muslim di dunia. Pan-islamisme sedang berjuang melawan imperialism-perjuangan yang sama dengan gerakan komunisme.

Namun lain dari Aan, sebagaimana diberitakan di Majalah Tempo, 15 April 2012, ia tidak mampu menemukan jalan tengah di antara paham yang diyakini dengan agama yang dianut. Meski ia sudah ke sana-sini mencari jawaban tentang agama, lewat berbagai pengajian, ia selalu gagal. Sehingga ia menyimpulkan, saya mati-matian mendamaikan realitas dengan agama, tapi tak bisa.

Memang antara Tan Malaka dan Aan berbeda. Meski faktor yang menyebabkan mereka menjadi komunis, sosialisme, dan ateis, sama yakni adanya kezaliman di sekitarnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar