Ulama :
Mendayung di
antara Banyak Karang
Ulil Abshar-Abdalla, Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL)
SUMBER : JIL, 16 April 2012
Studi mengenai ulama, terutama pandangan
keagamaan mereka, akhir-akhir ini agaknya kurang begitu diminati oleh kalangan
sarjana modern, baik di Barat maupun di dunia Islam sendiri. Alasannya tentu
banyak. Di kalangan sarjana Barat, perhatian akademis dalam kurun waktu satu
hingga dua dekade terakhir ini lebih banyak dicurahkan untuk melihat fenomena
“Islamic resistance”, pembangkangan kelompok-kelompok di dalam masyarakat Islam
terhadap apa yang secara ambigu disebut dengan Barat. Studi mengenai ulama
tampak kurang “sexy”. Alasan lain berkaitan dengan semacam “modernist
prejudice”: bahwa ulama adalah kategori sosial yang statis. Mereka adalah relik
dari masa lampau yang sama sekali kurang lagi relevan saat ini. Alasan-alasan
ini secara eksplisit disebutkan oleh Qasim Zaman dalam bukunya, The Ulama in
Contemporary Islam (2002).
Saya tambahkan alasan lain terkait dengan
ketiadaan perhatian yang cukup di kalangan sarjana Islam sendiri terhadap ulama
sebagai kelas sosial. Di kalangan yang terakhir ini, ada sekurang-kurangnya dua
sikap: yang pertama adalah anggapan bahwa ulama adalah suatu kelas sosial yang
perannya sudah dianggap alamiah, “given”, dalam masyarakat Islam. Secara
normatif mereka diandaikan sebagai kelas sosial yang sudah seharusnya ada
sebagai “the guardian of faith”, atau dalam rumusan yang populer: sebagai
pewaris para Nabi (warathat al-anbiya’). Yang kedua, “modernist prejudice”,
hingga tingkat tertentu, juga diidap oleh sebagian sarjana Muslim: mereka
memandang kelas sosial yang terakhir ini sebagai peninggalan masa lampau yang
cenderung menentang perubahan.
Pandangan-pandangan semacam ini “menderita”
kelemahan yang sama: seolah-olah ulama adalah kelas sosial yang membeku, dan
cenderung gagal menyesuaikan diri dengan perubahan. Di hadapan perubahan yang
terus mengalir tanpa bisa dibendung, ulama, dalam pandangan yang klise ini,
hanya bisa mengulang-ulang mantra yang sama, yaitu taqlid. Pandangan semacam
ini yang hendak dikoreksi oleh Muhammad Qasim Zaman dalam bukunya ini. Tesis
utama buku ini ialah bahwa ulama bukan sekedar penjaga tradisi tapi juga
pengawal perubahan – “custodian of change”, meminjam istilah Zaman. Qasim
mencoba melihat posisi ulama sebagai kelas sosial yang terjepit di antara dua
model “intelektual baru” dalam masyarakat Islam, yaitu intelektual modernis
yang, di hadapan Barat yang perkasa, cenderung bersikap apologetik, dan
intelektual Islamis yang secara kaku hendak menghidupkan corak Islam yang
pristin dari masa lampau di masa modern. Kedua kelompok intelektual ini,
mempunyai sikap yang sama terhadap pada ulama dalam pengertian tradisional yang
dikenal selama ini oleh umat Islam di manapun: yaitu, mereka cenderung sinis
dan mengambil jarak.
Peralatan hermeneutis yang selalu dipakai
oleh ulama dalam menghadapi setiap bentuk perubahan adalah taklid. Tetapi,
taklid sering disalah-artikan oleh baik kalangan sarjana Barat atau Muslim yang
mengidap “modernist prejudice”. Zaman merujuk kepada penelitian yang pernah
dilakukan oleh Sherman Jackson tentang seorang juris dari lingkungan mazhab
Maliki, Shihabuddin al-Qarafi (w. 1285). Dengan baik, Jackson memperlihatkan
bahwa taklid bukan sekedar merawat keterhubungan dengan tradisi dari masa
lampau, tetapi juga sarana untuk menjaga otonomi bagi model diskursus tertentu
yang dikembangkan oleh para ulama – otonomi yang dibutuhkan oleh kalangan yang
terakhir ini untuk melindungi dirinya dari intervensi politik dari penguasa.
Taklid juga bukan berarti ketiadaan sikap lentur (inflexibility) dan kekakuan.
Mengutip observasi Martin van Bruinessen yang membuat pengamatan berdasarkan
penelitiannya di Indonesia, Zama menyatakan bahwa. “Taqlid is notnecessarily
rigid. Ironically, in the late 20th century, traditionalist ulama [of Nahdlatul
Ulama] often appear more flexible than the [modernist] spokesmen for reformist
Islam.” (hal. 188).
Dengan kata lain, bagi Zaman, ulama bukanlah
kelas sosial yang statis. Pandangan-pandangan mereka terus berubah dari waktu
ke waktu, dan kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri dengan zaman, sambil
terus menjaga tradisi yang mereka warisi dari masa lampau, terutama tradisi
mazhab, sangat mengagumkan. Meang, kata Zaman, kesediaan para ulama itu untuk
berkompromi terhadap perubahan itu bukanlah karena mereka memang sejak awal
membela perubahan, tetapi karena alasan “survival”, menjaga keutuhan dan
integritas tradisi. Dengan kata lain, para ulama itu memang cenderung menerima
perubahan karena hanya dengan begitulah tradisi mereka bisa terus dirawat. Jika
mereka tak melakukan itu, boleh jadi yang harus dikorbankan adalah tradisi
mereka sendiri.
Fokus penelitian Zaman adalah ulama di
kawasan India dan Pakistan, meskipun secara komparatif dia mencoba melihat
perubahan-perubahan yang terjadi pada institusi ulama di banyak negeri lain,
seperti Mesir dan Saudi Arabia. Melalui bukunya ini, Zaman ingin menunjukkan
bahwa lembaga ulama, dengan seluruh tantangan yang dihadapinya, bukan saja
tetap bertahan hingga sekarang tetapi mencoba untuk tetap relevan hingga saat
ini.
Apa yang disebut ulama dalam buku Zaman ini
ialah kelas sosial dalam masyarakat Islam yang mendasarkan legitimasi sosialnya
pada peran intelektual sebagai penerus tradisi pemikiran yang berasal dari
Islam klasik. Medium melalui mana kelas sosial ini melakukan transmisi
intelektual adalah madrasah. Diskursus utama yang dikembangkan oleh kelas
sosial ini ialah kajian ilmu agama/Islam dengan metode tertentu. Dalam konteks
madrasah yang berkembang di India dan Pakistan, salah satu contoh penting dari
tradisi ini digambarkan melalui kurikulum yang disebut dengan dars-i nizami
yang mula-mula diadopsi oleh lembaga pendidikan yang didirikan oleh keluarga
Firangi Mahall, di bawah pengaruh Mulla Nizam al-Din Muhammad (w. 1748).
Kurikulum ini kemudian luas dipakai oleh semua madrasah tradisional di India
dan Pakistan, meskipun terus mengalami modifikasi. Ada tiga ilmu utama yang
dipelajari dalam kurikulum ini: pertama al-‘ulum al-naqliyyah (ilmu-ilmu tradisional
seperti tafsir, hadis, fikih, kalam, dan ilmu-ilmu pembantunya [ancillary
knowldgeses] seperti morfologi [sharf], sintaksis [nahw], retorika [balaghah]),
al-‘ulum al-‘aqliyyah (ilmu-ilmu rasional, seperti falsafah dan logika), dan
tasawwuf (mistik Islam).
Sejak bermulanya era kolonial Islam di dunia
Islam, lembaga ulama dan madrasah mengalami tekanan yang luar biasa. Zaman,
dalam bukuny ini, membahas sejumlah tantangan yang dihadapi oleh dua institusi
ini di India dan Pakistan – fenomena yang tampaknya dengan derajat yang
berbeda-beda kita jumpai di berbagai negeri Islam yang lain. Tantang pertama
tentunya adalah dari pemerintah kolonial sendiri, yakni pemerintah kolonial
Inggris di India. Kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Inggris di India didasarkan
pada dua fondasi utama. Yang pertama adalah pemisahan antara ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu sekular yang, dalam kaca mata administratur kolonial,
“bermanfaat”. Pemisahan ini tentu berasal dari redefinisi terhadap pengertian
“religion” dalam masyarakat Eropa setelah Era Pencerahan. Kedua, lembaga
pendidikan hanya berkewajiban untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat
(useful).
Pemisahan antara dua model pengetahuan –agama
dan umum—yang sebetulnya kita jumpai di banyak negeri Muslim menimbulkan reaksi
yang ambigu di kalangan masyarakat Islam. Kaum modernis Muslim dan Islamis
tampaknya bersepakat bahwa dualisme ilmu pengetahuan semacam ini kurang sehat
bagi perkembangan intelektual di masyarakat Islam. Kedua kubu ini, meskipun
banyak berbeda pandangan dalam banyak hal, mempunyai titik temu dalam satu hal,
yakni pentingnya mengatasi dualisme ini. Hanya saja, pendekatan yang ditempuh
oleh kedua kubu ini berbeda. Kubu modernis menganjurkan jalan penggabungan
antara ilmu-ilmu tradisional yang berasal dari tradisi Islam sendiri dan
ilmu-ilmu sekular yang datang dari Barat. Kaum Islami menempuh jalur lain,
yaitu semacam “Islamisasi” atas pengetahuan yang datang dari Barat. Pada
periode yang dibicarakan oleh Zaman ini, yakni abad ke-18, 19 dan awal abad
ke-20, istilah “Islamisasi pengetahuan” tentu belum dipakai oleh kalangan
Islamis yang diwakili oleh orang-orang seperti Abul A’la Mawdudi, misalnya.
Tetapi ide mereka yang bertumpu pada gagasan pokok, yakni Islamisasi pada level
sosial dan negara, sebetulnya merupakan embrio dari gagasan yang berkembang
belakangan di kalangan Islamis untuk melakukan Islamisasi pengetahuan.
Kebijakan untuk mengatasi dualisme
pengetahuan semacam ini juga ditempuh pemerintah di negeri Muslim yang lahir
setelah berakhirnya era kolonialisme Eropa. Contoh yang paling baik adalah
Pakistan. Sejumlah kebijakan pendidikan ditempuh oleh pemerintah Pakistan untuk
melakukan reformasi terhadap lembaga pendidikan Islam, termasuk madrasah.
Mewarisi sindrom yang berasal dari era kolonial berkaitan dengan pemisahan
antara dua jenis pendidikan (agama dan umum), pemerintah di Pakistan mencoba
melakukan unifikasi, tetapi juga sekaligus modernisasi atas madrasah.
Yang menarik adalah reaksi ulama atas
dualisme pengetahuan semacam ini. Di mata ulama, baik pandangan kaum modernis
atau Islamis, ataupun kebijakan “reformis” negeri-negeri Muslim
pasca-kemerdekaan, ketiganya mengancam eksistensi lembaga madrasah dengan
kurikulumnya yang sudah mapan. Pandangan semacam ini, misalnya, diwakili oleh
ulama Pakistan yang terdidik dalam tradisi madrasah Deobandi, Mawlana Muhammad
Yusuf Ludhianawi (w. 2000). Menurut dia, mengintegrasikan sistem pendidikan
madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional yang diprakarsai oleh negara,
meskipun dengan alasan “ideologis” untuk memuluskan jalan menuju Islamisasi
masyarakat Islam sendiri, akan mengancam Islam itu sendiri sebagai agama. Para
ulama tradisional yang berbasis di madrasah mengajukan argumen bahwa jika
spesialisasi adalah salah satu ciri khas pendidikan modern, kenapa ulama tidak
diperbolehkan mengembangkan pendidikan khusus dengan spesialisasi di bidang
ilmu agama?
Sementara itu, gagasan tentang ilmu yang
bermanfaat yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Inggris jelas sangat
dipengaruhi oleh filsafat utilitarian yang sedang menjadi mode di Inggris pada
abad ke-19, terutama di tangan para filsuf seperti James Mill dan anaknya,
James Stuart Mill. James Mill pernah menulis bahwa pendidikan yang hanya
mengajarkan ajaran agama Hindu atau Islam hanyalah mengerjakan hal yang kurang
berguna dan sepele (frivolous). Bagi dia, tugas lembaga pendidikan kolonial
adalah mengajarkan, baik kepada bangsa Hindu atau Muslim, ilmu-ilmu yang
bermanfaat. Diskursus tentang ilmu bermanfaat ini kemudian menimbulkan
tanggapan yang luas di kalangan ulama. Mereka mengembangkan diskursus tandingan
yang mereka sebut sebagai ilmu-ilmu yang nafi’ atau membawa manfaat – istilah
yang kebetulan memang sudah ada dalam tradisi intelektual Islam sendiri. Tentu
saja, apa yang disebut dengan ilmu yang “useful” dalam pandangan pemerintah
kolonial maupun ilmu yang “nafi’”, sangat berbeda.
Di tengah hantaman yang datang dari berbagai
arah ini, lembaga madrasah harus menempuh segala siasat agar tetap bertahan dan
sekaligus relevan. Reformasi dilakukan oleh ulama terhadap lembaga madrasah.
Sekurang-kurangnya ada tiga lembaga madrasah dalam pengertian tradisional yang
dikembangkan oleh ulama di India. Pertama adalah madrasah yang dikembangkan
oleh kelompok yang disebut Barelwi. Kedua adalah madrasah yang dikembangkan
kelompok Deobandi. Dan ketiga adalah madrasah yang dikembangkan oleh Ahl-i
Hadith. Madrasah dari kelompok pertama mirip dengan pesantran yang dikembangkan
kalangan NU di Indonesia, dengan tekanan pada tradisi mistik yang kuat.
Sementara madrasah dari kelompok kedua mirip dengan lembaga pendidikan yang
dikembangkan oleh Pesantren Gontor atau yang sejenis. Ciri lembaga ini ialah
menggabungkan antara dua tradisi: tradisi reformis yang berasal dari kelompok
Wahabi, dengan tekanan pokok pada studi hadis, dan tradisi mazhab Hanafi.
Madrasah Deobandi inilah yang memiliki pengaruh paling besar di dalam menjaga
tradisi keulamaan di India dan Pakistan hingga saat ini. Sementara madrasah
ketiga lebih dikenal dengan tekanannya pada studi hadis. Persaingan keras biasanya
terjadi antara kelompok Deobandi dan kelompok Ahl-i Hadith, terutama karena
masalah keterikatan pada mazhab – hal yang menjadi sasaran serangan kelompok
hadis/salafi/Wahabi di banyak negeri Muslim.
Salah satu medium yang dipakai oleh ulama
tradisional untuk menjaga tradisi intelektual mereka adalah apa yang disebut
dengan tradisi syuruh atau “commentaries”, yakni menulis komentar atas karya
klasik atau kompendium (kumpulan) hadis. Melalui karya-karya komentar semacam
ini, ulama mencoba meraih dua hal sekaligus, yakni mempertahankan kontinyuitas
tradisi yang ada, tetapi pada saat yang sama juga memberikan komentar atas
masalah yang dihadapi oleh masyarakat Islam pada saat karya tersebut ditulis.
Contoh yang sangat baik adalah I’la al-Sunan karya Mawlana Zafar Ahmad
‘Uthmani, yang terdiri dari dua puluh jilid. Karya ini adalah komentar atas
sejumlah hadis yang berkaitan dengan hukum Islam (ahadith al-ahkam). Dengan
karya ini, Mawlana ‘Uthmani hendak mencapai dua tujuan sekaligus:
mempertahankan validitas mazhab Hanafi dari serangan kaum Ahl-i Hadith,
sekaligus mengulas sejumlah isu kontemporer yang berkembang pada masanya.
Contoh yang baik adalah polemik yang dia lakukan melalui karya ini melawan
ulama Deobandi lain mengenai soal nasionalisme (qaymiyyat) – apakah ide
nasionalisme sesuai dengan keyakinan Islam atau tidak. Lawan debat dia adalah
Mawlana Husayn Ahmad Madani yang juga ulama dari madrasah Deobandi. Debat ini
tentu mengingatkan kita pada debat serupa yang pernah terjadi di tanah air kita
antara Ahmad Hassan dan Sukarno mengenai topik serupa: nasionalisme. Hanya
saja, yang menarik, perdebatan ini terjadi bukan antara seorang nasionalis
sekular dan ulama, seperti terjadi dalam konteks Indonesia, tetapi antara ulama
sendiri. Posisi Mawlana ‘Uthmani adalah menentang nasionalisme vis-a-vis
Mawlana Madani yang mendukung ide itu.
Setelah berakhirnya era kolonialisme yang
kemudian ditandai dengan lahirnya sejumlah negeri-negeri Muslim, tantangan yang
dihadapi oleh lembaga ulama tidaklah surut, bahkan makin akut. Di berbagai
negeri Muslim, termasuk India dan Pakistan, sejumlah negeri Muslim mencoba
melakukan konsolidasi, antara lain melalui reformasi lembaga-lembaga
tradisional yang ada dalam masyarakat Islam, seperti lembaga keulamaan dan
madrasah. Proyek reformasi ini, yang menarik, didukung baik oleh kalangan
Islamis, modernis, maupun (sebagian) kalangan sekularis. Reformasi ini bisa
mengambil banyak bentuk, antara lain modernisasi madrasah, perombahakan
kurikulum, penyatuan administrasi lembaga-lembaga yang menjadi sumber
pembiayaan ulama (seperti waqaf) di bawah adminitrasi negara, atau pun
reorganisasi lembaga ulama itu sendiri.
Contoh yang baik adalah Universitas Al-Azhar,
lembaga pendidikan Islam tradisional yang menjadi pusat pengembangan ilmu-ilmu
Islam klasik. Inilah lembaga yang memproduksi secara terus-menerus selama
ratusan tahun kelas sosial yang disebut ulama. Lembaga ini, seperti pernah
ditulis dengan baik oleh Malika Zeghal dalam karyanya yang sudah menjadi klasik
(Gardiens de l’Islam: Les ulama d’al-Azhar dans l’Egypte conremporaine [1995]),
mengalami perubahan-perunbahan penting, terutama sejak abad ke-19. Perubahan
paling penting tentu dimulai dengan reformisme Muhammad Abduh yang kemudian,
secara internal, dieksekusi lebih jauh oleh dua ulama penting, Musthafa
al-Maraghi dan Mahmoud Syaltout.
Perubahan paling radikal terjadi pada 1961,
setelah Presiden Nasser meletakkan lembaga ini di bawah kontrol pemernintah
secara penuh, antara lain ditandai dengan jabatan rektor yang diangkat oleh negara
dan posisi Syaikh al-Azhar yang diletakkan di bawah kementerian wakaf.
Sementara itu, pengelolaan wakaf yang menjadi basis pembiayaan lembaga ini
diletakkan di bawah wewenang kementerian wakaf. Dengan demikian, otonomi ulama
menjadi berkurang jauh dibandingkan dengan era sebelumnya. Dengan bentuk yang
beragam, model yang ditempuh oleh pemerintah Mesir ini terjadi di negeri-negeri
Islam yang lain.
Yang menarik adalah proyek Islamisasi negara
yang berkembang di sejumlah negeri Muslim, antara lain Pakistan pasca-partisi
pada 1947, tidak seluruhnya menguntungkan ulama sebagai kelas sosial. Pada saat
Presiden Zia ul-Haq melancarkan program Islamisasi, antara lain melalui Shari’a
Ordinance pada 1988, ada kehendak politis dari pemerintah Pakistan saat itu untuk
menyelaraskan semua hukum yang ada di negeri itu dengan syariah Islam. Semua UU
atau hukum yang berlawanan dengan syariah akan dibatalkan. Inilah yang disebut
dengan “repugnance clauses”. Hanya saja, wewenang untuk menentukan apakah
sebuah perundang-undangan sesuai atau tidak dengan syariah berada pada High
Court atau Mahkamah Agung yang umumnya didominasi oleh para juris yang terdidik
dalam sistem hukum Barat, bukan pada Federal Shari’at Court.
Munculnya ide “negara Islam” sebagai proyek
politik, dengan demikian, tidak dengan sendirinya menaikkan reputasi dan
pengaruh ulama sebagai kelas sosial. Dalam praktek sehari-hari, apa yang
disebut “negara Islam” biasanya hanya menguntungkan dua pihak: kalangan
modernis atau Islamis/revivalis. Sementara kalangan ulama sendiri cenderung
berada pada pinggiran, dan kurang memainkan peran yang penting dalam
administrasi atau penyelenggaraan lembaga yang berkaitan dengan kepentingan
umat Islam sendiri, seperti madrasah misalnya.
Dengan kata lain, proyek negara
Islam, pada akhirnya, mewarisi sindrom politik serupa yang dialami oleh negara
nasional non-agama yang lain. Negara-negara nasional yang lahir pasca era
kolonial ini, termasuk di negeri-negeri Muslim sendiri, pada akhirnya
dihadapkan pada imperative konsolidasi negara, unifikasi sistem hukum,
reformasi lembaga-lembaga sosial, yang keseluruhannya cenderung menempatkan
kelas ulama pada posisi defensif.
En toh demikian, kelas ulama tetap berhasil
menjada terus eksistensinya sebagai kelas sosial, berikut lembaga-lembaga yang
menyokongnya. Melalui praktek diskursif yang sudah dikenal oleh kelas ini sejak
lama, misalnya fatwa atau syuruh (komentar atas karya klasik yang sudah ada),
mereka mencoba mempertahankan dirinya tetap relevan.
Yang menarik adalah bahwa berbeda dengan
kalangan modernis atau Islamis/revivalis, kalangan ulama cenderung a-politis
dan, hingga tingkat tertentu, juga berwatak “quietist” atau “damai”
(tak membangkang pada kekuasaan yang ada). Ini diperlihatkan, misalnya, dengan
munculnya dua gerakan ulama di India. Yang pertama adalah munculnya kelompok
Nadwat al-Ulama (Abul Hasan Ali al-Nadwi adalah ulama yang populer yang lahir
dari kelompok ini) yang mencoba melakukan reformasi atas Islam tetapi dengan
tetap menjaga semangat a-politisme ala Muhammad Abduh. Yang kedua adalah
gerakan Tabligh-i Jamaat yang terkenal itu. Kedua gerakan yang diprakarsai oleh
ulama di India ini memperlihatkan watak a-politis yang sangat kuat. Mungkin
karena watak yang semacam inilah, kelas ulama di negeri Islam manapun paling mudah
melakukan kompromi dengan kekuasaan politik yang ada di negeri mereka
masing-masing – sikap yang kontras dengan kalangan Islamis yang umumnya “resistant”, baik terhadap kekuasaan
eksternal (hegemoni Barat, misalnya) atau kekuasaan domestik yang mereka anggap
sekular. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar