Selasa, 17 April 2012

Ulama : Mendayung di antara Banyak Karang


Ulama :
Mendayung di antara Banyak Karang
Ulil Abshar-Abdalla, Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL)
SUMBER : JIL, 16 April 2012



Studi mengenai ulama, terutama pandangan keagamaan mereka, akhir-akhir ini agaknya kurang begitu diminati oleh kalangan sarjana modern, baik di Barat maupun di dunia Islam sendiri. Alasannya tentu banyak. Di kalangan sarjana Barat, perhatian akademis dalam kurun waktu satu hingga dua dekade terakhir ini lebih banyak dicurahkan untuk melihat fenomena “Islamic resistance”, pembangkangan kelompok-kelompok di dalam masyarakat Islam terhadap apa yang secara ambigu disebut dengan Barat. Studi mengenai ulama tampak kurang “sexy”. Alasan lain berkaitan dengan semacam “modernist prejudice”: bahwa ulama adalah kategori sosial yang statis. Mereka adalah relik dari masa lampau yang sama sekali kurang lagi relevan saat ini. Alasan-alasan ini secara eksplisit disebutkan oleh Qasim Zaman dalam bukunya, The Ulama in Contemporary Islam (2002).

Saya tambahkan alasan lain terkait dengan ketiadaan perhatian yang cukup di kalangan sarjana Islam sendiri terhadap ulama sebagai kelas sosial. Di kalangan yang terakhir ini, ada sekurang-kurangnya dua sikap: yang pertama adalah anggapan bahwa ulama adalah suatu kelas sosial yang perannya sudah dianggap alamiah, “given”, dalam masyarakat Islam. Secara normatif mereka diandaikan sebagai kelas sosial yang sudah seharusnya ada sebagai “the guardian of faith”, atau dalam rumusan yang populer: sebagai pewaris para Nabi (warathat al-anbiya’). Yang kedua, “modernist prejudice”, hingga tingkat tertentu, juga diidap oleh sebagian sarjana Muslim: mereka memandang kelas sosial yang terakhir ini sebagai peninggalan masa lampau yang cenderung menentang perubahan.

Pandangan-pandangan semacam ini “menderita” kelemahan yang sama: seolah-olah ulama adalah kelas sosial yang membeku, dan cenderung gagal menyesuaikan diri dengan perubahan. Di hadapan perubahan yang terus mengalir tanpa bisa dibendung, ulama, dalam pandangan yang klise ini, hanya bisa mengulang-ulang mantra yang sama, yaitu taqlid. Pandangan semacam ini yang hendak dikoreksi oleh Muhammad Qasim Zaman dalam bukunya ini. Tesis utama buku ini ialah bahwa ulama bukan sekedar penjaga tradisi tapi juga pengawal perubahan – “custodian of change”, meminjam istilah Zaman. Qasim mencoba melihat posisi ulama sebagai kelas sosial yang terjepit di antara dua model “intelektual baru” dalam masyarakat Islam, yaitu intelektual modernis yang, di hadapan Barat yang perkasa, cenderung bersikap apologetik, dan intelektual Islamis yang secara kaku hendak menghidupkan corak Islam yang pristin dari masa lampau di masa modern. Kedua kelompok intelektual ini, mempunyai sikap yang sama terhadap pada ulama dalam pengertian tradisional yang dikenal selama ini oleh umat Islam di manapun: yaitu, mereka cenderung sinis dan mengambil jarak.

Peralatan hermeneutis yang selalu dipakai oleh ulama dalam menghadapi setiap bentuk perubahan adalah taklid. Tetapi, taklid sering disalah-artikan oleh baik kalangan sarjana Barat atau Muslim yang mengidap “modernist prejudice”. Zaman merujuk kepada penelitian yang pernah dilakukan oleh Sherman Jackson tentang seorang juris dari lingkungan mazhab Maliki, Shihabuddin al-Qarafi (w. 1285). Dengan baik, Jackson memperlihatkan bahwa taklid bukan sekedar merawat keterhubungan dengan tradisi dari masa lampau, tetapi juga sarana untuk menjaga otonomi bagi model diskursus tertentu yang dikembangkan oleh para ulama – otonomi yang dibutuhkan oleh kalangan yang terakhir ini untuk melindungi dirinya dari intervensi politik dari penguasa. Taklid juga bukan berarti ketiadaan sikap lentur (inflexibility) dan kekakuan. Mengutip observasi Martin van Bruinessen yang membuat pengamatan berdasarkan penelitiannya di Indonesia, Zama menyatakan bahwa. “Taqlid is notnecessarily rigid. Ironically, in the late 20th century, traditionalist ulama [of Nahdlatul Ulama] often appear more flexible than the [modernist] spokesmen for reformist Islam.” (hal. 188).

Dengan kata lain, bagi Zaman, ulama bukanlah kelas sosial yang statis. Pandangan-pandangan mereka terus berubah dari waktu ke waktu, dan kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri dengan zaman, sambil terus menjaga tradisi yang mereka warisi dari masa lampau, terutama tradisi mazhab, sangat mengagumkan. Meang, kata Zaman, kesediaan para ulama itu untuk berkompromi terhadap perubahan itu bukanlah karena mereka memang sejak awal membela perubahan, tetapi karena alasan “survival”, menjaga keutuhan dan integritas tradisi. Dengan kata lain, para ulama itu memang cenderung menerima perubahan karena hanya dengan begitulah tradisi mereka bisa terus dirawat. Jika mereka tak melakukan itu, boleh jadi yang harus dikorbankan adalah tradisi mereka sendiri.

Fokus penelitian Zaman adalah ulama di kawasan India dan Pakistan, meskipun secara komparatif dia mencoba melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada institusi ulama di banyak negeri lain, seperti Mesir dan Saudi Arabia. Melalui bukunya ini, Zaman ingin menunjukkan bahwa lembaga ulama, dengan seluruh tantangan yang dihadapinya, bukan saja tetap bertahan hingga sekarang tetapi mencoba untuk tetap relevan hingga saat ini.

Apa yang disebut ulama dalam buku Zaman ini ialah kelas sosial dalam masyarakat Islam yang mendasarkan legitimasi sosialnya pada peran intelektual sebagai penerus tradisi pemikiran yang berasal dari Islam klasik. Medium melalui mana kelas sosial ini melakukan transmisi intelektual adalah madrasah. Diskursus utama yang dikembangkan oleh kelas sosial ini ialah kajian ilmu agama/Islam dengan metode tertentu. Dalam konteks madrasah yang berkembang di India dan Pakistan, salah satu contoh penting dari tradisi ini digambarkan melalui kurikulum yang disebut dengan dars-i nizami yang mula-mula diadopsi oleh lembaga pendidikan yang didirikan oleh keluarga Firangi Mahall, di bawah pengaruh Mulla Nizam al-Din Muhammad (w. 1748). Kurikulum ini kemudian luas dipakai oleh semua madrasah tradisional di India dan Pakistan, meskipun terus mengalami modifikasi. Ada tiga ilmu utama yang dipelajari dalam kurikulum ini: pertama al-‘ulum al-naqliyyah (ilmu-ilmu tradisional seperti tafsir, hadis, fikih, kalam, dan ilmu-ilmu pembantunya [ancillary knowldgeses] seperti morfologi [sharf], sintaksis [nahw], retorika [balaghah]), al-‘ulum al-‘aqliyyah (ilmu-ilmu rasional, seperti falsafah dan logika), dan tasawwuf (mistik Islam).

Sejak bermulanya era kolonial Islam di dunia Islam, lembaga ulama dan madrasah mengalami tekanan yang luar biasa. Zaman, dalam bukuny ini, membahas sejumlah tantangan yang dihadapi oleh dua institusi ini di India dan Pakistan – fenomena yang tampaknya dengan derajat yang berbeda-beda kita jumpai di berbagai negeri Islam yang lain. Tantang pertama tentunya adalah dari pemerintah kolonial sendiri, yakni pemerintah kolonial Inggris di India. Kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Inggris di India didasarkan pada dua fondasi utama. Yang pertama adalah pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekular yang, dalam kaca mata administratur kolonial, “bermanfaat”. Pemisahan ini tentu berasal dari redefinisi terhadap pengertian “religion” dalam masyarakat Eropa setelah Era Pencerahan. Kedua, lembaga pendidikan hanya berkewajiban untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat (useful).

Pemisahan antara dua model pengetahuan –agama dan umum—yang sebetulnya kita jumpai di banyak negeri Muslim menimbulkan reaksi yang ambigu di kalangan masyarakat Islam. Kaum modernis Muslim dan Islamis tampaknya bersepakat bahwa dualisme ilmu pengetahuan semacam ini kurang sehat bagi perkembangan intelektual di masyarakat Islam. Kedua kubu ini, meskipun banyak berbeda pandangan dalam banyak hal, mempunyai titik temu dalam satu hal, yakni pentingnya mengatasi dualisme ini. Hanya saja, pendekatan yang ditempuh oleh kedua kubu ini berbeda. Kubu modernis menganjurkan jalan penggabungan antara ilmu-ilmu tradisional yang berasal dari tradisi Islam sendiri dan ilmu-ilmu sekular yang datang dari Barat. Kaum Islami menempuh jalur lain, yaitu semacam “Islamisasi” atas pengetahuan yang datang dari Barat. Pada periode yang dibicarakan oleh Zaman ini, yakni abad ke-18, 19 dan awal abad ke-20, istilah “Islamisasi pengetahuan” tentu belum dipakai oleh kalangan Islamis yang diwakili oleh orang-orang seperti Abul A’la Mawdudi, misalnya. Tetapi ide mereka yang bertumpu pada gagasan pokok, yakni Islamisasi pada level sosial dan negara, sebetulnya merupakan embrio dari gagasan yang berkembang belakangan di kalangan Islamis untuk melakukan Islamisasi pengetahuan.

Kebijakan untuk mengatasi dualisme pengetahuan semacam ini juga ditempuh pemerintah di negeri Muslim yang lahir setelah berakhirnya era kolonialisme Eropa. Contoh yang paling baik adalah Pakistan. Sejumlah kebijakan pendidikan ditempuh oleh pemerintah Pakistan untuk melakukan reformasi terhadap lembaga pendidikan Islam, termasuk madrasah. Mewarisi sindrom yang berasal dari era kolonial berkaitan dengan pemisahan antara dua jenis pendidikan (agama dan umum), pemerintah di Pakistan mencoba melakukan unifikasi, tetapi juga sekaligus modernisasi atas madrasah.

Yang menarik adalah reaksi ulama atas dualisme pengetahuan semacam ini. Di mata ulama, baik pandangan kaum modernis atau Islamis, ataupun kebijakan “reformis” negeri-negeri Muslim pasca-kemerdekaan, ketiganya mengancam eksistensi lembaga madrasah dengan kurikulumnya yang sudah mapan. Pandangan semacam ini, misalnya, diwakili oleh ulama Pakistan yang terdidik dalam tradisi madrasah Deobandi, Mawlana Muhammad Yusuf Ludhianawi (w. 2000). Menurut dia, mengintegrasikan sistem pendidikan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional yang diprakarsai oleh negara, meskipun dengan alasan “ideologis” untuk memuluskan jalan menuju Islamisasi masyarakat Islam sendiri, akan mengancam Islam itu sendiri sebagai agama. Para ulama tradisional yang berbasis di madrasah mengajukan argumen bahwa jika spesialisasi adalah salah satu ciri khas pendidikan modern, kenapa ulama tidak diperbolehkan mengembangkan pendidikan khusus dengan spesialisasi di bidang ilmu agama?

Sementara itu, gagasan tentang ilmu yang bermanfaat yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Inggris jelas sangat dipengaruhi oleh filsafat utilitarian yang sedang menjadi mode di Inggris pada abad ke-19, terutama di tangan para filsuf seperti James Mill dan anaknya, James Stuart Mill. James Mill pernah menulis bahwa pendidikan yang hanya mengajarkan ajaran agama Hindu atau Islam hanyalah mengerjakan hal yang kurang berguna dan sepele (frivolous). Bagi dia, tugas lembaga pendidikan kolonial adalah mengajarkan, baik kepada bangsa Hindu atau Muslim, ilmu-ilmu yang bermanfaat. Diskursus tentang ilmu bermanfaat ini kemudian menimbulkan tanggapan yang luas di kalangan ulama. Mereka mengembangkan diskursus tandingan yang mereka sebut sebagai ilmu-ilmu yang nafi’ atau membawa manfaat – istilah yang kebetulan memang sudah ada dalam tradisi intelektual Islam sendiri. Tentu saja, apa yang disebut dengan ilmu yang “useful” dalam pandangan pemerintah kolonial maupun ilmu yang “nafi’”, sangat berbeda.

Di tengah hantaman yang datang dari berbagai arah ini, lembaga madrasah harus menempuh segala siasat agar tetap bertahan dan sekaligus relevan. Reformasi dilakukan oleh ulama terhadap lembaga madrasah. Sekurang-kurangnya ada tiga lembaga madrasah dalam pengertian tradisional yang dikembangkan oleh ulama di India. Pertama adalah madrasah yang dikembangkan oleh kelompok yang disebut Barelwi. Kedua adalah madrasah yang dikembangkan kelompok Deobandi. Dan ketiga adalah madrasah yang dikembangkan oleh Ahl-i Hadith. Madrasah dari kelompok pertama mirip dengan pesantran yang dikembangkan kalangan NU di Indonesia, dengan tekanan pada tradisi mistik yang kuat. Sementara madrasah dari kelompok kedua mirip dengan lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh Pesantren Gontor atau yang sejenis. Ciri lembaga ini ialah menggabungkan antara dua tradisi: tradisi reformis yang berasal dari kelompok Wahabi, dengan tekanan pokok pada studi hadis, dan tradisi mazhab Hanafi. Madrasah Deobandi inilah yang memiliki pengaruh paling besar di dalam menjaga tradisi keulamaan di India dan Pakistan hingga saat ini. Sementara madrasah ketiga lebih dikenal dengan tekanannya pada studi hadis. Persaingan keras biasanya terjadi antara kelompok Deobandi dan kelompok Ahl-i Hadith, terutama karena masalah keterikatan pada mazhab – hal yang menjadi sasaran serangan kelompok hadis/salafi/Wahabi di banyak negeri Muslim.

Salah satu medium yang dipakai oleh ulama tradisional untuk menjaga tradisi intelektual mereka adalah apa yang disebut dengan tradisi syuruh atau “commentaries”, yakni menulis komentar atas karya klasik atau kompendium (kumpulan) hadis. Melalui karya-karya komentar semacam ini, ulama mencoba meraih dua hal sekaligus, yakni mempertahankan kontinyuitas tradisi yang ada, tetapi pada saat yang sama juga memberikan komentar atas masalah yang dihadapi oleh masyarakat Islam pada saat karya tersebut ditulis. Contoh yang sangat baik adalah I’la al-Sunan karya Mawlana Zafar Ahmad ‘Uthmani, yang terdiri dari dua puluh jilid. Karya ini adalah komentar atas sejumlah hadis yang berkaitan dengan hukum Islam (ahadith al-ahkam). Dengan karya ini, Mawlana ‘Uthmani hendak mencapai dua tujuan sekaligus: mempertahankan validitas mazhab Hanafi dari serangan kaum Ahl-i Hadith, sekaligus mengulas sejumlah isu kontemporer yang berkembang pada masanya. Contoh yang baik adalah polemik yang dia lakukan melalui karya ini melawan ulama Deobandi lain mengenai soal nasionalisme (qaymiyyat) – apakah ide nasionalisme sesuai dengan keyakinan Islam atau tidak. Lawan debat dia adalah Mawlana Husayn Ahmad Madani yang juga ulama dari madrasah Deobandi. Debat ini tentu mengingatkan kita pada debat serupa yang pernah terjadi di tanah air kita antara Ahmad Hassan dan Sukarno mengenai topik serupa: nasionalisme. Hanya saja, yang menarik, perdebatan ini terjadi bukan antara seorang nasionalis sekular dan ulama, seperti terjadi dalam konteks Indonesia, tetapi antara ulama sendiri. Posisi Mawlana ‘Uthmani adalah menentang nasionalisme vis-a-vis Mawlana Madani yang mendukung ide itu.

Setelah berakhirnya era kolonialisme yang kemudian ditandai dengan lahirnya sejumlah negeri-negeri Muslim, tantangan yang dihadapi oleh lembaga ulama tidaklah surut, bahkan makin akut. Di berbagai negeri Muslim, termasuk India dan Pakistan, sejumlah negeri Muslim mencoba melakukan konsolidasi, antara lain melalui reformasi lembaga-lembaga tradisional yang ada dalam masyarakat Islam, seperti lembaga keulamaan dan madrasah. Proyek reformasi ini, yang menarik, didukung baik oleh kalangan Islamis, modernis, maupun (sebagian) kalangan sekularis. Reformasi ini bisa mengambil banyak bentuk, antara lain modernisasi madrasah, perombahakan kurikulum, penyatuan administrasi lembaga-lembaga yang menjadi sumber pembiayaan ulama (seperti waqaf) di bawah adminitrasi negara, atau pun reorganisasi lembaga ulama itu sendiri.

Contoh yang baik adalah Universitas Al-Azhar, lembaga pendidikan Islam tradisional yang menjadi pusat pengembangan ilmu-ilmu Islam klasik. Inilah lembaga yang memproduksi secara terus-menerus selama ratusan tahun kelas sosial yang disebut ulama. Lembaga ini, seperti pernah ditulis dengan baik oleh Malika Zeghal dalam karyanya yang sudah menjadi klasik (Gardiens de l’Islam: Les ulama d’al-Azhar dans l’Egypte conremporaine [1995]), mengalami perubahan-perunbahan penting, terutama sejak abad ke-19. Perubahan paling penting tentu dimulai dengan reformisme Muhammad Abduh yang kemudian, secara internal, dieksekusi lebih jauh oleh dua ulama penting, Musthafa al-Maraghi dan Mahmoud Syaltout. 

Perubahan paling radikal terjadi pada 1961, setelah Presiden Nasser meletakkan lembaga ini di bawah kontrol pemernintah secara penuh, antara lain ditandai dengan jabatan rektor yang diangkat oleh negara dan posisi Syaikh al-Azhar yang diletakkan di bawah kementerian wakaf. Sementara itu, pengelolaan wakaf yang menjadi basis pembiayaan lembaga ini diletakkan di bawah wewenang kementerian wakaf. Dengan demikian, otonomi ulama menjadi berkurang jauh dibandingkan dengan era sebelumnya. Dengan bentuk yang beragam, model yang ditempuh oleh pemerintah Mesir ini terjadi di negeri-negeri Islam yang lain.

Yang menarik adalah proyek Islamisasi negara yang berkembang di sejumlah negeri Muslim, antara lain Pakistan pasca-partisi pada 1947, tidak seluruhnya menguntungkan ulama sebagai kelas sosial. Pada saat Presiden Zia ul-Haq melancarkan program Islamisasi, antara lain melalui Shari’a Ordinance pada 1988, ada kehendak politis dari pemerintah Pakistan saat itu untuk menyelaraskan semua hukum yang ada di negeri itu dengan syariah Islam. Semua UU atau hukum yang berlawanan dengan syariah akan dibatalkan. Inilah yang disebut dengan “repugnance clauses”. Hanya saja, wewenang untuk menentukan apakah sebuah perundang-undangan sesuai atau tidak dengan syariah berada pada High Court atau Mahkamah Agung yang umumnya didominasi oleh para juris yang terdidik dalam sistem hukum Barat, bukan pada Federal Shari’at Court.

Munculnya ide “negara Islam” sebagai proyek politik, dengan demikian, tidak dengan sendirinya menaikkan reputasi dan pengaruh ulama sebagai kelas sosial. Dalam praktek sehari-hari, apa yang disebut “negara Islam” biasanya hanya menguntungkan dua pihak: kalangan modernis atau Islamis/revivalis. Sementara kalangan ulama sendiri cenderung berada pada pinggiran, dan kurang memainkan peran yang penting dalam administrasi atau penyelenggaraan lembaga yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam sendiri, seperti madrasah misalnya. 

Dengan kata lain, proyek negara Islam, pada akhirnya, mewarisi sindrom politik serupa yang dialami oleh negara nasional non-agama yang lain. Negara-negara nasional yang lahir pasca era kolonial ini, termasuk di negeri-negeri Muslim sendiri, pada akhirnya dihadapkan pada imperative konsolidasi negara, unifikasi sistem hukum, reformasi lembaga-lembaga sosial, yang keseluruhannya cenderung menempatkan kelas ulama pada posisi defensif.

En toh demikian, kelas ulama tetap berhasil menjada terus eksistensinya sebagai kelas sosial, berikut lembaga-lembaga yang menyokongnya. Melalui praktek diskursif yang sudah dikenal oleh kelas ini sejak lama, misalnya fatwa atau syuruh (komentar atas karya klasik yang sudah ada), mereka mencoba mempertahankan dirinya tetap relevan.

Yang menarik adalah bahwa berbeda dengan kalangan modernis atau Islamis/revivalis, kalangan ulama cenderung a-politis dan, hingga tingkat tertentu, juga berwatak “quietist” atau “damai” (tak membangkang pada kekuasaan yang ada). Ini diperlihatkan, misalnya, dengan munculnya dua gerakan ulama di India. Yang pertama adalah munculnya kelompok Nadwat al-Ulama (Abul Hasan Ali al-Nadwi adalah ulama yang populer yang lahir dari kelompok ini) yang mencoba melakukan reformasi atas Islam tetapi dengan tetap menjaga semangat a-politisme ala Muhammad Abduh. Yang kedua adalah gerakan Tabligh-i Jamaat yang terkenal itu. Kedua gerakan yang diprakarsai oleh ulama di India ini memperlihatkan watak a-politis yang sangat kuat. Mungkin karena watak yang semacam inilah, kelas ulama di negeri Islam manapun paling mudah melakukan kompromi dengan kekuasaan politik yang ada di negeri mereka masing-masing – sikap yang kontras dengan kalangan Islamis yang umumnya “resistant”, baik terhadap kekuasaan eksternal (hegemoni Barat, misalnya) atau kekuasaan domestik yang mereka anggap sekular. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar